- Pembalakan liar terus terjadi di kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat. Ada dilakukan penegakan hukum tetapi banyak menyasar pemain lapangan seperti penebang atau sopir pengangkut kayu. Jerat pemodal atau cukong masih minim.
- Pada kasus penegakan hukum pembalakan liar di Kerinci Seblat pada 2021, sempat terjerat pemodal, tetapi akhirnya di pengadilan putus bebas.
- Amir Durin, tokoh Masyarakat Tapan, menceritakan kalau pencurian kayu di TNKS, Sako, Tapan, Sumatera Barat terjadi pada periode akhir Orde Baru, sekitar 90-an. Saat itu, penebangan belum begitu masif dan sembunyi-sembunyi. Penebangan besar-besaran di TNKS Sako, mulai terjadi tahun 2010 ke atas. Saat itu, kayu dirampas dan tanah dijual. Berbagai jenis kayu diambil dari dalam kawasan seperti katoko, banio, meranti, pulin.
- Arie Rompas, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pelaku illegal logging dalam Taman Nasional Kerinci Seblat harus benar-benar ditindak sampai ke pemodalnya, bukan hanya pada supir atau kaki tangan. Pemodal atau cukong, jadi penyebab utama aktivitas terlarang ini terus terjadi di kawasan konservasi terbesar di Sumatera itu.
Pagi itu, satu mobi Colt Diesel masuk ke pelabuhan kayu. Beberapa pekerja bergerak cepat angkut kayu dari tepian sungai ke dalam truk. Tim dari Polda Sumatera Barat bersama Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS) yang sedari tadi mengintai bergerak mendekat. Mereka bagi jadi dua tim, sebagian menunggu di belakang, yang lain ke depan.
Setelah mobil melewati Jalan Raya Bukit Putus, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, petugas mencegat dan menyetop mobil. Di dalam mobil ada 31 batang kayu tanpa dilengkapi dokumen sah. Sopir truk dibawa ke Mapolda Sumbar di Padang dan kayu disita.
Pada kejadian November dua tahun lalu ini, setelah mengamankan sopir truk dan menyita kayunya pemilik kayu datang ke Polda Sumbar untuk mengklarifikasi kejadian.
“Hasil pemeriksaan, pemilik sarkel (usaha penjualan kayu) kami jadikan tersangka dan ditahan di Polda Sumbar,” kata Firdaus, Kasubdit Tipidter Ditrekrimsus Polda Sumbar.
Cukong kayu, initial M selaku pemilik sarkel ilegal ini pun ditangkap.
Penangkapan cukong kayu ini kali pertama di Tapan, Pesisir Selatan. Sebelumnya, hanya menyentuh sopir dan para pekerja kayu.
Penegakan hukum bagi pemodal belum babak akhir setelah penangkapan itu. Bisnis kayunya tetap jalan dan Pengadilan Negeri Painan, Pesisir Selatan, majelis hakim tetapkan vonis bebas.
Baca juga: Kala Pembalakan Liar Taman Nasional Kerinci Seblat Terus Terjadi
Sejak lama?
Amir Durin, tokoh Masyarakat Tapan, menceritakan kalau pencurian kayu di TNKS, Sako, Tapan, Sumatera Barat terjadi pada periode akhir Orde Baru, sekitar 90-an. Saat itu, penebangan belum begitu masif dan sembunyi-sembunyi.
Penebangan besar-besaran di TNKS Sako, mulai terjadi tahun 2010 ke atas. Saat itu, katanya, kayu dirampas dan tanah dijual. Berbagai jenis kayu diambil dari dalam kawasan seperti katoko, banio, meranti, pulin.
“Jadi marak sejak 2010, itu tidak tanggung-tanggung sampai habis dibabat,” kata Amir saat ditemui Mongabay.
Menurut dia, pemicu terbesar iilegal logging marak di Tapan ini bukan masalah ekonomi melainkan letak geografis daerah jauh di ujung provinsi hingga minim pengawasan.
“Jika dikaitkan faktor ekonomi, banyak di daerah lain yang tidak ada kayu tapi masyarakat hidup juga, pendidikan jalan terus bahkan banyak juga yang kuliah. Jadi, kalau saya lihat pemicu terbesar karena daerah ini berada jauh di ujung provinsi, ujung Sumatera Barat, ujung Jambi dan ujung Bengkulu. Ini sasaran penjahat karena berada di ujung,” katanya.
