- Selama ratusan tahun, Suku Besemah hidup harmonis dengan alam. Mereka menjaga hutan, mata air, sungai, serta hidup damai dengan beragam fauna. Hubungan harmonis ini dilestarikan melalui hukum adat dan tradisi bersama pengetahuannya.
- Pengetahuan hidup harmonis dengan alam sudah tercermin dari peradaban megalitikum di wilayah Besemah, sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu.
- Dalam 40 tahun terakhir, berbagai bencana terjadi di sepanjang DAS [Daerah Aliran Sungai] Lematang yang merupakan ruang hidup Suku Besemah. Seperti longsor dan banjir bandang.
- Peristiwa longsor dan banjir bandang, salah satu penyebabnya, hilangnya peran komunitas adat Suku Besemah. Selama ini berbagai kearifan terhadap alam dilestarikan oleh komunitas adat.
Baca sebelumnya:
Tata Kelola Air, Wujud Harmonis Suku Besemah dengan Alam
Hutan Larangan Kedoy, Penjaga Mata Air Suku Besemah
**
Selama ratusan tahun, Suku Besemah hidup harmonis dengan alam. Mereka menjaga hutan, mata air, sungai, serta hidup damai dengan beragam fauna. Hubungan harmonis ini dilestarikan melalui hukum adat dan tradisi bersama pengetahuannya.
Jejak hubungan harmonis tersebut, juga dapat dibaca melalui berbagai tinggalan megalitikum yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam.
“Berbagai tinggalan megalitikum tersebut menunjukan di masa lalu manusia yang hidup di bumi Besemah ini sangat menghormati alam,” kata Mario Andramatik, budayawan Lahat, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [14/05/2023].
Yang pertama, jelas Mario, semua situs megalitikum berada di sekitar sungai, dan di lokasi yang aman dari bencana seperti banjir dan longsor. Tidak ada situs megalitikum berada di tepi atau badan sungai.
“Buktinya, situs-situs megalitikum yang masih terjaga saat ini terhindar dari dampak longsor dan banjir,” kata Mario.
Kedua, sejumlah arca menampilkan hubungan manusia dengan sejumlah satwa. Misalnya, manusia dengan harimau sumatera, gajah sumatera, buaya, dan kerbau. “Ada puluhan arca yang menggambarkan hubungan manusia dengan satwa khas Sumatera,” kata Mario.
Terkait harimau sumatera, ada pada arca di Situs Tanjung Sirih di Kecamatan Pulau Pinang, dan Situs Batu Macan di Desa Pagaralam, Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat.
Rr. Triwurjani, peneliti dari Pusat Riset Penelitian Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional [BRIN], menyatakan dari 64 arca yang tersebar pada 24 situs di Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, ditemukan 14 arca bergambar gajah.
Ketiga, tidak ada situs megalitikum yang berada di wilayah sumber air [kawasan hutan di wilayah tinggi]. “Ini artinya mereka sangat menjaga kawasan hutan sebagai sumber air, yang selanjutnya kawasan hutan ini dipahami sebagai hutan larangan.”
“Hampir semua situs megalitikum tidak jauh dari kawasan hutan larangan,” lanjutnya.
Baca juga: Manusia dan Gajah Hidup Berdampingan Sejak Zaman Megalitikum
Banjir bandang
Dalam 40 tahun terakhir, terutama di atas tahun 2000-an, beberapa kali banjir bandang melanda Sungai Lematang. Tercatat tahun 1982, 2002, 2020 dan 2023.
Sungai Lematang yang panjangnya 244 kilometer adalah sungai yang berhulu di kawasan permukiman Suku Besemah di Kabupaten Lahat. Baik di kaki Gunung Dempo, perbukitan Gunung Patah, serta perbukitan Gumay Ulu.
Bukan hanya banjir bandang. Peristiwa longsor juga berulang terjadi. Longsor ini bukan hanya memutuskan jalur transportasi, juga memutuskan aliran air, seperti siring dan sungai.
“Peristiwa banjir bandang dan longsor tersebut membuat kami terpukul. Bukan hanya dampaknya, tapi peristiwa itu seakan menyatakan Suku Besemah tidak peduli dengan lingkungan, terutama dengan kawasan hutan. Padahal Suku Besemah itu sangat peduli dengan alam,” kata Mario.
Hulidin [72], pedagang lemang di sekitar jembatan Tanjung Sirih, Kabupaten Lahat, menyatakan terjadinya banjir bandang di Sungai Lematang dikarenakan banyak kawasan hutan larangan terbuka atau dirambah, yang dijadikan perkebunan kopi.
Misalnya, hutan larangan Bukit Payung yang merupakan hulu Sungai Lim Besak dan Sungai Lim Kecik, sejak awal tahun 2000-an banyak dirambah para pendatang.
“Bukan masyarakat lokal, tapi para pendatang. Tokoh adat dan masyarakat lokal tidak dapat mencegahnya, sebab kawasan itu masuk hutan lindung yang tanggung jawabnya negara.”
Tahun 1982, Sungai Lim meluap. Air membawa lumpur dan batuan dari perbukitan, kemudian memenuhi badan Sungai Lim. Ini akibat aktivitas liar penebangan pohon di Bukit Payung.
“Padahal di hutan larangan itu banyak tumbuh pohon kayu manis. Tanaman liar,” katanya.
Solusi
Mario Andramatik berharap berbagai pengetahuan Suku Besemah tentang perlindungan terhadap alam, khususnya kawasan hutan, harus ditumbuhkan kembali.
“Memang pada sejumlah permukiman Suku Besemah, pengetahuan yang arif dengan alam mulai terkikis. Ada yang tidak peduli dengan kondisi alam karena alasan ekonomi. Tapi, mereka tidak memikirkan dampak ke depannya.
Saya khawatir banjir bandang yang melanda Sungai Lematang akan terus terjadi setiap tahun, ketika musim penghujan. Dan sebaliknya akan terjadi kekeringan, krisis air, saat musim kemarau panjang. Kasihan anak dan cucu kita,” katanya.
Hulidin berharap hutan larangan di Bukit Payung dikembalikan seperti semula. “Percuma membangun bendungan atau apa pun di sekitar Sungai Lim, jika hulunya masih terbuka, sebab air besar itu berasal dari sana.”
Sudirman, Kepala Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, mengatakan, upaya yang dilakukan adalah melanjutkan apa yang diamanahkan para leluhur, yakni menjaga keberada hutan larangan dusun. Termasuk, menjaga keberadaan tebak [danau buatan], siring [saluran air] dan pauk [kolam buatan].
“Harapannya, desa kami tidak turut menyebabkan volume air Sungai Lematang berlebih sehingga menimbulkan banjir bandang,” ujarnya.
“Kami sangat senang jika hal yang sama [menjaga hutan larangan] oleh saudara kami di berbagai desa lainnya di Kabupaten Lahat ini,” katanya.
Pengakuan masyarakat adat
Yulion Zalpa, peneliti dari FISIP UIN Raden Fatah Palembang menjelaskan, salah satu faktor mulai hilangnya berbagai pengetahuan Suku Besemah yang arif dengan alam, dikarenakan hilangnya pengakuan terhadap komunitas adat.”
Hilangnya pengakuan terhadap komunitas adat, menyebabkan hukum adat menjadi lemah posisinya di tengah komunitas atau kelompok masyarakat.
“Padahal, hukum adat ini yang melindungi berbagai pengetahuan arif dengan alam, seperti halnya keberadaan hutan larangan.”
Jadi, jika ingin berbagai pengetahuan tersebut kembali berlaku di masyarakat, seperti melestarikan hutan dan tata kelola air, sebaiknya pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat, khususnya Suku Besemah.
“Hutan larangan yang sudah masuk kawasan hutan lindung, mungkin dapat dikembalikan ke komunitas adat sehingga menjadi hutan larangan. Sudah terbukti, hutan larangan yang dijaga adat, seperti hutan larangan Buhuk [Desa Air Dingin Lama], terjaga keberadaannya,” kata Yulion.
“Ini salah satu kebijakan politik yang harus dilakukan pemerintah guna menyelamatkan lingkungan di Indonesia menghadapi perubahan iklim yang berlangsung saat ini,” ujarnya.
Dian Maulina, juga dari FISIP UIN Raden Fatah, menjelaskan pada masyarakat adat, seperti di Suku Besemah, perempuan memiliki peran penting.
Perempuan yang sehari-harinya berhubungan langsung dengan alam, memiliki hak untuk turut menjaga alam. Itu di dalam masyarakat adat. Tetapi, ketika masyarakat adat hilang, peran perempuan pun menghilang. Perempuan kehilangan haknya untuk memutuskan berbagai kebijakan di komunitasnya.
“Menyelamatkan alam itu dengan menyelamatkan peran perempuan. Caranya, dengan menghidupkan hukum adat. Tidak ada hukum adat di Indonesia yang melemahkan perempuan. Sebab, peran perempuan sama seperti alam, menjaga semuanya, menjaga keseimbangan,” tandasnya.