- Warga di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menghargai makna tanah miliknya. Mereka membuat perayaan yang erat kaitannya dengan sejarah dan warisan budaya.
- Hari Gotong Rumah, salah satu cara warga mengingat sejarah wakare atau migrasi ketika masa Penjajahan Jepang.
- Banyak petani sejauh ini belum mendapat akses seutuhnya terhadap tanah dan lahan hutan yang tersisa. Mereka dibayangi konflik perebutan lahan ditengah maraknya pembangunan di Majalengka yang masuk kawasan industri baru strategis segitiga Rebana Jabar
- Segala persoalan tenurial di masyarakat dicermati dengan solusi kreatif melalui konsep Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana) milik Jatiwangi art Factory (JaF) yang menyeimbangkan pembangunan, hutan adat dan konservasi yang bersua lewat seni tanah liat terakota
Wakare adalah ironi Hari Tani Nasional. Menjelang musim tanam ketiga, warga Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, melambungkan harapan di tengah anomali iklim yang rentan membuat kuldesak.
Dalam bahasa Jepang, wakare diartikan pindah atau pergi. Khusus untuk itu, warga di sana memperingati pengusiran warga kampung di era pendudukan Jepang. Mereka menyebutnya hari itu sebagai Hari Gotong Rumah.
Mengenakan caping, ibu-ibu hingga anak-anak memikul alat masak menggunakan sarung. Ada juga yang membawa padi serta umbi-umbian. Bapak-bapak menggotong replika tujuh rumah tradisional Sunda berdinding bilik bambu dan beratap jerami. Tak ketinggalan wadah berisi pupuk cair organik menggantung di bangunan itu. Mereka berjalan kaki dua kilometer menyusuri jalan desa.
Iring-iringan itu bentuk merawat ingatan mereka. Pada 1943, Jepang ingin membangun landasan pesawat di wilayah Ligung dan Dawuan. Warga setempat diminta segera pergi dari kampung. Daerah terdampak rencana pembangunan itu adalah Desa Buntu, Beber, Beusi, Cibogor, Pilang, Kampek, dan Salawana.
Sekalipun Belanda dan Jepang sudah tak lagi menguasai negeri ini, ternyata tuan tanah dalam wajah baru tetap hadir. Dan itu tampak pada wajah-wajah gusar warga yang mengais keadilan.
Cerita itu menjadi tuturan berulang. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, warga Wates kembali ke lahannya. Namun nyatanya sudah ada pihak lainnya yang mengklaim memiliki tanah itu. Setidaknya ada 158 kepala rumah tangga belum punya sertifikat tanah.
baca : Nasib Mereka yang Tergusur oleh Bendungan Jatigede (Bagian 1)
Sepanjang ingatan Sopiah (50), warga Wates, cerita itu tak berubah. “Hingga saat ini tanah kami belum diakui secara sah oleh pemerintah,” katanya saat ditemui di akhir Agustus lalu.
Bersama ibu-ibu lainnya, Sopiah mencoba memupuk solidaritas. Setidaknya, rasa itu sudah dirawat ketika setelah mereka berunjuk rasa di depan istana negara.
Mereka pasrah, tetapi bukan menyerah. Kata Sopiah, memperingati wakare dengan berkesenian adalah bagian merawat ukhuwah di antara warga.
Mereka merayakannya dengan makan bersama nasi jamblang. Nasi yang dibungkus dengan daun jati dan sejumlah lauk pauk itu menjadi simbol dari egaliter. Apalagi bahan bakunya berasal dari patungan dapur keluarga tani.
Ayu Anindya (25), anak muda Wates, berharap kreativitas mampu mengenalkan kisah kampungnya. Tujuannya agar sendi sosial yang sudah terbentuk tak goyah.
Ayu sudah tiga kali ikut memperingati Hari Gotong Rumah. Dia gusar jika sewaktu-waktu kena gusur. Untuk itu, Ayu rela memeras keringat untuk terus terlibat dan mengabarkan kepada banyak pihak supaya mereka punya kepedulian yang sama terhadap kampung halaman.
“Saya tak ingin mengalami penggusuran seperti di daerah lain” ucap mahasiswi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini. “Itu sangat menyedihkan. Harus pergi dari tempat lahir sendiri.”
Warga gelisah jika anak dan cucunya tidak dapat menikmati tanahnya kelak. Mereka berharap, wakare mengingatkan semua bahwa warga Wates juga berhak memiliki hak atas tanah.
baca juga : Atas Nama Proyek Nasional, Mohon Minggat Dulu (Bagian 2)
Atas Nama Tanah
Ketimpangan penguasaan tanah antara sekelompok kecil dengan pemodal besar seringkali berujung ironi. Potret lahan juga kerap diwarnai lumuran darah dan kekerasan. Konflik atas tanah terus menjadi catatan hitam sejarah sejak gelombang kolonialisme lahir.
Agaknya, konflik itu makin kentara terjadi. Belum genap 10 tahun terakhir, misalnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data adanya 2.710 konflik agraria. Itu terjadi di 5,8 juta hektar tanah dengan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia.
Posisi petani terjepit. Kondisi kurang menguntungkan itu kerap jadi “hadiah” perayaan Hari Tani di tengah ancaman kuldesak akibat perubahan iklim. Padahal, bagi mereka benih dan kemerdekaan atas tanah adalah satu tarikan nafas.
Kesenjangan kepemilikan tanah coba dilawan oleh Ginggi Syarif Hasyim (51) dan Arief Yudi Rahman (55). Kakak beradik ini susah payah menyulap bekas pabrik genteng milik orang tuanya jadi ruang untuk bersuara.
