- Warga Pulau Lae-lae Makassar melakukan aksi penolakan reklamasi atas pulau mereka menyambut Penjabat (Pj) Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin, pengganti Andi Sudirman Sulaiman yang selesai bertugas pada 5 September 2023.
- Sejak awal proyek reklamasi tersebut, perencanaannya tidak pernah melibatkan partisipasi warga secara bermakna, padahal warga pulau yang akan terdampak secara langsung reklamasi.
- Sekitar 1.500 orang dari 1.800-an orang warga telah menandatangani petisi penolakan reklamasi.
- Pemerintah diharap melakukan pemetaan aktor dengan pendekatan multiaktor. Semua pihak harus duduk bersama, serta membahas titik temu kepentingannya.
Sekitar seratusan warga Pulau Lae-lae Makassar bersama sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir (Kawal Pesisir) melakukan aksi penolakan atas rencana Pemprov Sulsel melakukan reklamasi di Pulau Lae-lae, di depan kantor Gubernur Sulsel, Selasa (4/9/2023).
Anggota Kawal Pesisir yang terlibat dalam aksi ini adalah aktivis koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan (SP)-Anging Mammiri, Jurnal celebes, FMN, Walhi Sulsel, LAPAR, PPSS dan PBH Peradi.
Aksi tersebut berawal di depan kantor DPRD Provinsi Sulsel, berlanjut di depan Kantor Gubernur Sulsel dengan membawa spanduk bertuliskan ‘Tolak Reklamasi Pulau Lae-lae’.
Aksi kali ini ditujukan kepada penjabat (Pj) Gubernur Sulsel yang baru, yaitu Bahtiar Baharuddin, yang sebelumnya Dirjen Politik dan Pemerintah Umum Kemendagri, menggantikan Andi Sudirman Sulaiman yang masa jabatannya berakhir pada 5 September 2023.
Daeng Bau, seorang warga Pulau Lae-lae menyatakan aksi mereka untuk mempertegas penolakan reklamasi. “Sampai kapan pun warga akan terus berjuang mempertahankan apa yang menjadi haknya, pemerintah harus mendengar rakyatnya. Sekali lagi tolak reklamasi, tidak ada negosiasi,” ungkapnya dalam orasinya.
Mereka meminta pemerintah menghentikan rencana proyek reklamasi di Pesisir Pulau Lae-Lae dan merevisi aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakomodir alokasi ruang untuk reklamasi, serta meminta pemerintah memenuhi dan melindungi hak-hak warga Pulau Lae-Lae yang mempertahankan ruang hidupnya.
baca : Reklamasi Pulau Lae-Lae dan Gugatan Ruang Hidup Warganya

Hasbi, perwakilan Kawal Pesisir, mengatakan penolakan warga karena reklamasi mengganggu aktivitas perekonomian nelayan.
“Lahan yang akan direklamasi tersebut adalah lokasi para nelayan menangkap ikan. Sehingga, akan menggerus ekosistem laut dan mata pencarian nelayan setempat,” ujarnya.
Sejak awal, katanya, perencanaan proyek reklamasi tidak pernah melibatkan partisipasi warga secara bermakna, padahal warga pulau bakal terdampak langsung reklamasi.
Pulau Lae-Lae jaraknya sangat dekat dengan daratan Makassar, dihuni sekitar 2.000 ribu jiwa. Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar sebelumnya telah membangun sejumlah fasilitas publik untuk kepentingan wisata.
Rencana reklamasi ini dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Selatan bernomor 180/1428/B.Hukum, perihal reklamasi di sekitar Pulau Lae-Lae. Luas reklamasi 12,11 hektar, melibatkan PT Yasmin Bumi Asri sebagai kontraktor pelaksana.
Reklamasi ini dilakukan sebagai lahan pengganti kekurangan yang sebelumnya telah disepakati antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan pengembang CPI.
baca juga : Terbitkan PP Tambang Pasir Laut, Pemerintah Tak Belajar dari Kasus Pulau Kodingareng

Sejak Februari 2023 hingga saat ini, warga Lae-Lae bersama dengan Kawal Pesisir, telah melakukan 7 kali aksi penolakan reklamasi, dengan berbagai cara, baik melalui, aksi respons cepat, penghadangan, parade laut, festival pulau dan aksi di depan kantor DPRD dan Gubernur Sulsel.
Sekitar 1.500 orang dari 1.800-an orang warga telah menandatangani petisi penolakan reklamasi. “Hingga saat ini angka tersebut terus bertambah seiring dengan penolakan terhadap reklamasi yang semakin menguat,” ujar Hasbi.
Jumlah itu membantah klaim PT Yasmin yang menyatakan 99 persen warga menerima reklamasi dari hasil survei yang dilakukannya.
Jika reklamasi Pulau Lae-lae tetap dipaksakan berlanjut, katanya, akan memicu pelanggaran HAM dan konflik sosial antara warga dan pemerintah. Sebelum adanya reklamasi, warga Lae-Lae telah cukup sejahtera dengan cara mengelola sumber daya alam yang saat ini berjalan.
“Jika pemerintah punya kehendak untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan pembangunan, maka sudah seharusnya setiap rencana tersebut didiskusikan secara terbuka dan partisipatif dengan warga,” tambahnya.
baca juga : Mereka yang Terimbas Reklamasi di Pesisir Makassar

Menurut Rizal Fauzi, pengamat kebijakan publik dari Universitas Hasanuddin, reklamasi Pulau Lae-lae memiliki masalah yang kompleks. Tidak hanya soal reklamasinya saja, tapi juga terkait pembagian lahan di Center Point of Indonesia (CPI) milik Pemprov seluas 12,11 yang harus dibuka dan transparan.
“Kalaupun yang menjadi hak pemprov adalah yang menjadi area reklamasi Pualu Lae-lae, tentu patut ditelusuri lebih lanjut mengapa yang menjadi bagian dari pemprov bukan berada di lokasi strategis,” katanya.
Menurut Rizal, Pemprov patut merespon serius penolakan warga Pulau Lae-lae dengan menyerap aspirasi dan membuka ruang diskusi, termasuk opsi menghentikan reklamasi jika merugikan masyarakat.
“Pemerintah harus melakukan pemetaan aktor dengan pendekatan multiaktor. Semua pihak harus duduk bersama, serta membahas titik temu kepentingannya. Setiap proses harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, sehingga semua pihak dapat terlibat aktif dalam pembangunan ini, serta untuk mencegah konflik kepentingan yang terjadi dalam proyek reklamasi ini,” pungkasnya. (***)