- Beragam masalah dihadapi oleh warga penyintas penggusuran proyek Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jabar. Banyak dari mereka yang hidup lebih miskin dibanding sebelum digusur
- Dari proyek PSN Bendungan Jatigede, Pemprov Jabar berharap adanya investasi yang masuk, dengan menawarkan 10 proyek dengan total nilai investasi lebih dari Rp70 triliun, seperti di Lido dan Kawasan Metropolitan Rebana.
- Meski jadi andalan Pemprov Jabar untuk mendongkrak perekonomian daerah, operasional waduk Jatigede terganggu oleh berbagai masalah seperti debit air cenderung defisit saat kemarau, dan keberadaan 4 ribu unit keramba jaring apung (KJA) dan penyalahgunaan sempadan dengan pembangunan Tugu Kujang Kembar dan Masjid Al-Kamil
- Setelah delapan tahun Waduk Jatigede beroperasi masih banyak masalah, seperti hak-hak warga gusuran yang diabaikan, kerusakan lingkungan secara masif, tidak adanya pelibatan warga gusuran dari awal proyek dan minim kajian sosial serta ekologi.
- Tulisan ini merupakan bagian kedua. Bagian pertama bisa dibaca disini
Imas (43) adalah potret emak-emak rela berkorban demi ambisi penguasa. Dua kali kena gusur proyek pemerintah, nasibnya memperpanjang kisah muram bagi mereka yang terpaksa melepas tanahnya.
Tahun 2015, atas nama proyek pembangunan Bendungan Jatigede itu Imas pergi dari Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Padahal hidup sudah bahagia dan sentosa.
“Pindah pun bingung waktu itu,” katanya. “Orang-orang juga bingung harus kemana pindah? Beruntung saya diajak pak Kuwu (kepala desa) mencari tempat tinggal baru bersama warga lainnya supaya tidak terpencar.”
Bukan perkara mudah memang menata hidup di tempat baru. Uang pengganti yang diberikan pemerintah Rp29 juta per keluarga jauh dari cukup. Banyak warga terpaksa menjual harta benda. Tak sedikit yang lalu menimbun utang.
Dengan uang segitu, Imas tukarkan dengan tanah 11 tumbak di Desa Cacaban, Kecamatan Conggeang. Sebagian bahan baku rumah baru seperti pintu, jendela, dan genteng, dibawanya sejuah 39 kilometer dari rumah lama yang akan tenggelam. Agar cukup ongkos, katanya.
Baru dua tahun menata hidup, Imas mesti hengkang lagi. Sial betul nasibnya. Desa Cacaban terdampak mega proyek Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu).
Semula Imas tak terlalu ambil pusing. Pikirnya, jalan tol sepanjang 61,6 kilometer dengan anggaran Rp18,3 triliun akan molor seperti Jatigede.
Namun pada tahun 2017, kabar itu benar adanya. Rumah Imas dan puluhan warga lainnya tergusur demi memuluskan jalan menuju bandara baru di wilayah Priangan itu.
“Saya di Cipaku menjadi warga yang dikejar-kejar oleh air. Sedangkan di Cacaban, saya menjadi warga yang dikejar-kejar buldoser,” imbuh Imas menceritakan sulitnya mencari tempat relokasi sendiri.
baca : Nasib Mereka yang Tergusur oleh Bendungan Jatigede (Bagian 1)
Kata Imas, warga dilarang menolak. Warga hanya diberi pilihan menerima.
“Dulu pak RW sempat menolak. Malah rumahnya dibiarkan dilintasi alat berat,” tutur Imas.
Beruntung uang ganti rugi kali ini dianggap layak. Sekalipun tak ada negosiasi, harga ganti rugi sudah ditentukan kisarannya antara Rp6-11 juta sesuai dengan kondisi lahan dan bangunan. Pencairannya dana dilakukan bertahap selama dua tahun.
Perlahan, Imas bangkit. Adanya kelebihan kompensasi mampu mengubah predikat dari petani menjadi pedagang. Imas kini membuka kelontongan dan menjual hasil pertanian saat panen tiba.
Ragam Masalah Melambungkan Ekonomi
Di satu sisi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat tak ingin kehilangan momentum cuan dari adanya proyek nasional tersebut. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat, mereka punya target investasi masuk ke Jawa Barat sebesar Rp188 triliun pada tahun 2023. Setengah tahun berjalan, jumlahnya sudah menyentuh lebih dari Rp100 triliun.
