- Salah satu temuan utama penulis,- yang diperkuat oleh akademisi dan jurnalis lainnya, adalah bahwa perusahaan sawit banyak yang mengabaikan hukum
- Perusahaan sawit bertindak dengan impunitas karena adanya kolusi antara perusahaan dengan pejabat negara, dan kurangnya perlawanan terorganisir dari warga dan pekerja setempat.
- Alih-alih pelanggaran hukum, hukum berada berdekatan dengan kesepakatan informal yang memengaruhi kapan dan bagaimana hukum dipatuhi.
- Korporasi secara rutin membayar sejumlah uang kepada para pejabat daerah, termasuk kepala desa yang seharusnya bertindak dan berpihak kepada kepentingan warganya.
Dari sekitar 22 juta hektar kebun sawit, perusahaan diharapkan membawa pekerjaan dan kesejahteraan ke wilayah-wilayah perdesaan di Indonesia. Investigasi mendalam yang dilakukan Mongabay, The Gecko Project, dan BBC News tentang kewajiban plasma oleh perusahaan perkebunan sawit, menemukan adanya ketidakpatuhan dan pelanggaran kepada Permentan Nomor 26 tahun 2007.
Puluhan perusahaan perkebunan yang ditelusuri menyediakan lebih sedikit lahan dari yang dimandatkan oleh regulasi, -yaitu seperlima dari wilayah konsesi. Banyak dari mereka yang terlambat mengembangkannya selama bertahun-tahun, atau bahkan tidak menyediakan lahan plasma sama sekali. Ini bukanlah masalah kecil.
Perusahan pun lebih suka mendatangkan para pekerja migran alih-alih para warga lokal. Mereka mengklaim, para buruh dari luar, bekerja lebih disiplin.

Baca juga: Enam Langkah Mengatasi Masalah Perusahaan Perkebunan Sawit dengan Para Petani Plasma
Dalam skema plasma, warga lokal melepaskan kebun dan lahan hutan mereka kepada perusahaan sawit untuk mendapatkan sharing profit. Namun sebaliknya, jika plasma tidak terwujud, warga lokal tidak akan memiliki apapun.
Dalam skema plasma yang buruk, warga akan berakhir dalam lilitan beban hutang. Mereka terpuruk karena akan ada biaya-biaya perawatan kebun dengan hanya sedikit keuntungan.
Menurut temuan penelitian, banyak korporasi sawit yang mengabaikan UU dan peraturan lain yang mengatur perlindungan bagi warga desa dan pekerja.
Institute for Ecosoc Rights pada tahun 2017 melakukan kajian tentang kepatuhan korporasi terhadap UU dan peraturan yang ada. Hasilnya mereka mendapatkan banyak perusahaan sawit yang berulangkali mengabaikannya.
Pelanggaran tersebut mencakup aktivitas pembangunan kebun yang sampai ke tepi dusun warga, pelanggaran sempadan sungai, pencemaran sumber air, hingga menolak peningkatan kontrak pekerja sementara menjadi permanen setelah lewat masa percobaan kerja.
Meski Indonesia telah menandatangani perjanjian dan kovenan transnasional terkait lingkungan dan hak asasi manusia, penelitian tersebut menjumpai adanya tindakan perusahaan yang melanggar aturan tersebut.
Banyak perusahaan perkebunan bahkan tidak taat membayar pajak. Pada tahun 2019, seorang pejabat senior KPK mengungkap jika 40 persen perusahaan sawit tidak melakukan kewajiban pembayaran pajak kepada pemerintah.
Sedangkan, penegakan hukum perburuhan umumnya terkendala karena lokasi perkebunan yang terpencil dan kurangnya SDM pengawas yang terlatih. Tindakan perlakuan yang sewenang-wenang kepada pekerja pun kerap masih dijumpai. Ini menyerupai perbudakan di era zaman modern.
Pertanyaanya, mengapa pihak perusahaan amat jarang dimintai pertanggungjawaban dan tampak berada di atas hukum?

