- Panel surya kini mulai populer di industri dan masyarakat.
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap ini bisa menjadi alternatif menuju transisi energi.
- Dibutuhkan regulasi yang tepat agar teknologi ini mampu diaplikasikan secara masif.
- Formulasi dukungan pendanaan dari perbankan sangat menentukan berjalannya transisi energi bertenaga matahari ini.
Penggunaan panel tenaga surya untuk menghemat biaya produksi pada dunia usaha perlu didorong menjadi sebuah jalan menuju ekonomi hijau. Energi terbarukan dipandang bisa menekan emisi karbon sebagai penyebab utama perubahan iklim.
Kawasan industri di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sedang panas-panasnya pada siang hari Jumat (6/10/2023) lalu. Saat suhu udara mencapai 340 Celsius, beberapa operator memastikan instalasi panel surya kokoh terpasang di atap pabrik.
Ada sekitar 90.000 ribu panel yang telah selesai dipasang. Jika dikonversi, jumlah itu setara dengan 20 megawatt peak (MWp). Potensi listrik yang dihasilkan dalam 30 hari pun cukup besar sekitar 2.640 Megawatt (Mw).
Menurut Site Manager PT Global Pratama Powerindo, perusahan jasa pemasangan panel surya, Deny Permana, potensi energi terbarukan perlahan dilirik industri masa kini. Selain faktor penghematan biaya operasional, kepedulian lingkungan menjadi alasan mereka melakukan transisi energi.
Teknologi yang diterapkan pun tampak lebih maju dengan menggunakan sistem on-grid. Dalam mengubah tenaga surya menjadi listrik, sistem ini mengintegrasikan arus keluar masuk energi dengan jaringan listrik PLN.
“Ketentuannya pemasangan panel surya maksimal 15% dari daya listrik yang terpasang oleh PLN,” katanya.
baca : Revisi Aturan PLTS Atap Rawan Lemahkan Minat Pasar
Kendati begitu, menurut Deny, jumlah itu cukup untuk mensubsidi beban pemakaian listrik industri. Terlebih menyoal pembiayaan dan pemasangan, sejauh ini, mulai banyak skema kerjasama yang tidak begitu ketat.
Dalam klausul kerjasama tercantum skema kepemilikan panel surya setelah penggunaan selama 15 tahun. Sehingga, cukup menarik bagi mereka.
“Untuk panel surya bisa tahan selama 25 tahun tergantung bahan dan jenisnya,” jelas Deny.
Panel surya terbuat dari semikonduktor yang menangkap sinar matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik. Ditinjau dari kapasitas dan jenisnya, panel surya dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu distributed PV dan utility-scale PV.
Distributed PV mencakup jangkauan area permukiman, komersial, dan industri. Sementara utility-scale PV mencakup pembangkit listrik yang lebih luas dan kapasitas lebih besar. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Waduk Cirata.
PLTS terapung ini mampu memproduksi 192 MWp atau setara 145 juta kilowatt hour (kWh) energi bersih per tahun yang mampu melistriki lebih dari 50.000 rumah. Emisi karbon pun bisa direduksi hingga lebih dari 200.000 ton per tahun.
perlu dibaca : Kala PLTS Terapung Terbesar Dunia Bakal Dibangun di Batam
Oleh karena itu, pemerintah punya ambisi mengurangi emisi yang bakal dilakukan bertahap hingga 2050 mendatang. Target pengurangan emisi nasional pada 2030 adalah 48 persen. Selanjutnya 65 persen di 2035, dan lalu naik lagi jadi 80 persen pada 2040.
Saat ini, porsi energi baru terbarukan di Indonesia baru menyentuh angka 13 persen dalam bauran energi nasional. Dan diproyeksikan bertambah di 23 persen pada 2025.
Berdasarkan laporan Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2023, bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi tanah air. Setidaknya, 75 persen energi dunia bersumber dari bahan bakar fosil. Sehingga butuh komitmen dan regulasi yang cukup untuk merealisasikan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan dokumen kontribusi nasional (NDC).
Upaya akselerasi menuju energi bersih juga memerlukan dukungan perbankan. Bank-bank milik pemerintah dinilai belum berkontribusi besar membantu Indonesia mengurangi emisi karbon.
Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) mendorong industri perbankan Tanah Air untuk aktif menyalurkan kredit atau pembiayaan hijau. Salah satunya dengan menerbitkan obligasi hijau atau obligasi berwawasan lingkungan atau green bond.
baca juga : Pelanggan PLTS Atap Lesu, Bagaimana Pembiayaan?
Hasil dari obligasi ini secara eksklusif akan diterapkan pada proyek lingkungan dan sosial yang memenuhi syarat atau kombinasi keduanya. Sehingga dukungan pembiayaan dari sektor swasta, investment fund, hingga bank-bank pembangunan dapat dioptimalkan.
Agaknya itu sangat dinamis dilakukan mengingat penggunaan panel surya berbasis atap mulai populis di masyarakat. Tenaga matahari menjanjikan potensi energi besar dan dapat digunakan di perkotaan maupun perdesaan.
Perkantoran Hijau
Di Jawa Barat, berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jabar, potensi EBT bisa dimaksimalkan lebih masif. Khusus energi surya menjadi yang terbesar, yakni mencapai 156,630 gigawatt peak (GWp).
Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, Sekretaris Dinas ESDM Jabar, Slamet Mulyanto, mengatakan, beberapa kantor pemerintah mulai menggunakan PLTS Atap sebagai bagian dari komitmen. Kedepan, perkantoran hijau dengan konsep bauran energi bersih bakal digagas secara simultan.
baca juga : Rayuan Investasi PLTS Atap
Saat ini, PLTS atap baru terpasang 22 unit di 18 OPD (Organisasi Perangkat Daerah) termasuk di lingkungan pendidikan yang dibawahi Pemprov Jabar. Kedepan, jumlah tersebut diupayakan bertambah.
“Ini dalam rangka mensosialisasikan kepada masyarakat untuk tidak ragu memulai melakukan transisi energi,” kata Slamet ketika ditemui Senin (30/10/2023) lalu. Berdasarkan hasil remote monitoring system, pemakaian PLTS atap di gedung pemerintah mampu menghemat efisiensi penggunaan listrik hingga 30% tiap bulan.
Atas upaya itu, Dinas ESDM diganjar penghargaan Juara 2 dalam Subroto Award 2023 Kategori Penghematan Energi di Instansi Pemerintah. Katanya, ini sebagai wujud implementasi dari Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Jabar tahun 2018- 2050, mengacu pada Undang-Undang No 30 Tahun 2007, mengatur penyelenggaraan energi di Indonesia, termasuk dibentuknya Dewan Energi Nasional yang bertugas merancang kebijakan energi Indonesia.
Sejauh ini, kata Slamet, ketertarikan masyarakat untuk beralih ke energi bersih menjadi sentimen positif. Namun, minat tersebut perlu dibarengi dengan dukungan skema pembiayaan dan regulasi agar masyarakat dapat menggunakan energi terbarukan dalam keseharian.
baca juga : Berdaulat Energi Surya dari Dusun Talang Aro