- Pada tahun 2016, diperkirakan 0,8 hingga 2,7 juta metrik ton sampah plastik masuk ke laut melalui sistem aliran sungai global.
- Sampah terakumulasi di Samudra Pasifik Utara.
- Polusi yang terjadi di Samudra Pasific mencakup area seluas 610.000 mil persegi, dan sampah plastik yang terdapat di sana diperkirakan mencapai 79.000 metrik ton.
- Banyak penelitian menyoroti perlunya memahami dan melindungi ekosistem laut yang unik ini, yang terkena dampak buruk dari sampah yang dihasilkan manusia.
Sampah plastik yang tersapu angin dan ombak di lautan telah menumpuk di wilayah yang luas di Samudra Pasifik Utara, yang secara kolektif dijuluki sebagai distribusi sampah pasifik. Sampah laut terkonsentrasi di berbagai wilayah di Pasifik Utara, ukuran, isi, dan lokasi sampah yang tepat sulit diprediksi secara akurat.
Namun, di atas tumpukan sampah di lautan lepas ini, para peneliti menemukan sesuatu yang tidak mereka duga: sejumlah besar tanaman dan plankton.
Dalam sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Biology, para peneliti dari Georgetown University telah menjelaskan tentang ekosistem yang berkembang pesat di “Garbage Patch” Pasifik Utara. Ironisnya, kawasan ini juga menjadi habitat bagi berbagai makhluk laut.
Polusi yang terjadi di tempat ini mencakup area seluas 610.000 mil persegi, dan sampah plastik yang terdapat di sana diperkirakan mencapai 79.000 metrik ton. Sebagian besar plastik di lautan berasal dari darat. Mikroplastik terbuang ke sungai, yang kemudian bermuara di lautan. Pada tahun 2016, diperkirakan 0,8 hingga 2,7 juta metrik ton sampah plastik masuk ke laut melalui sistem aliran sungai global.
Plastik semakin menjadi perhatian karena berpotensi menjadi sumber bahan kimia yang mengganggu hormon dan memengaruhi pertumbuhan dan keberhasilan reproduksi berbagai jenis satwa liar, menurut sebuah laporan baru.
baca : Kawasan Samudera Pasifik yang Dipenuhi Sampah Plastik kini Hampir Seluas Daratan Indonesia
Satwa liar di lautan dan di daratan terpapar campuran polutan yang dikenal sebagai bahan kimia pengganggu endokrin (EDC), tetapi masih sedikit yang diketahui tentang bagaimana zat-zat umum ini berinteraksi di lingkungan meskipun telah dilakukan penelitian selama bertahun-tahun. Meningkatnya masalah penguraian sampah plastik di ekosistem yang rapuh kini menjadi salah satu bidang penelitian utama bagi para ilmuwan.
Paus pembunuh dengan tingkat polutan tinggi yang dikenal sebagai polychlorinated biphenyls (PCBs) telah menunjukkan masalah reproduksi. Kawanan paus di lepas pantai barat Skotlandia yang diketahui memiliki tingkat PCB yang tinggi telah gagal menghasilkan satu anak paus pun selama 25 tahun.
PCBs merupakan salah satu jenis bahan pencemar organik yang persisten, bersifat racun, yang masuk dan mencemari lingkungan, serta terakumulasi di dalam rantai makanan.
Ini juga yang menyebabkan seekor paus orca yang terdampar beberapa waktu lalu. Para peneliti menemukan dalam tubuhnya 957 mg/kg PCBs yang terakumulasi dalam jaringan lipid yang 100 kali lebih tinggi dari ambang batas toksisitas. Meskipun dalam usia reproduksi, paus itu ternyata gagal melahirkan.
“Lulu (orca) mandul, seolah-olah dia masih remaja,” kata Paul Jepson dari Zoological Society of London. “Namun, dia seharusnya masih dalam masa jayanya.”
Sebuah model baru-baru ini memperkirakan bahwa jumlah orca di seluruh dunia dapat berkurang separuhnya dalam waktu satu abad akibat PCB, di mana mamalia laut sangat rentan karena EDC yang larut dalam lemak terakumulasi dalam jaringan mereka. Susu mereka yang tinggi lemak dan masa menyusui yang panjang berarti induknya meneruskan lebih banyak racun kepada keturunannya.
baca juga : Teknologi Canggih untuk Membersihkan Laut dari Sampah Segera Diluncurkan
Akumulasi sampah
Lautan di dunia terdiri dari lima gyre utama, yang merupakan pusaran air yang luas yang dibentuk oleh arus laut yang menyatu. Yang terbesar adalah Gyre Subtropis Pasifik Utara (NPSG), yang juga dikenal sebagai “Patch Sampah” Pasifik Utara karena akumulasi sampah plastik yang dibawa oleh arus laut.
Meskipun sampah plastik di wilayah ini terdokumentasi dengan baik, hanya sedikit yang diketahui tentang makhluk laut yang menghuni daerah tersebut. Baru segelintir saja yang diidentifikasi seperti ubur-ubur (cnidaria), siput, teritip, dan krustasea, yang mungkin menggunakan arus ini untuk transportasi.
Untuk menyelidiki makhluk hidup ini, para peneliti melakukan perjalan selama 80 hari melalui NPSG pada tahun 2019, di mana mereka meminta kru kapal yang menyertainya untuk mengumpulkan sampel makhluk laut di permukaan dan sampah plastik.
Rute ekspedisi ditentukan dengan menggunakan simulasi komputer arus permukaan laut untuk memprediksi area dengan konsentrasi sampah laut yang tinggi.
Sepanjang perjalanan, tim mengumpulkan sampel harian dari kehidupan terapung dan sampah di NPSG bagian timur. Temuan mereka menunjukkan kelimpahan makhluk laut yang lebih tinggi di dalam NPSG dibandingkan dengan pinggirannya.
Selain itu, mereka juga mengidentifikasi adanya korelasi positif antara keberadaan sampah plastik dengan kelimpahan tiga kelompok makhluk laut yang mengapung, yaitu rakit laut (Velella sp), kancing laut biru (Porpita sp), dan siput laut ungu (Janthina sp).
baca juga : Makhluk Ini Menyebarkan Mikroplastik ke Dasar Lautan. Begini Kekhawatiran Peneliti
Menurut penulis studi, arus laut yang sama yang memusatkan sampah plastik di gyres mungkin memainkan peran penting dalam siklus hidup organisme laut terapung ini. Arus ini dapat mempertemukan makhluk-makhluk ini untuk mencari makan dan kawin.
Namun, aktivitas manusia dapat berdampak buruk pada tempat pertemuan laut lepas dan satwa liar yang bergantung padanya.
Rebecca Helm, penulis utama studi ini, menekankan bahwa Garbage Patch lebih dari sekadar kumpulan sampah. “Ini adalah sebuah ekosistem, bukan karena plastiknya, tetapi terlepas dari plastik.” Katanya.
Banyak penelitian yang menyoroti perlunya memahami dan melindungi ekosistem laut yang unik, yang terkena dampak buruk dari sampah yang dihasilkan manusia.
Oleh karena itu, mengatasi polusi plastik dan dampaknya terhadap satwa liar membutuhkan pendekatan yang komprehensif, termasuk mengurangi produksi dan konsumsi plastik. Manusia juga dihimbau untuk meningkatkan praktik pengelolaan limbah, mempromosikan daur ulang, serta meningkatkan kesadaran tentang efek berbahaya plastik terhadap lingkungan dan penghuninya. (***)
Sumber : earth.com, theguardian.com dan science.howstuffworks.com