Impunitas Perusahaan, Darimana Asalnya?
Impunitas didefinisikan sebagai “pembebasan dari hukuman atau kehilangan atau kemampuan melepaskan diri dari denda”. Alih-alih dianggap melanggar hukum, penelitian yang kami lakukan menemukan bahwa ada bentuk-bentuk kesepakatan informal yang melebihi hukum yang berlaku.
Bagi warga lokal yang ada di zona perkebunan, meski secara teknis keberadaan mereka setara di mata hukum, mereka tidak bisa menggunakan hak warga negara mereka.
Persoalan utamanya ada di masalah struktural. Mereka tidak didukung oleh aparatus desa, yang seharusnya melindungi dan mendukung mereka di depan pengadilan, atau saat mereka berhubungan dengan pihak pengelola kebun, atau pada saat menyampaikan nasib mereka kepada pemerintah.
Mengapa ini terjadi? Di kabupaten tempat penelitian kami, kepala desanya ditunjuk sebagai ‘tim pelepasan lahan’ dan ‘tim koordinasi’ perusahaan. Perusahaan memberi mereka gaji bulanan, selain biaya-biaya lain yang diperlukan.
Di tingkat struktur yang lebih tinggi, -kecamatan dan kabupaten, ada tim koordinasi serupa. Para pejabat ini menerima gaji dari perusahaan. Hal ini ironis, karena para aparatus ini seharusnya berkewajiban untuk mengayomi warganya.
Pada saat perusahaan hendak mengembangkan kebun, mereka harus bernegosiasi dengan warga setempat perihal masalah lahan. Warga lalu menandatangani ‘surat pembebasan lahan’ yang diawasi prosesnya oleh pihak kecamatan.
Melalui surat ini, pihak perusahaan dapat menyelesaikan proses perizinannya, yaitu mendapat hak penuh atas lahan dari pemerintah dan mendapat jaminan pinjaman perbankan.
Di tempat penelitian kami, camat setempat menolak menandatangani dokumen proses pembebasan lahan. Dia menyebut perusahaan tidak memenuhi persyaratan hukum. Dia menyebut bahwa skema plasma belum tuntas.
“Tidak ada dokumen yang dibuat, [tapi] buldoser perusahaan sudah masuk buka lahan.”
Dalam beberapa kasus pihak perusahaan hanya memberikan komitmen lisan. Jika terjadi masalah di kemudian hari, maka warga tidak bisa menuntut balik kepada pihak perusahaan.
Di lingkungan pejabat tingkat kecamatan, mereka yang pro kepada warga, akan ‘dikucilkan’. Perusahaan akan bekerjasama dengan para pejabat lain yang dapat melancarkan aksi-aksi mereka.

Bagaimana Sistem Impunitas Ini Bekerja?
Jika impunitas hanya dilihat dari sisi koruptif, maka kasus ini sangat sulit terungkap karena sudah mengakar dan bersifat sistemik. Seringkali tidak ada temuan transaksi dana yang berpindah tangan.
Istilah kolusi tampaknya lebih cocok. Temuan mencolok kami adalah munculnya praktik kolusi antara aparat negara dan korporasi lewat proses formal yang terlembagakan.
Korporasi secara rutin membayar sejumlah uang untuk mencegah jurnalis, kelompok aktivis, warga desa untuk membuat laporan yang kritis, di sisi lain juga melayani para pejabat yang datang ke kantor perkebunan.
Selain membayar rutin pejabat yang masuk jadi anggota ‘tim koordinasi’ di tingkat kecamatan, perusahaan juga memberikan ‘donasi’ kepada pejabat di tingkat kabupaten. Khususnya kepada para pejabat yang mengurusi masalah lahan, tenaga kerja, dan lingkungan, dan lembaga lain yang seharusnya mengawasi mereka.
Mereka bahkan melakukan pembayaran ‘pengamanan’ kepada pihak polisi dan tentara. Institusi ini digunakan jika muncul protes dari warga kepada perusahaan. Aksi di lapangan terkadang bermuara pada tindakan kekerasan oleh aparat.
Di sisi lain, pejabat pemerintah terang-terangan meminta dana sumbangan. Seorang kepala dinas pernah menulis surat dengan kop resmi kepada perusahaan perkebunan. Dia meminta donasi hari raya keagamaan. Dalam suratnya, bahkan disebutkan jumlah yang diminta, -detil untuk masing-masing staf, sesuai dengan pangkat dan jabatan masing-masing.
Transaksi semacam itu menciptakan relasi yang membuat para pejabat enggan untuk menuntut pihak perusahaan lewat jalur hukum, jika terjadi kasus. Umumnya mereka memilih untuk ‘memberikan rekomendasi perbaikan’ yang tidak selalu ditindaklanjuti oleh pihak perusahaan.

Fenomena banyak warga desa dan pekerja yang terkena dampak negatif perkebunan, namun tidak menuntut ganti rugi lewat jalur hukum, disebut oleh David Bourchier, seorang ilmuwan politik, sebagai praktik ‘negara keluarga‘.
Di sini negara adalah kepala keluarga, dimana warga negara diberi kewajiban untuk patuh. Menuntut hak adalah bentuk ketidaksetiaan. Ini dianggap akan mempertanyakan kebijakan dan otoritas dari para pejabat.
Dalam situasi ini, warga lebih banyak memilih jalur mediasi, yang dimotori oleh para birokrat maupun para politisi.
Kami coba menelusuri seberapa efektif penyelesaian lewat jalur mediasi ini. Studi baru-baru ini oleh akademisi dari Indonesia dan Belanda menemukan pola yang konsisten: Dari 150 konflik perkebunan di empat provinsi, 73 persen yang diselesaikan lewat mediasi ad hoc hasil kesepakatannya jarang bertahan lama.
Hal ini karena masalah mendasarnya tetap tidak tertangani. Warga terus menuntut hak mereka, sementara pihak perusahaan menolak hasil penyelesaian yang bakal merugikan mereka.
Christian Lund, peneliti sosial pembangunan global menyebut hal ini bukan berarti hukum tidak relevan dalam kasus sengketa perkebunan yang ada. Sebagian warga terdorong untuk mengambil tindakan mediasi penyelesaian sementara, karena mereka merasa bahwa hukum bakal tidak berpihak pada mereka.

