- Kabar baik bagi lingkungan hidup dan orang Papua, gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditolak Hakim PTUN Jakarta. Perusahaan ini menggugat menteri karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan mereka.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, surat keputusan atas dua perusahaan itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo, dalam upaya mengurangi dan mengendalikan deforestasi. Hasil evaluasi juga menunjukkan, kedua perusahaan ini tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan sawit, tidak ada laporan produksi dan belum ada kegiatan pemanenan.
- Masyarakat Adat Suku Awyu, pemilik ulayat di konsesi kedua perusahaan ini menyambut baik putusan. Dalam perkara ini, mereka mengajukan diri sebagai tergugat intervensi. Mereka didampingi Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua yang terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, dan Walhi Papua. Juga, Walhi Nasional, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), maupun Perkumpulan HuMa Indonesia.
- Saat putusan ini keluar, masyarakat Awyu, Hendrikus Woro, sedang melakukan gugatan terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu terhadap (DMPTSP) Provinsi Papua di PTUN Jayapura. Woro mengugat Izin Lingkungan Hidup yang diberikan DMPTSP Provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Salah satu poin dalam gugatannya adalah penerbitan izin ini dinilai yang diberikan tanpa melibatkan Marga Woro dalam proses pelepasan hak ulayat dan studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Kabar baik bagi lingkungan hidup dan orang Papua, gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditolak Hakim PTUN Jakarta. Perusahaan ini menggugat menteri karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan mereka.
Putusan perkara Nomor 82/G/2023/PTUN.JKT, dan 87/G/2023/PTUN.JKT itu disampaikan melalui persidangan elektronik 5 September 2023. “Menolak gugatan penggugat I dan penggugat II intervensi seluruhnya.” bunyi putusan itu. Adapun penggugat intervensi dalam kedua perkara itu adalah koperasi produsen di kedua perusahaan itu.
“Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektar hutan hujan asli dari konsesi MJR dan KCP,” kata Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia.
Dengan putusan ini, perusahaan tak boleh melakukan deforestasi dalam area itu dan hanya boleh menjalankan bisnis pada 8.828 hektar lahan hutan masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
Baca juga: Tolak Perusahaan Sawit, Masyarakat Awyu Gugat Izin Lingkungan ke PTUN Jayapura
Masyarakat Adat Suku Awyu, pemilik ulayat di konsesi kedua perusahaan ini menyambut baik putusan. Dalam perkara ini, mereka mengajukan diri sebagai tergugat intervensi. Mereka didampingi Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua yang terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, dan Walhi Papua. Juga, Walhi Nasional, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), maupun Perkumpulan HuMa Indonesia.
Dalam proses persidangan ini, tergugat intervensi dari masyarakat adat Awyu mengajukan alat bukti, saksi, hingga ahli. Gregorius Yame, warga Awyu salah satu tergugat menyatakan putusan putusan hakim PTUN Jakarta sesuai harapan mereka.
Sebelumnya, berturut-turut pada 10 Maret dan 15 Maret 2023, MJR dan KCP menggugat Keputusan Menteri LHK di PTUN Jakarta soal penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan. Keputusan menteri tertanggal 14 November 2022 itu mengamanatkan kedua perusahaan tidak membuka lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan sawit.
KLHK menyatakan, surat keputusan atas dua perusahaan itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo, dalam upaya mengurangi dan mengendalikan deforestasi. Hasil evaluasi juga menunjukkan, kedua perusahaan ini tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan sawit, tidak ada laporan produksi dan belum ada kegiatan pemanenan.
Baca juga: Gugatan Izin Lingkungan Suku Awyu Mulai Sidang, Kuasa Hukum: Papua Bukan Tanah Kosong
MJR dan KCP merupakan bagian dari perusahaan-perusahan yang masuk dalam lingkaran skandal proyek Tanah Merah di Boven Digoel. Pada 2007, Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo menerbitkan izin untuk tujuh perusahaan di lokasi dengan luas mencapai atau 10% dari luas kabupaten. Liputan invesitasi kolaborasi Mongabay, The Gecko Project, Tempo, dan Malaysiakini menunjukkan, para pemegang izin menyamarkan identitas mereka dengan menggunakan perusahaan cangkang dengan alamat palsu, dan gunakan nama orang lain sebagai pemegang saham. Izin-izin bukan untuk mendirikan bisnis sawit, tetapi menjual kembali kepada investor.
Laporan Greenpeace Indonesia menunjukkan, enam dari perusahaan-perusahaan ini dijual setelah mereka memperoleh IUP dan SK pelepasan kawasan hutan. MJR dan KCP dan dua perusahaan lain, yaitu PT Energi Samudera Kencana (ESK), PT Graha Kencana Mulia (GKM) dijual kepada perusahaan asing yang terdaftar di Uni Emirat Arab UEA.
Penelurusan Greenpeace, perusahaan UEA ini terhubung dengan konglomerat Yaman, Hayel Saeed Anam Group (HSA Group), dan anak perusahaan pemrosesan dan perdagangan minyak sawit Malaysia, Pacific InterLink. Sedangkan PT Trimegah Karya Utama (TKU) dan PT Manunggal Sukses Mandiri (MSM) dijual kepada Tadmax Resources Bhd, yang kemudian berganti nama menjadi Maxim Global Bhd, sebuah perusahaan properti Malaysia dengan latar belakang industri penebangan kayu.
Saat putusan ini keluar, masyarakat Awyu, Hendrikus Woro, sedang melakukan gugatan terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu terhadap (DMPTSP) Provinsi Papua di PTUN Jayapura. Woro mengugat Izin Lingkungan Hidup yang diberikan DMPTSP Provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Salah satu poin dalam gugatannya adalah penerbitan izin ini dinilai yang diberikan tanpa melibatkan Marga Woro dalam proses pelepasan hak ulayat dan studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). IAL adalah perusahaan sawit yang membeli SK dari ESK, perusahaan dalam satu grup MJR dan KCP yang ditolak gugatannya oleh PTUN Jakarta.
“Semoga dengan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin MJR dan KCP. Harapannya, kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu Suku Awyu,” kata Yame.
*******