Melalui West Java Investment Summit (WJIS) pada 9 Agustus 2023 lalu, misalnya, Pemprov Jabar sudah menawarkan 10 proyek dengan total nilai investasi lebih dari Rp70 triliun. Termasuk di dalamnya Special Economic Zone of Lido Bogor, Electric Motorcycle Industry for Electric Vehicles, dan industri roda pesawat di kawasan Metropolitan Rebana.
Kawasan Metropolitan Rebana mencakup Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Kabupaten Majalengka, yang ditunjang oleh keberadaan Waduk Jatigede. Di selatan bandara akan dibuka industri aerocity atau kota bandara yang mencakup apartemen, pabrik, pergudangan, pusat bisnis, dan perkantoran.
Dalam rencana besar ini, Bendungan Jatigede amatlah strategis. Bendungan seluas 4.983 hektare itu diproyeksikan mampu berperan sebagai penopang kebutuhan industri, penyuplai pangan, serta pemasok energi.
baca juga : Waduk Jatigede yang Kini Tidak Basah Lagi
Merujuk data Unit Pengelola Bendungan (UPB) Jatigede, bendungan terbesar kedua di Indonesia in baru beroperasi penuh pada tahun 2020. Saat ini indeks pertanaman mencapai 280 persen per tahun. Ditargetkan, bendungan ini bisa secara optimal mengairi irigasi bagi 90 ribu hektare pertanian di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Majalengka yang selama ini tergolong sawah tadah hujan. Lebih dari 1 juta petani disebut bisa memperoleh manfaat. Penyedian air baku pun ditargetkan mampu menyuplai di 3.500 liter per detik atau setara kebutuhan 600 ribu jiwa.
“Kami baru bisa menyanggupi dua dari empat target dari fungsi Jatigede,” kata Kepala UPB Jatigede Yuyun Wahyudin.
Fungsi Bendungan Jatigede sebagai pembangkit listrik sebesar 110 megawatt (MW) sedang disiapkan. Progresnya kurang lebih sudah 90 persen. Dengan kekuatan daya sebesar ini, diharapkan bisa mencukupi kebutuhan kawasan Metropolitan Rebana.
Yuyun tak menampik, sedianya Bendungan Jatigede memang disiapkan untuk menopang operasional Bandara BIJB dan tumbuhnya industri baru di sekitarnya. Meski roadmap ihwal area cakupannya masih belum diketahui.
Yuyun menyebut ada sejumlah masalah yang mengganggu kelancaran operasional waduk, terutama masalah pasokan air. Di hulu Sungai Cimanuk, debit air cenderung defisit saat kemarau. Deforestasi dan alih fungsi lahan menjadi biang keladinya.
Alur hidrologi jadi kacau. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), fluktuasi debit sungai Cimanuk sangat besar. Saat musim hujan sebesar 1.004 meter kubik per detik, sedangkan pada musim kemarau hanya 4 meter kubik per detik.
Yuyun menyinggung juga keberadaan keramba jaring apung (KJA) yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 4 ribu unit. Sisa pakan berpotensi menambah sedimen dan mengurangi umur layanan waduk yang dirancang selama 50 tahun.
Apalagi, sudah ada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang Tahun 2018-2038 yang melarang pemanfaatan waduk untuk KJA. Adapun pelanggaran lainnya yakni pemanfaatan sempadan waduk yang tidak sebagai mestinya.
Pelanggaran itu jelas dilakukan ketika pembangunan Tugu Kujang Kembar dan Masjid Al-Kamil oleh pemerintah. Sebagai sabuk hijau, sempadan waduk memiliki peran strategis sebagai penahan laju erosi dan pengendali iklim sekitar waduk.
Aturan menyebut 50-100 meter sepadan diprioritaskan untuk konservasi sekaligus mengantisipasi elevasi permukaan air (water level) yang di musim penghujan bisa mencapai 260-265 meter.
“Yang jelas aturannya tidak diperbolehkan dijadikan area pemanfaatan lain atau mendirikan bangunan,” ungkap Yuyun. “(Pembangunan) Itu tidak mengantongi izin dari kami sebagai pengelola waduk.”
baca juga : Kisah Keringnya Wajah Warga Ketika Jatigede Basah
Pemprov Jabar memang menaruh harapan besar pada Waduk Jatigede. Kawasan itu jadi andalan menopang target pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen di tahun 2030. Jika itu tercapai, dijanjikan akan ada sekitar 4,5 juta lapangan pekerjaan selama 10 tahun ke depan. Saat ini, 20 perusahaan sudah menanamkan modal untuk membangun aerocity di 13 kawasan peruntukan industri (KPI).
