- Sebanyak 8 pekerja tambang emas yang berada di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas terjebak dalam perut bumi
- Tim SAR kesulitan untuk melakukan evakuasi, karena lubang tambang emas tertutup air
- Tambang emas di desa setempat dipastikan tidak berizin atau ilegal. Bupati Banyumas juga meminta pemerintah provinsi atau pusat segera menutupnya
- Selain berisiko tinggi, tambang emas juga mencemari lingkungan, terutama logam berat merkuri yang telah mengontaminasi Sungai Tajur dan Sungai Datar
Di sebuah hamparan areal persawahan, terlihat bangunan-bangunan semi permanen yang jumlahnya mencapai puluhan. Bangunan itu berdinding kayu dan beratap asbes. Jika masuk ke bangunan, ada lubang dengan luas 1×1 meter. Di kanan kirinya ada tangga yang terbuat dari kayu untuk turun. Itulah lapak tambang emas tradisional ilegal yang berada di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah.
Dalam beberapa hari terakhir, kehebohan terjadi akibat delapan pekerja tambang terjebak di dalam perut bumi dengan kedalaman 50-70 meter. Mereka terjebak sejak Selasa (25/7) malam, karena tiba-tiba lubang untuk turun terisi dengan air. Sampai Kamis (27/7) petang, upaya evakuasi dari Tim SAR gabungan belum membuahkan hasil. Karena air yang disedot dengan 9 pompa masih belum bisa surut.
Ke-8 penambang yang terjebak berasal dari Bogor, Jabar. Para pekerja itu adalah Cecep Suriyana (29), Muhammad Rama (38), Ajat (29), Mad Kholis (32), Marmumin (32), Muhidin (44), Jumadi (33) dan Mulyadi (40). Mereka awalnya masuk tambang pada Selasa malam jam 20.00 WIB. Tetapi kemudian ada air masuk jam 22.00 WIB. Setelah itu, keberadaan delapan penambang tersebut belum diketahui.
Kepala Subseksi Operasi dan Siaga Basarnas Cilacap Priyo Prayudha Utama mengakui bahwa saat sekarang, Tim SAR baru mengupayakan penyedotan air. “Proses evakuasi mengalami kesulitan karena adanya suplai air yang begitu besar,”ujarnya saat menjelaskan teknis evakuasi pada Kamis (27/7) sore.
Sementara Kapolresta Banyumas Kombes Pol Edy Suranta Sitepu mengatakan pihaknya telah melalukan pemeriksaan terhadap para saksi, salah satunya adalah Kepala Dusun II Desa Pancurendang Karipto. “Infomasinya, tambang emas tersebut memang belum berizin. Tambang mulai ada sejak tahun 2014 silam. Saat sekarang ada sebanyak 35 lapak tambang, 30 di antaranya aktif dan 5 lainnya tidak aktif,” katanya.
baca : Kala Para Pakar Ingatkan Bahaya Tambang Emas dan Sinabar di Maluku
Dengan kejadian tersebut, Bupati Banyumas Achmad Husein mengaku prihatin. Agar waktu-waktu mendatang tidak lagi ada peristiwa semacam itu, maka pihaknya akan melangkah tegas. “Kami akan mengusulkan kepada pemerintah provinsi dan pusat untuk menutup tambang emas tersebut. Tidak hanya di sini (Pancurendang) saja, melainkan juga di lokasi lainnya,”tegasnya.
Bupati mengakui kalau pihaknya tidak memiliki kewenangan mengenai perizinan tambang. Maka dari itu, pihaknya hanya dapat mengusulkan kepada pemerintah provinsi dan pusat mengenai penutupan tambang. Bupati juga akan rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) untuk menindaklanjuti kasus itu.
Penuh Risiko, Cemari Lingkungan
Dari pengakuan penambang emas tradisional di Desa Pancurendang, mereka benar-benar penuh risiko kalau masuk ke dalam perut bumi. Bayangkan saja, para penambang tidak menggunakan peralatan sama sekali. Hanya senter yang dibawa. Saat turun ke bawah, tidak ada pengaman tali. Tidak heran, jika pada awal penambangan di tahun 2015 silam, ada dua orang penambang yang tewas akibat terjatuh ke dalam sumur tambang.
“Memang kalau masuk saya tidak menggunakan apa-apa. Hanya berbekal senter saja. Kalau pakai sepatu ribet banget malah. Makanya, hanya pakai kaos dan langsung turun ke bawah. Saya biasanya nyeker (tidak memakai sepatu),”kata Agus (40) penambang asal desa setempat.