Tidak Punya Kekuatan Penanding
Di wilayah perkebunan, tidak banyak warga yang memiliki kapasitas terorganisir sebagai tandingan pihak perusahaan. Mereka masih takut dengan stigma komunis, seperti yang terjadi beberapa dekade lalu kepada anggota Front Tani atau Serikat Pekerja Perkebunan Sarbupri pada era 1965-66.
Di tahun 1950-an, serikat pekerja ini berhasil memobilisasi rakyat untuk menduduki lahan-lahan konsesi yang terlantar. Kekuatan mereka sangat signifikan. Saat masa Orde Baru di bawah Suharto dan kroninya, para anggota serikat pekerja ini menjadi sasaran pembungkaman. Selama beberapa dekade berikutnya, trauma ini masih membekas.
Meski banyak kelompok LSM turun menawarkan bantuan hukum, advokasi dan mediasi kepada warga dan buruh, namun tingkat kompleksitas masalah jauh melebihi kemampuan mereka. Hingga sekarang, tidak ada yang mampu menandingi kekuatan Front Tani, yang pernah memiliki 8,5 juta anggota, sebelum dibubarkan pada tahun 1965.
Sebagian besar perkebunan sawit saat ini tidak memiliki serikat pekerja independen. Warga desa juga tidak memiliki organisasi politik di tingkat desa yang mendukung mereka saat harus berhadapan dengan pihak perusahaan.
Korporasi pun menggunakan taktik memecah warga. Caranya dengan memberi janji-janji palsu, menarik tokoh lokal menjadi orang mereka, dan memberikan gaji kepada mereka sebagai “orang perusahaan”. Taktik lain adalah mengkriminalisasikan warga hingga mereka menyerah.
Protes buruh dan warga desa umumnya diselesaikan lewat kompensasi ganti rugi pembayaran yang diberikan oleh manajer lewat bujukan kepada pemimpin massa. Praktek ini kerap disebut sebagai “memberi panadol”, obat pereda deman dan penghilang sakit kepala, tanpa mengatasi sumber utama masalahnya.

Hasil Akhir: Perusahaan yang Menang
Dua orang peneliti sosial yang banyak meneliti di Asia Tenggara, Sarah Milne dan Jacqui Baker, menyebut masalah yang terjadi di jantung aparatus di Indonesia belum sampai membawa Indonesia menjadi ‘negara gagal’.
Namun praktik impunitas di perkebunan ini membawa dampak kerusakan yang parah, yang amat bertentangan dengan cita-cita supremasi hukum, dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Dengan banyaknya perusahaan di daerah, maka aliran uang yang beredar pun amat besar.
Dalam investigasi Mongabay dan The Gecko Project, beberapa perusahaan perkebunan besar turut mendukung kampanye pemilihan bupati. Tujuannya untuk menghasilkan hubungan timbal balik yang menguntungkan dengan para pejabat, kelak di kemudian hari.
Relasi silang sengkarut antara perusahaan dengan para pejabat birokrat ini, -plus polisi dan militer, di berbagai tingkatan pada akhirnya membuat negara ‘tersandera’ dan penegakan hukum lumpuh. Dalam istilah saya dan kolega saya, Pujo Semedi, kondisi ini disebut sebagai ‘pendudukan oleh perusahaan’.
Yang menjadi korban pada akhirnya adalah warga desa lokal, mereka ditinggalkan dan dikhianati oleh negara. Di saat perusahaan bebas dari sanksi dan hukuman, mereka tidak punya tempat untuk mengadu dan mencari keadilan.
Tulisan asli: How do oil palm companies get away with disregarding Indonesia law (commentary). Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
* Tania Li, adalah Profesor Antropologi di University of Toronto dan peneliti tamu di Pusat Studi Asia Tenggara di Kyoto. Bersama Prof Pujo Semedi dari Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menulis buku Plantation Life. Tulisan ini adalah opini penulis.. Artikel ini diproduksi oleh The Gecko Project dan diterbitkan kembali oleh Mongabay.
**
Mongabay Indonesia bekerjasama dengan Perkumpulan Kaoem Telapak menerbitkan buku berjudul ‘Di Antara Janji Kesejahteraan dan Dampak Sosial Lingkungan: Sebuah penelusuran jurnalistik mengenai industri sawit di Indonesia”, yang mengungkap tentang kondisi perkebunan sawit di Indonesia. Buku ini dapat diperoleh dan diunduh cuma-cuma di tautan ini atau scan barcode di bawah ini.