- Pemerintah meresmikan Waduk Jatigede seluas lebih dari 4.100 hektare sejak Agustus 2015 silam. Proyek senilai Rp6,2 triliun ini terlaksana dengan menggusur 11.469 keluarga di 32 desa.
- Warga setempat mendapatkan dana ganti rugi penggusuran Waduk Jatigede yang tidak sepadan. Bahkan ada warga yang tidak mendapatkan dana ganti rugi
- Setelah Waduk Jatigede resmi beroperasi, warga mengeluhkan minimnya pendampingan. Mereka seolah ditelantarkan sehingga nasibnya menemui nestapa. Mereka berharap dapat lagi bertani di lahan sendiri seperti dulu
- Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir berharap keberadaan Waduk Jatigede tidak menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru. Meski kenyataannya berbeda
Berkorban atas nama pembangunan adalah jalan menuju ketidakpastian. Ketimpangan hidup itu nyata adanya.
Sebelum temaram, perahu kecil itu merayap pelan mengantarkan para pemancing pulang dari peraduannya di Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hari itu bukanlah hari keberuntungan bagi Irin (50). Buruh tani yang hobi mancing itu tak mendapat seekor pun ikan untuk dibawa pulang sebagai kudapan makan malam keluarga.
“Biasanya dapat 1-2 kilogram,” kata Irin sembari merapikan joran dan bergegas pulang ke Majalengka.
Meski berjarak 33 kilometer dari rumah, Waduk Jatigede menjadi lokasi favorit memancing Irin yang baru. Dapat ikan atau tidak bukanlah persoalan. Yang penting bisa melepas rungsing, katanya.
Di balik kemudi perahu, Udit Surdiat (63) tersenyum simpul. Dia baru saja mengantar lima orang pemancing hari itu. Selama ada kail yang dilemparkan, harapan masih mudah ditemuinya.
Wajah keriput. Otot mengkerut. Tubuhnya kecil berbalut kaos oblong, Udit memang sudah ketuaan berprofesi “ojek” perahu. Namun pekerjaan semacam ini ditekuni sebagai bentuk adaptasi. Beruntunglah Udit masih bisa mendapatkan penghasilan Rp50-100 ribu dari ngojek.
Sejak Agustus 2015 silam, pemerintah meresmikan Waduk Jatigede seluas lebih dari 4.100 hektare. Namun, proyek senilai 467 juta dollar atau setara Rp6,2 triliun ini terlaksana dengan menggusur 11.469 keluarga di 32 desa. Udit satu di antara ribuan warga yang berkorban untuk itu. Atas nama proyek strategis nasional, dia legowo menerima kompensasi.
Ada tamsil kesabaran yang ditunjukan Udit. Meski kadang dia juga menggerutu. Kehilangan lahan garapan seluas satu hektare bukan hal mudah untuk diterima.
“Jika harus memilih, lebih baik mengembalikan uang ganti rugi kepada pemerintah dengan syarat tanah kembali dibanding harus hidup susah di tanah kelahiran sendiri,” ungkap warga kampung Pasir Pogor, Desa Ciranggem, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, saat ditemui Minggu (13/8/2023) lalu.
baca : Waduk Jatigede yang Kini Tidak Basah Lagi
Udit bercerita asal-usul dana ganti rugi. Dia mendengar dari mulut orang tuanya, jika semua lahan kepunyaan warga mesti dijual kepada pemerintah. Katanya, untuk dibangun bendungan.
“Bapak diminta tanda tangan pada 1984 lalu. Lahannya dihargai Rp7.000 per tumbak (14 meter persegi),” tuturnya. “Ada informasi ganti rugi lahan sebenarnya Rp.7.000 per meter persegi.”
Warga tak berani protes. Apa boleh buat. Modal pengetahuan pun tak punya.
Hingga klausul itu muncul kembali selang 30 tahun. Mereka bingung karena tiba-tiba pemerintah menagih sekaligus mengklaim kuasa atas lahan. Padahal mereka sudah lupa ihwal riwayatnya.
Berdasarkan dokumen Peraturan Presiden (Perpres) No.1/2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede, diketahui bahwa pemerintah mengalokasikan dana Rp800 miliar dari DIPA APBN 2015 untuk biaya ganti rugi.
Sial bagi Udit. Dia dimasukkan ke dalam kelompok warga yang telah menerima penggantian di awal. Tak ada pilihan untuk menolak, selain berat hati menerima uang Rp29 juta. Sedangkan warga yang belum mendapat ganti rugi tahap pertama mendapat uang kerahiman sebesar Rp122 juta.
“Ti pun bapa teu dipasihan terang nanaon. Saurna kapungkur kantos sadaya sertifikat dikempelkeun ku desa (Dari bapak tidak memberikan kabar apapun. Dulu sudah ada pengambilan sertifikat oleh desa),” terang Udit. “Saemut abdi, abdi oge masih linggih sareng pun bapa teu acan ngagaleuh nyalira (Seingat saya, waktu itu masih tinggal di rumah bapak, belum beli sendiri).”
baca juga : Kisah Keringnya Wajah Warga Ketika Jatigede Basah
Pembagian kompensasi diduga sudah bermasalah sejak awal. Terutama ditahap verifikasi. Prosesnya ramai dibicarakan. Warga yang sudah meninggalkan kampung, atau mereka yang bukan warga asli, malah kebagian uang kerahiman lebih besar.
Udit pasrah. Sisa kekayaan dibelikan sepetak tanah melipir di pinggir bendungan. Jangan tanya soal ladang, sawah, dan warisan keluarga. Semua tak diganti sepadan.
Sebenarnya sebagai keluarga tani, Udit mafhum soal hitung-hitungan panen. Punya sawah tadah hujan mampu memberi hidup satu tahun. Cukup dua kali panen padi dan satu kali panen tembakau.
Kali ini, dia bersiasat. Setiap musim kemarau, seperti sekarang, dia menanam tembakau. Selagi surut, bantaran waduk sering dimanfaatkan warga untuk bertani.
“Saleresna mah teu kenging, tapi da kumaha deui kapaksa kanggo nambihan kanggo tuang (Sebetulnya dilarang, tapi ya gimana lagi ini dilakukan terpaksa untuk biaya makan),” kata Udit.
Sulit Alih Profesi
Setelah Waduk Jatigede resmi beroperasi, warga mengeluhkan minimnya pendampingan. Mereka seolah ditelantarkan sehingga nasibnya menemui nestapa.
Maman Ajo (48), misalnya. Warga Kampung Cipondoh, Desa Pawenang, Kecamatan Jatinunggal ini sekarang bertahan hidup dengan menjual perahu. Keahlian yang dikembangkan dari hasil belajar sendiri. Ajo berguru pada orang Cirata.
Satu unit perahu dijual Rp6-12 juta tergantung ukuran. Ada yang panjang 6,5 meter dengan lebar 1,5 meter. Ada juga yang lebih daripada itu. “Perahu-perahu di bendungan ini kebanyakan memesannya kepada saya,” ujar lelaki gempal tersebut.
baca juga : Pertahankan Kabuyutan, Budayawan Sunda Menolak Penggenangan Waduk Jatigede
Jika sepi pesanan, Ajo berselang-seling mencari pekerjaan. Semisal, menawarkan jasa wisata perahu setiap akhir pekan. Ongkosnya Rp15-20 ribu per penumpang. Sebelumnya, dia sempat mencoba peruntukan menjadi pemborong ikan. Namun, usaha itu tak bertahan lama. Satu unit mobil dan dua sepeda motor hilang sebagai gantinya.
Menjadi pemborong ikan dipilih karena banyak warga berminat menjadi pembudidaya keramba jaring apung (KJA) sejak 2018. Butuh Rp50-150 juta untuk 1 unit keramba dengan 4 kolam. Jika mujur, mereka bisa balik modal dalam setahun.
Sore itu, Ajo bertandang ke keramba milik temannya. Sepanjang perjalanan, banyak keramba terbengkalai. Keramba-keramba itu milik warga, katanya. Namun sebagian besar merugi. Apa boleh buat. Mereka petani, bukan pembudidaya.
“Jadi ibarat kalau di sini mah ilmu di darat beda dengan ilmu di air,” ucapnya berkelakar.
Ajo menceritakan kepiluan warga. Mungkin dia bisa saja menangis dalam hatinya. Kini orang mau berbuat apa saja untuk bisa sekadar menata kehidupan yang compang-camping akibat telanjur berkorban.
Semula disepakati bahwa untuk alih profesi, warga terdampak dijatah empat unit keramba tiap satu kepala keluarga. Namun sekarang hampir 90 persen keramba dipunyai pejabat dan aparat. Sisanya, segelintir warga yang terpaksa bertahan.
baca juga : Penggenangan Waduk Jatigede, Keberadaan Situs Bersejarah Terancam (Bagian 2)
“Keramba nu eta jadi dijual? (Keramba itu jadi dijual?)” tanya Ajo sesampai di keramba.
“Jadi soalna bogaeun hutang Rp70 juta deui (Jadi karena punya utang Rp 70 juta lagi).”
“Ah ka urang mah ngomong Rp75 juta (Ah ke saya bilangnya Rp75 juta),” timpal Ajo. “Karunya eweuh deui pacabakan, malah malik hutang (Kasihan gak ada lagi kerjaan, sekarang malah berutang)”
“Urang ge kamari bangkar Rp30 juta, ngan ukur kurang pakan saton padahal mah (Saya kemarin bangkar Rp30 juta hanya karena kekurangan pakan satu ton).”
Mencengangkan juga memang! Mereka yang tak mampu membayar pinjaman mesti kehilangan keramba. Atau paling buruk, membayar dengan tenaga.
Ajo mengingatkan, mereka yang bermodal pas-pasan jangan harap bisa bertahan. Bayangkan saja, rumus panen hitungannya 1 banding 2. Artinya untuk 1 ton ikan, dibutuhkan 2 ton pakan. Dengan siklus usaha 3-4 bulan, orang baru bisa panen.
“Kisaran sekarang harga jual ikan mas Rp18-20 ribu. Kalau panen bagus mungkin bisa untung Rp20 juta. Sebaliknya jika seperti kondisi sekarang, air surut, balik modal saja masih untung,” ujar Ajo.
Di balik hitung-hitungan untung rugi, tersirat fakta bahwa tentang status KJA. Toh warga sudah kadung kecebur. Apa boleh buat. Akhirnya mereka berinisiatif mendirikan kelompok dan berharap terhindar dari penertiban aparat, meski para investor dimasukkan juga ke dalam kelompok itu.
“Lamun enya oge dilarang bakal ngalawan urang mah. Warga asli terdampak rek kana naon deui pacabakan? Rek tani na apan sawah na geus eweuh titeuleum (Misal dilarang saya tetep akan melawan. Saya asli warga terdampak harus bagaimana lagi untuk bertahan hidup? Sudah jelas tak mungkin bertani karena sawah pun tidak ada),” tutur Ajo.
Dalam pencatatan kelompok KJA Cibunut, sedikitnya ada 1.200 unit keramba. Dari jumlah tersebut, sekitar 900 unit diidentifikasi aktif, sisanya dibiarkan terbengkalai.
Saat ini warga sudah banyak mendirikan kelompok KJA di masing-masing wilayah. Mereka mungkin salah, atau mungkin juga benar. Urusan perut memang selalu rumit bagi mereka yang sudah rela angkat kaki.
Di hari yang sama, belasan kilometer di utara Jatigede, tepatnya di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kompak meresmikan Menara Kujang Sapasang senilai Rp18,3 miliar. Dana itu bersumber APBD Pemprov Jawa Barat. Sebelumnya, Pemda Sumedang telah menggelontorkan dana Rp13,1 miliar untuk membangun Masjid Al Kamil.
Dana yang setara dengan separuh APBD Sumedang itu digelontorkan demi mendongkrak sektor wisata. Pemerintah berharap ekonomi bakal tumbuh di sana. Mereka bicara sederet rumus ekonomi yang ujungnya adalah tentang kesejahteran.
“Perlu saya sampaikan, inilah Bendungan Jatigede. Warga masyarakat sekitar ada lima kecamatan di sini telah merelakan tanahnya, telah hilang mata pencahariannya, telah hilang rasa betahnya walaupun airnya tidak dinikmati irigasinya oleh Sumedang,” kata Bupati Dony.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), wilayah yang dipilih sebagai lokasi proyek termasuk kategori tujuh desa termiskin di Sumedang. Oleh karena itu, Dony menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin keberadaan bendungan malahan menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru.
Entah sejauh apa kebanggaan dan harapan berdampak. Setelah hari persemian itu hidup kembali sempit dan pendek. Sependek nasib orang-orang yang rela terbuang. (***)
Liputan ini merupakan kerja kolaboratif yang diinisiasi LBH Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal, hasil repotase oleh Donny Iqbal dan Muslim Yanuar Putra, ditayangkan serentak di Mongabay Indonesia dan Ayo Bandung