Meski ada kasus penambang yang pernah jatuh dan meninggal dan kini ada 8 pekerja yang terjebak di lubang tambang, tetapi tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi penambang. “Bagi saya, kalau masih ada tambang emas lagi, ya menambang. Mau dibandingkan dengan bertani, hasilnya jauh. Setiap pekan, bisa mendapatkan hasil antara Rp1 juta hingga Rp5 juta. Tetapi kerap kali juga kosong jika tidak mendapatkan emas,” katanya.
Risiko tinggi juga pernah dirasakan penambang lainnya, Nino (40) asal Banyumas. Dia pernah mengalami mati lampu pada kedalaman 90 meter. “Jika lampu mati, otomatis blower juga mati, sehingga kami harus berusaha naik ke atas secepatnya. Membutuhkan waktu setengah jam untuk bisa naik. Kami harus berkejaran dengan tipisnya oksigen di dalam,”jelasnya.
baca juga : Bupati Trenggalek: Tolak Tambang Emas, Ingin Bangun Daerah dengan Tetap Jaga Alam
Meski mengalami hal mengerikan semacam itu, tetapi Nino tetap tidak akan meninggalkan profesinya sebagai penambang emas. Alasannya adalah soal ekonomi.
Warga yang menjadi penambang harus mengambil risiko untuk masuk ke dalam tambang. Taruhannya adalah nyawa. Maka tidak semuanya juga memilih profesi itu. “Saya tidak berani masuk, risikonya nyawa. Biarlah saya menggeluti pekerjaan lain, bukan sebagai penambang,”kata Ahmad (47) salah seorang warga.
Selain berisiko tinggi, penambangan emas tradisional juga berdampak pada pencemaran lingkungan di sekitar. Sejumlah peneliti dari UPN Veteran Yogyakarta yang terdiri dari Eni Muryani, Johan Danu Prasetya dan Fandika Agustiyar pernah melakukan riset di Sungai Datar dan Tajur yang berada di kawasan tambang tradisional emas di Desa Pancurendang. Ketiga peneliti yang mempublikasikan risetnya dalam prosiding seminar “Tantangan Pengelolaan Limbah Domestik dan Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan” tahun 2021 lalu.
Para peneliti itu melakukan analisis sebaran logam berat merkuri (Hg) di kedua sungai. Pengambilan sampel dilaksanakan di kedua sungai, karena proses pemisahan emas dari batuan menggunakan merkuri dengan proses amalgamasi. Sebagian masyarakat di sekitar tambang membuang limbah (tailing) hasil proses pengolahan emas yang masih mengandung merkuri ke lingkungan sekitar.
“Limbah cair maupun lumpur yang dibuang ke lingkungan sebagian akan meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi mengalir di atas permukaan tanah menuju selokan dan berujung di Sungai Datar dan Sungai Tajur yang melintasi Desa Pancurendang,” tulis riset tersebut.
baca juga : Hutan Beutong Kembali Diincar Perusahaan Tambang Emas
Menurut para peneliti, dampak penggunaan merkuri dalam pengolahan emas terhadap lingkungan dan kesehatan sangatlah berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. “Logam berat merkuri yang terlepas ke lingkungan, khususnya ke sungai dapat berpengaruh buruk bagi makhluk hidup,”jelasnya.
Sedimen menjadi faktor penting yang berpengaruh dalam proses transformasi Hg, merupakan tempat penghasil metil merkuri dan faktor yang berpengaruh terhadap biomagnifikasi dalam rantai makanan. Merkuri dapat tenggelam dalam dasar perairan dan mengalami akumulasi pada sedimen. Oleh mikroorganisme, merkuri akan diubah menjadi metil-merkuri (Me-Hg) yang beracun dan mempunyai daya ikat kuat dan kelarutan tinggi dalam biota perairan.
Riset yang dilaksanakan pada Juli 2020, mengambil sampel sebaran konsentrasi merkuri pada sungai diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dan analisis laboratorium.
Kegiatan pengolahan emas dengan cara amalgamasi itu telah menimbulkan adanya kontaminasi sedimen di Sungai Tajur dan Sungai Datar.
Dari riset tersebut, kadar merkuri pada air dan sedimen di sekitar wilayah penambangan dan pengolahan emas di Desa Pancurendang menunjukkan bahwa semakin dekat lokasi penambangan dan lokasi pengolahan semakin besar kadar merkuri yang terkandung di dalam air dan sedimen dasar sungai.
“Merkuri akan mengalami akumulasi yang lebih tinggi di daerah hilir. Merkuri yang terbawa oleh sedimen dari hulu dapat terakumulasi di hilir dan mengancam lingkungan ekologis di daerah muara,”jelasnya riset itu.
Para peneliti menyarankan supaya sebaran kadar logam berat merkuri pada Sungai Tajur dan Sungai Datar perlu dipantau secara periodik.