Daerah ini juga jauh dari jangkauan dan pengawasan minim. “Jadi pengawasan belum merata karena pemerintah bisa dikatakan sibuk mengurus pemilu saja, minta jabatan ke masyarakat, jika jabatan telah dapat mereka lupa.”
Selain itu, ada oknum. Selalu ada oknum berada di dekat cukong kayu atau cukong tanah dan cukong kayu selalu bekerjasama. Cukong tanah menjual tanah negara.
Sistem kekeluargaan tinggi, tak jarang kalau ada keluarga yang membalak kayu tetapi tetap dibela. Kondisi ini juga jadi pemicu pencurian kayu masih berlangsung. Selain itu, mereka juga tergiur penghasilan lebih besar.
Untuk upah standar harian kerja buruh harian di ladang atau sawah Rp100.000. Kalau mengolah kayu untuk para cukong bisa dapat upah Rp300.000-Rp400.000 perhari.
“Itu sebabnya lebih tertarik kerja kayu walaupun berat karena uang banyak,” katanya.
Mesti banyak tak peduli, tetapi sebagian masyarakat juga melawan pencurian kayu ini. Amir Durin dan rekan-rekannya, misal, dari kelompok kecil warga besama LBH dan Walhi beberapa kali pengawasi kawasan.
Mereka masuk hutan dan mendapatkan orang menebang kayu di siang hari. Mereka ambil foto dan dokumentasi. Saat itu para pekerja kayu langsung berhenti dan segera keluar TNKS.
“Gerak orang ini gerak cepat. Kalau dulu masuk Selasa, mulai beroperasi Rabu, kini masuk malam hari, tebang kayu, keluar lalu angkut dengan mobil. Semua selesai malam itu juga. Artinya pekerja banyak. Jika petugas berlambat-lambat tidak akan ketemu.”
Dulu, era Orde Baru pencurian kayu ada tetapi masih kucing-kucingan. Mulai 2010 sampai sekarang sudah terang-terangan. “Dulu begitu digrebek aparat tidak berani orang masuk sana, kalau sekarang, siang hari orang masuk sana.”
Amir menyebut, pemberantasan pencurian kayu ini sangat tergantung juga keseriusan atau peran serta penegak hukum. Dia contohkan, pada 2008, ada kapolres perempuan, Rosmita Rustam berhasil menghentikan pencurian kayu namun hanya menjabat dua tahun. Setelah dia dipindahtugaskan dan pencurian kayu kembali marak.
“Sewaktu Rosmita Rustam menjabat sebagai kapolres tidak ada kayu yang turun, tidak ada tanah dicuri, beliau semangatnya membaja dan disiplin.”
Saat Rosmita menjabat, katanya, orang tak berani lalu lalang ambil kayu. “Disiplinnya keras, dia selalu razia di lapangan. Tidak seperti sekarang…”
Pencurian kayu ini, katanya, yang diuntungkan hanya segelintir orang termasuk oknum tetapi merugikan masyarakat banyak, lingkungan dan memicu bencana seperti, banjir besar pada 2021.
Upaya Amir bersama tokoh masyarakat yang peduli hutan selain melapor ke aparat penegak hukum, juga berikan penyuluhan atau penyadartahuan agar hutan.
“Penyuluhan ada juga saat pertemuan para penghulu suku, wali nagari, camat dengan LBH. Masyarakat dikumpulkan di suatu tempat diberi penyuluhan kalau hutan tidak dirusak kita usahakan buka usaha tempat lain, ini sudah disampaikan. Tapi karena tergiur mereka tetap lakukan,” katanya.
Ahmad Darwis, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Sumbar, mengatakan, tindakan hukum merupakan langkah terakhir mereka lakukan.
Sejak akhir 2020, balai sudah berupaya persuasif dengan sosialisasi dan penyelesaian konflik tenurial dengan pola kemitraan dan patroli rutin polisi hutan bersama masyarakat. Namun, katanya, aksi pembalakan liar terus berlangsung.
Dia bilang perlu dukungan semua pihak dalam melindungi hutan TNKS. Apalagi, katanya, pembalakan liar memicu banjir bandang di sekitar Sungai Batang Tapan, Pesisir Selatan, yang terjadi hampir setiap tahun.
Dia berharap, pemerintah daerah ikut berperan dalam menertibkan usaha pemotongan kayu (serkel) ilegal.
Berdasarkan pendataan Balai Besar TNKS, ada sekitar 30 serkel disinyalir menampung dan mengolah kayu bulat dari TNKS. Padahal, perizinan serkel itu hanya sebagai perajin, mengolah kayu menjadi barang jadi.