Semula pabrik genteng atau Jebor Hall ditargetkan menjadi sentra kreativitas Jatiwangi art Factory (JaF). Organisasi nirlaba yang fokus pada kajian kehidupan masyarakat pedesaan melalui seni dan budaya Jatiwangi.
Sejalannya waktu, mereka menaruh perhatian pada isu tenurial. Lantaran banyak warga yang menjual lahan di daerahnya. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kepentingan komersial sama saja dengan menyalakan bom waktu, kata Ginggi.
Saat ini, Jatiwangi, berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Majalengka, Jabar, dikepung perumahan, dan minimarket. Ekonomi perlahan berubah menjadi industri.
Itu terbukti dengan Jatiwangi menjadi kecamatan terpadat. Dihuni 2.095 jiwa per kilometer persegi, jelas memicu ketimpangan ekonomi terjadi di sana. Bukan cuma itu, ruang hidup pun menjadi perebutan.
Fenomena kebangkrutan pabrik genteng yang selama ini menghidupi perekonomian warga merupakan bukti lain. Pernah jaya pada era kolonial, pamor genteng Jatiwangi meredup dalam 10 tahun terakhir. Penyebabnya beragam. Salah satunya krisis generasi perajin genteng seiring merebaknya pabrik garmen dan sepatu. Anak muda memilih menjadi buruh dan berbaju rapi ketimbang bergulat dengan lumpur dan tanah liat.
“Akhirnya warga memilih menjual tanah dan tanahnya dibeli orang-orang luar yang kemudian merubahnya menjadi area komersial,” ucap Ginggi ditemui beberapa waktu lalu. Padahal genteng dan sawah adalah dua pondasi ekonomi warga sejak dulu.
baca juga : Kala Lahan Petani Terus Terancam Proyek Infrastruktur Strategis
Lewat seni, Ginggi mencoba memberi perhatian lebih terhadap tanah. Katanya, tanah juga perlu diberi martabat. Bukan sekedar dianggap sebagai letak geografis semata.
“Seperti warga Wates yang merasa punya relasi terhadap tanah leluhurnya,” tutur Ginggi. “Dan kami ingin memberi arti terhadap tanah melalui perayaan budaya dengan harapan timbulnya kepedulian antar sesama. Tanah bukan saja sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tapi tanah lebih dari kisah yang bisa memahami masa lalu dan mempelajari masa depan.”
Setelah berdiri sejak 2004, kreativitas yang diinisiasi JaF memberikan pengaruh besar. Lewat seni gerabah atau terakota, tanah terus dimuliakan untuk memberi berkah sekaligus menghidupkan denyut seni warga desa.
Menurut Ginggi, munculnya tradisi pembuatan terakota merupakan cerminan dari dinamika sosial budaya dari waktu ke waktu, baik dari aspek teknologi pembuatannya maupun fungsi kemasyarakatannya. Itu menunjukkan timbulnya semacam kearifan terhadap lingkungan tempat tinggal.
“Dan di JaF kami hanya mengkreasikan sesuatu yang orisinal dari Jatiwangi yaitu tanah,” katanya. Sebab dalam masyarakat sejak dulu, dipercaya ada empat unsur kehidupan: tanah, api, udara, dan air.
Kawasan Hutan Adat dan Konservasi
Kepingan kisah tanah Jatiwangi memang pernah jadi saksi sejarah bangsa. Kehadiran genteng mengiringi pembangunan rumah pejabat kolonial Belanda, pabrik gula, hingga Bandara Soekarno-Hatta.
Kini, banyak yang khawatir warisan lintas generasi itu akan lenyap tak tersisa. Apalagi ditandai makin masif alih fungsi lahan menjadi hutan beton di sana.
Berangkat dari itu, JaF meluncurkan Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana). Sebuah gagasan Kota Terakota yang memproyeksikan lahan delapan hektar menjadi kawasan sebagai hutan adat atau area konservasi.
baca juga : Bijaknya Petani Muda Majalengka Sejak Kenal Lebah Madu
Perhutana sendiri dilatarbelakangi karena keresahan hadirnya kawasan industri baru strategis segitiga Rebana yang meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Subang, dan Sumedang. Pengembangan hutan dilakukan dengan meniru model investasi properti. Lahan untuk hutan dibagi dalam kavling bidang tanah berukuran 4×4 meter. Perhutana menawarkan kavling lahan tersebut untuk dimiliki masyarakat umum secara kolektif.
“Ini berawal dari khayalan bagaimana kami ingin membuat hutan untuk masa depan keturunan kami nantinya, tapi dengan gerakan kesadaran kolektif,” imbuh Ginggi.
Sedianya delapan hektar itu ditumbuhi 6.000 pohon. Artinya jasa lingkungan Jatiwangi potensial mendapat 7.200 kilogram atau setara 6.312 liter oksigen gratis per hari. Dengan menghitung harga oksigen murni Rp25.000/liter, maka nilai ekonomis jasa lingkungan hutan Perhutana mencapai Rp157 juta per hari. Jika itu terwujud semua bisa didapat Jatiwangi dengan cuma-cuma.
Hutan punya peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Melindungi hutan bukan hanya demi menjaga iklim lokal, tetapi juga untuk menjaga kehidupan rakyat saat ini.
Seperti Hari Gotong Rumah dalam sejarah wakare, Perhutana punya gerakan gotong royong dalam membangun ruang hidup yang berkelanjutan. Mungkin dengan begitu, manusia bisa lebih memahami makna dari sepetak tanah. (***)