Untuk membangun kawasan elite kota bandara ini dibutuhkan sekitar 3.500 hektare lahan. Lagi-lagi lahan sawah produktif di salah satu lumbung padi Jabar terancam lenyap.
Lepas Tangan Setelah Proyek
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Wahyudin berpendapat, setelah delapan tahun Waduk Jatigede beroperasi masih banyak masalah yang ditinggalkan. Hak-hak warga yang sudah berkorban demi Proyek Strategis Nasional (PSN) diabaikan.
“Dalam catatan kami, tidak hanya masalah sosial yang sampai saat ini belum selesai. Kami juga menemukan adanya kerusakan lingkungan secara masif,” ujar Iwank, sapaan akrab Wahyudin saat dihubungi lewat telepon, Senin (9/10/2023).
Iwank menyoroti dampak turunan pasca pembangunan waduk. Penyusutan air waduk menjadi bukti bahwa ketersediaan air bukan faktor yang dapat dikontrol. Apalagi kerusakan di hulu Cimanuk, Kabupaten Garut, tidak pernah secara serius diantisipasi. Luas lahan kritis daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk diketahui mencapai 110 ribu hektare atau setara 31 persen dari luas total 341.000 hektare.
Merujuk data ini, Iwank mempertanyakan azas kebermanfaatan Bendungan Jatigede. Penyebabnya, pemerintah kurang mengkaji aspek-aspek pendukung keberlanjutannya.
“Kondisi itu justru rentan menurunkan taraf hidup mereka yang sudah rela berkorban demi pembangunan,” katanya.
Menurut Iwank, Bendungan Jatigede tak lebih dari upaya pemerintah menggejot kawasan industri baru di kawasan Priangan yang ujung pangkalnya hanya kepentingan ekonomi. Tingginya konflik yang mewarnai luput dari perhatian.
baca juga : Penggenangan Waduk Jatigede, Keberadaan Situs Bersejarah Terancam (Bagian 2)
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Lasma Natalia menilai, proyek-proyek skala besar seringkali tidak melibatkan masyarakat secara memadai. Tidak ada kesempatan untuk mereka menolak atau bernegosiasi.
Minimnya partisipasi publik inilah berisiko menyulut konflik. Banyaknya kasus pengadaan lahan berujung intimidasi menjadi bukti bahwa masyarakat bukan menjadi obyek dari pembangunan ekonomi.
Padahal masyarakat berhak memperoleh penghidupan layak yang tidak hanya diukur dari besaran ganti rugi setara harga tanah semata. Yang juga mesti masuk kalkulasi hitungan adalah ketimpangan sosial.
Proyek Jatigede bisa dijadikan refleksi sikap pemerintah yang lepas tangan dalam proses relokasi dan alih profesi. “Dari hasil pemantauan LBH berdasarkan tuturan korban-korban Jatigede, bahkan warga tidak lagi mendapat akses lahan yang sesubur sebelumnya. Juga pekerja yang pantas sulit mereka dapatkan,” terang Lasma.
Minim Kajian Dampak
Silang sengkarut persoalan sosial yang belum tuntas itu dikritisi Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lilis Mulyani. Menurutnya, pola pembangunan ekonomi acapkali minim kajian sosial dan ekologi.
Akibatnya, kebijakan pembangunan berskala nasional kerap menyasar wilayah-wilayah pertanian produktif. Kemiskinan acap kali dijadikan variabel yang disembunyikan dalam rumus ekonomi pembangunan. Tidak heran jika semakin moncer pembangunan, semakin banyak pula pertumbuhan orang miskin.
Bendungan Jatigede diketahui pelaksanaan proyeknya baru berjalan setelah mendapat kepastian dana loan lebih dari US$200 juta dari CEXIM-China. Namun, proyek itu tak menghitung biaya relokasi lebih dari 11 ribu manusia, kata Lilis.
“Untuk proyeksi hitungan balik modal atau utang itu kapan akan lunas, mungkin perlu dikaji secara khusus. Tapi hasil penelitian kami menunjukkan, ada banyak masalah sosial yang tidak dibersihkan secara holistik di sana,” kata Lilis ketika dihubungi pada Rabu (20/10/2023).