Kalau penegakan hukum tidak jalan, kata Darwis, hukum pasar akan terus berlaku. Permintaan kayu banyak, bahan baku tidak ada, hingga kawasan konservasi yang ditebangi.
Penindakan di hulu tidak cukup kalau hilir dibiarkan. Pelaku tinggal menunggu kelengahan petugas untuk kembali beraksi.
”Kita tidak mau lagi terjadi bencana banjir. Apalagi, taman nasional ini sudah menjadi warisan dunia. Ini benteng terakhir kita dalam pengelolaan hutan konservasi,” ujar Darwis.
Tindak pemodal
Arie Rompas, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pelaku illegal logging dalam TNKS harus benar-benar ditindak sampai ke pemodalnya, bukan hanya pada supir atau kaki tangan.
Pemodal atau cukong, katanya, jadi penyebab utama aktivitas terlarang ini terus terjadi di kawasan konservasi terbesar di Sumatera itu.
Arie bilang, penegakan hukum hanya pelaku kecil seperti itu tidak akan memutus rantai setan pembalakan liar di TNKS, ia akan terus berulang.
Seharusnya, proses penyelidikan dan penindakan sampai pengadilan serius menghukum orang yang memiliki modal dalam bisnis terlarang itu. Jika tidak, bisa jadi bentuk pembiaran atau tidak mau menyentuh cukong-cukong itu.
“Aparat penegak hukum kerap mengatakan sulit membuktikan keterlibatan pemodal dalam kasus illegal logging, padahal peran pemodal cukup besar dalam salah satu kejahatan lingkungan ini,” kata Arie, kepada Mongabay.
Selain itu, katanya, kasus pembalakan liar itu juga bisa diarahkan ke tindak pidana pencucian uang (TPPU). sebab, aliran dana dari kasus itu bisa dilacak sampai ke pemodal hingga keterlibatan perusahaan-perusahaan besar.
Dengan begitu, kata Arie, otomatis oknum-oknum besar yang menjadi bekingan pemodal bisa diketahui jelas. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh para penegak hukum.
Penegak hukum, katanya, bisa menggandeng Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan itu. “Ini sebenarnya tinggal kemauan penegak hukum saja dalam mengembangkan kasus ini.”
Kalau penegakan kasus illegal logging hanya sampai ke warga sekitar yang mengambil kayu atau supir pengangkut, katanya, tak akan timbulkan efek jera. Kondisi ini, ucap Arie, akan berdampak lebih besar pada kerusakan hutan TNKS.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi beranggapan hal serupa. Kasus pembalakan liar, mesti menjerat sampai ke cukong. Keterangan dari pelaku-pelaku bisa menjadi dasar utama mengembangkan perkara hingga menjerat pemodal. Hal itu, katanya, seperti dijelaskan dalam UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Dalam UU itu bisa menjerat kejahatan terorganisir.
“Penegak hukum harus memaksimalkan ayat 2 dari Pasal 85 sampai 89 dalam UU P3H untuk menindaki pemodal atau korporasi yang menjadi dalang utama aktivitas terlarang itu. Korporasi itu termasuk, CV dan PT,” kata Andi.
Dia mempertanyakan kinerja penegak hukum, termasuk dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kalau tidak mampu mengembangkan kasus pembalakan liar sampai ke pemodal dan perusahaan.
“Jangan sampai sikap penegak hukum ini terkesan menutupi pelaku yang lebih besar dalam bisnis kejahatan lingkungan ini,” katanya, seraya bilang, di bisnis terlarang ini, dugaan kuat ada pemain besar yang memiliki modal atau jabatan strategis di pemerintahan maupun lembaga penegak hukum.
Kalau taka da tindakan serius pada pemodal, katanya, akan mempengaruhi komitmen Indonesia dalam menekan dampak perubahan iklim. Melalui dokumen enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs), Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dengan upaya sendiri dari 29% ke 31,89% pada 2030. Kalau ada bantuan internasional naik dari 41% jadi 43,2%.
Kalau dalam praktik penegakan hukum lingkungan masih lemah dan tak bisa menyasar pemain kunci, katanya, bisa membuat target Indonesia tak tercapai. Apalagi, kata Andi, kasus-kasus pembalakan liar di Indonesia Barat itu kerap terjadi di kawasan konservasi.
“Illegal logging di kawasan konservasi ini akan memberikan dampak besar bagi kerusakan lingkungan.”
*Laporan ini atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) bekerjasama dengan Pulitzer Center.
*****