- Lebah sangat berperan penting bagi jaring kehidupan di muka Bumi.
- Populasi serangga, termasuk lebah menurun hingga 40 persen secara global.
- Kehilangan, degradasi, dan fragmentasi habitat memang ancaman paling relevan terhadap keanekaragaman hayati. Padahal hilangnya serangga, alarm bagi umat manusia.
- Sulit bagi manusia jika lebah menghilang di Bumi. Bunga tak lagi bermekaran. Tumbuhan tak lagi berbuah. Hutan tak lagi beregenerasi. Dan satwa menyusut cepat.
Keberadaan lebah sangat berperan penting dalam jaring kehidupan di Bumi. Namun, populasinya acapkali diabaikan atau malah dianggap hama di bidang pertanian.
Kekacauan ini, membikin Sih Kahono gusar. Peneliti Pusat Riset Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengatakan jika lebah adalah salah satu penyerbuk yang memegang peranan penting dalam keanekaragaman tumbuh-tumbuhan hingga produktivitas pertanian.
“Pada dasarnya lebah itu dibagi dua: lebah soliter dan lebah sosial. Dan harus diketahui semua spesies lebah itu punya andil besar bagi suatu lingkungan,” kata Sih Kahono dalam acara Bincang Alam: Serangga Penyerbuk yang Kian Tersingkir, pada Kamis (1/6/2023).
Lebah ibarat tolak ukur keseimbangan alam, kata Kahono. Tanpa lebah jejaring ekosistem tak akan tercipta keselarasan. Sebab, tumbuhan dan hewan sangat bergantung pada regenerasi hutan. Regenerasi hutan bisa terus terjadi selama ada penyerbukan dan polinator.
“Dan itu ada pada peran lebah,” ujar Kahono.
Hubungan antara keragaman, sebaran populasi lebah sosial dengan spesies tanaman pertanian dan lingkungan masih sedikit diketahui. Lebah sosial dikelompokkan dalam tiga sub famili yaitu Apidae, Meliponini dan Bombycina. Lebah ini juga diketahui memiliki kasta dan berkoloni. Sehingga dekat dengan kehidupan manusia karena menghasilkan madu.
Etos hidupnya pun sangat bergantung pada sumber pakan dari tanaman budidaya dan pertanian sehingga lebah ini juga banyak dibudidayakan. Berbeda dengan lebah soliter, dia tak memiliki koloni dan tak menghasilkan madu yang bisa dikonsumsi manusia.
“Kita masih belum memiliki data empiris terkait spesies lebah. Jumlah yang baru teridentifikasi oleh jurnal ilmiah ada 450 jenis lebah. Namun, jumlahnya bisa saja lebih banyak,” katanya. Apalagi, Kahono menjelaskan, lebah di bagian timur belum banyak terekspos. “Berdasarkan wilayah persebaran lebah dibagi tiga yakni, Indo-Malaysia, Wallace, dan Indo-Australia. Itu mengapa kita punya ragam lebah.”
baca : Hari Lebah Sedunia: Andai Lebah Musnah, Apa yang Terjadi dengan Kehidupan Kita?
Kahono memproyeksikan jumlah antara lebah soliter dan sosial adalah 90% berbanding 10%. Literasi tentang lebah dapat diidentifikasi melalui morfologi kawasan. Alasannya, lebah punya sebaran yang terbatas. Dan karena batas itu Indonesia memiliki banyak spesies endemis yang tidak ditemukan di wilayah manapun.
“Lebah-lebah di sepanjang garis Wallace itu unik sekali, ada yang hanya hidup di satu pegunungan di satu pulau saja,” ungkap Kahono.
Akan tetapi, populasi lebah turun karena penyeragaman pertanian, urbanisasi, dan deforestasi. Hutan yang berganti fungsi menjadi biang persoalannya. Belum lagi soal candu pestisida dalam pola pertanian masa kini.
Kahono menjelaskan, keterdesakan habitat serangga sudah sejak lama terjadi. Jangan sampai kepunahan adalah akhir cerita beragam spesies yang tak mampu beradaptasi. Adaptasi secara alamiah berjalan lambat sejalan dengan narasi evolusi. Sialnya, daya lenting lebah bergantung pada musim dan cuaca.
Kekhawatiran tentang kepunahan lebah menggema dari berbagai belahan dunia dalam peringatan Hari Lebah yang jatuh pada 20 Mei lalu, sekalipun di Indonesia relatif sepi. Tepat pada hari 30 hari sebelum peringatan itu, peringatan Hari Bumi 2023 mengambil tema “Invest In Our Planet” atau “Berinvestasi di Planet Kita”.
Dalam laman earthday.org, tema tersebut difokuskan untuk mendorong lebih dari 1 miliar orang termasuk pemerintah, institusi, dan dunia usaha agar membantu mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang adil dan sejahtera. Agaknya, ini menjadi ajakan fundamental ditengah pengrusakan hutan yang masif terjadi.
Adapun angka deforestasi di Indonesia berubah secara fluktuatif. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan luas deforestasi Indonesia pada periode 2019-2020 mengalami penurunan sampai 75 persen, atau sebesar 115,5 ribu hektar, dibandingkan periode 2018-2019 yang mencapai 462,5 ribu hektar.
Di tahun yang sama pula, luas kebakaran hutan dan lahan mencapai 296.000 hektar mengakibatkan deforestasi 1.100 hektar. Sejauh ini, dari 7 pulau, Kalimantan menempati posisi teratas dan Jawa paling terakhir soal kerusakan hutan.
baca juga : Menyiasati Dampak Perubahan Iklim dengan Lebah Madu. Seperti Apa?
Kehilangan, degradasi, dan fragmentasi habitat memang ancaman paling relevan terhadap keanekaragaman hayati. Padahal hilangnya serangga, alarm bagi umat manusia.
Di Indonesia, menurut Kahono, penyusutan populasi dan jenis serangga sudah mengkhawatirkan. Populasi lebah yang kian terancam ini juga sejalan dengan tren penurunan populasi secara global hingga 40% dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2019, menekankan pentingnya keragaman hayati bagi keberlangsungan pangan. Selain serangga, berbagai spesies yang berkontribusi penting bagi sektor pertanian perlahan terancam meliputi berbagai jenis burung, kelelawar, yang bisa mengontrol hama dan penyakit, dan mikroorganisme tanah.
Di tahun yang sama juga, Panel Ilmiah untuk Keanekaragaman Hayati PBB (IPBES) menyebut besarnya jasa lingkungan yang diberikan serangga. Nyatanya satwa mungil itu berperan penting terhadap perbaikan struktur, kesuburan, dan dinamika spasial tanah.
Keberadaan mereka merupakan elemen tak tergantikan, kata Kahono. Hitung-hitungan IPBES adalah buktinya. Tanaman yang membutuhkan penyerbukan serangga memiliki nilai ekonomi setidaknya 235-577 miliar dollar AS per tahun.
Menuai Kebaikan
Barangkali tak banyak yang tahu jika Indonesia memiliki banyak jenis lebah penghasil madu dan propolis unggulan. Tak hanya mendapat manfaat ekonomi dan kesehatan, propolis juga menjadi perlindungan alami bagi alam dan manusia sekitarnya.
Hal inilah yang mendorong perkumpulan anak muda di Roem Institut. Mereka berasal dari Desa Lemah Putih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mencoba membudayakan lebah dengan semangat milenial dan kekinian.
baca juga : Bijaknya Petani Muda Majalengka Sejak Kenal Lebah Madu
Mereka punya perhatian pada isu pertanian dan ketahanan pangan. Ide dasarnya adalah pertanian harus dikembalikan lebih ramah lingkungan seperti dilakukan nenek moyang terdahulu. Dan lebah dilirik sebagai medium karena punya kedekatan sejarah dengan masyarakat di sana.
Sistem pertanian modern telah lama mengabaikan pengetahuan lokal masyarakat tentang cara terbaik memproduksi pangan ataupun mengkonsumsinya. Padahal, banyak pengetahuan dan kebijaksanaan di banyak daerah yang bisa menjawab pemenuhan pangan ke depan.
“Awalnya berangkat dari bagaimana pandemi membuat kami mempertanyakan tatanan dan kebiasaan yang selama ini terjadi. Pandemi ini telah memberi pelajaran begitu banyak, salah satunya terkait apa yang harus kita makan,” kata Founder Roem Institut, Edi Hidayat dalam acara Bincang Alam Mongabay Indonesia.
Edi bilang, Roem adalah wadah kolaborasi lewat medium lebah dan produk turunannya. Mereka menawarkan tiga komponen dalam gerakannya. Yakni sosial, kultural, dan lestari.
Konsep sosial berkaitan dengan edukasi lebah. Konsep kultural menggali harmonisasi antara manusia, lebah dan alam. “Lalu konsep lestari adalah penjagaan terhadap alam sebagai sumber kehidupan. Aspek ini penting untuk melibatkan masyarakat agar ada jaminan keberlanjutan,” terang Edi.
menarik dibaca : Hebatnya Lebah Madu, Bisa Pecahkan Soal Matematika
Saat ini, Edi sedang membangun ekonomi sirkuler dari lebah. Modernisasi cukup membikin usaha ini punya masa depan cerah. Terbukti dengan hadirnya orang asing masuk kampung.
“Mengikuti filosofi lebah sebagai jaring kehidupan. Kami juga berjejaring secara sosial. Dalam konteks ini kami ingin menunjukkan bahwa budidaya dan bertani bukan sekedar ekonomi tapi juga bagaimana menuai kebermanfaatan yang saling terhubung,” papar Edi.
Dalam Bincang Alam itu membahas juga perkembangan lebah di Indonesia. Mereka membahas permasalahan hingga solusi yang akan menjadi bahan rujukan. Mungkin akan sulit bagi manusia jika lebah menghilang di Bumi. Bunga tak lagi bermekaran. Tumbuhan tak lagi berbuah. Hutan tak lagi beregenerasi. Dan populasi satwa menyusut cepat.