Lilis menyebut, masyarakat penyintas Bendungan Jatigede atau orang terdampak langsung (OTD) kerap termarjinalkan di lingkungan baru. Mereka harus bertarung dengan kerasnya kehidupan. Bahkan sulit bagi mereka mendapat nikmat sama seperti di tempat lama.
Beragam sektor penunjang bagi warga yang pindah seringkali luput diperhatikan, seperti mata pencaharian, jaminan keberlanjutan hidup, dan dukungan sosial. Ditambah lagi basis data yang buruk, yang tidak mampu memetakan kondisi warga terdampak secara tepat.
“Banyak dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan,” ungkap Lilis. “Dulu punya rumah, sekarang terkatung-katung mengontrak dari satu tempat ke tempat lain.”
baca juga : Banyak Masalah, Warga Tolak Penggenangan Waduk Jatigede
Menurut Lilis, Jatigede adalah kawasan subur. Lahan produktif dengan ragam biodiversitas khas Jabar ada di sana. Selain itu, lebih dari 30 situs budaya bersejarah turut ditenggelamkan. Sebagian di antaranya berasal dari peninggalan masa prasejarah (megalitikum) hingga masa Kerajaan Tembong Agung atau Sumedang Larang.
Informasi arkeologis dan kesejarahan dalam situs-situs tersebut, mengandung makna bahwa masyarakat Jatigede dan sekitarnya, sejak awal keberadaannya sudah memiliki budaya yang mapan. Masyarakat hidup dengan pola menetap, memiliki pengetahuan, dan berpengalaman dalam bercocok tanam.
Juga jauh sebelum lahir konsep modern pengelolaan terpadu pada daerah aliran sungai, yakni one river, one plan, one management, leluhur Sunda sudah punya pengetahuan lokal lewat Patanjala sejak abad ke-13 lalu. Patan artinya air dan jala adalah sungai atau wilayah yang harus dipelihara dan dilestarikan. Karuhun Sunda sudah membagi wilayah tata air itu menjadi empat, yakni walungan sebagai sungai besar, yang kemudian dibuat wahangan, solokan, dan susukan atau sungai-sungai kecil.
Pada akhirnya, wilayah yang dilewati PSN punya peluang tumbuh menjadi kota gagal: angka pengangguran yang tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam yang menurun, dan kinerja sarana serta prasarana yang timpang. Bukan tidak mungkin, tujuan baik dari pembangunan justru akan memicu konflik berkepanjangan antara warga dengan negaranya.
Berharap Tetap Jadi Petani
Jauh di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, informasi pembangunan aerocity sudah sampai ke telinga Hasan (46). Dia gusar. Bukan tidak mungkin 300 bata atau setara 4.200 meter persegi lahan yang dimiliki bakal beralih fungsi.
Menghabiskan sepanjang usia sebagai petani, Hasan belum bisa membayangkan beralih profesi menjadi pedagang, buruh pabrik, atau pemilik kontrakan.
Tapi Hasan sudah menikmati hidup bersahaja sebagai petani. Di sawah yang dirawat dengan getir memeras keringat itu, tak kurang dari 5-6 ton gabah bisa dipanen dalam satu musim.
“Kecuali kemarau panjang biasanya panen cuma setengahnya,” ucapnya.
Setelah dihitung-hitung, menjadi petani sebenarnya cukup menguntungkan juga. Seperti panen hari ini, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sudah Rp8.000 per kilogram atau sudah naik 60 persen dari HPP yang ditetapkan sebesar Rp5.000 per kilogram.
Hasan bisa menghasilkan Rp10-16 juta, dengan modal tani sekitar Rp5-7 juta untuk membeli pupuk dan bibit, sewa traktor, serta sewa mesin pompa air. Upah tenaga kerja nol karena mencangkul dan menyemprot hama, dilakukan sendiri. Artinya, penghasilan keluarga tani ini kira-kira Rp2 juta sebulan. Itu setara penghasilan upah minimum regional Kabupaten Majalengka.
Uang sebanyak itu cukup untuk hidup di kampung. Beras untuk makan sehari-hari adalah hasil menyisihkan dari hasil panen padi.
“Entah bagaimana jadinya jika saya harus pergi demi proyek pemerintah,” kata Hasan dengan tatapan kosong. (***)
*Reportase ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif yang diinisiasi LBH Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal