- Royal Botanic Gardens, Inggris telah memilih 10 spesies favorit dari 74 tanaman dan 5 jamur spesies baru yang mereka temukan. Salah satunya adalah anggrek merah dari Pulau Waigeo, Raja Ampat, Indonesia.
- Kesepuluh spesies baru itu yaitu anggrek epifit, pohon bawah tanah, jamur unik, anggrek merah, palem berbunga di dalam tanah, jamur salju, tembakau di lahan kering, tumbuhan bunga yang nyaris punah, Indigofera abbottii dan tumbuhan karnivora
- Penemuan spesies baru anggrek merah Pulau Waigeo, berawal dari ekspedisi ke Pulau Waigeo pada 2020 oleh tim dari BBKSDA Papua Barat bersama Fauna & Flora International Indonesia Programme untuk mencari anggrek biru Papua berstatus terancam punah yang sudah tidak terlihat sekitar 80 tahun.
- Tim ekspedisi itu kemudian menemukan anggrek jenis baru berwarna merah menyala, yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Anggrek baru itu kemudian diberi nama Dendrobium lancilabium subspesies wuryae
Para ilmuwan yang bekerja pada Royal Botanic Gardens, Richmond, UK dan mitra internasional telah memilih 10 spesies baru favorit mereka. Salah satunya adalah anggrek merah dari Pulau Waigeo, Raja Ampat, Indonesia.
Pemilihan itu sekaligus untuk merayakan tahun 2023 sebagai tahun istimewa, sebab ada 74 tanaman dan 5 jamur yang diberi nama oleh mereka dan mitra internasional. Kabar gembira itu menyeruak di tengah-tengah laporan bahwa tiga dari empat spesies tanaman yang belum terdeskripsikan terancam punah. Sementara ada lebih dari dua juta spesies jamur yang masih dapat ditemukan.
Kesepuluh spesies baru itu adalah :
- Anggrek epifit Aeranthes bigibbum (Madagaskar),
- Pohon bawah tanah Baphia arenicola (Angola),
- Jamur unik Lichtheimia koreana (Korea Selatan),
- Anggrek merah Dendrobium azureum (Indonesia),
- Palem berbunga di dalam tanah Pinanga subterranea (Malaysia),
- Jamur salju Arthonia olechiana, Sphaeropezia neuropogonis, dan Sphinctrina sessilis (Antartika),
- Tembakau di lahan kering Nicotiana spp. (Australia),
- Tumbuhan bunga yang nyaris punah Microchirita fuscifaucia (Thailand),
- Indigofera abbottii (berbagai negara), dan
- Tumbuhan karnivora Crepidorhopalon droseroides (Mozambik).
“Saat ini merupakan saat yang sangat menyenangkan untuk menjadi ilmuwan, namun meskipun kita telah menemukan penemuan-penemuan baru yang luar biasa ini, kita harus ingat bahwa alam sedang terancam, dan kita mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya,” kata Martin Cheek, peneliti senior dari Royal Botanic Gardens, dalam keterangan yang dibagikan kepada media.
baca : Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru di Papua
Perjalanan penemuan anggrek merah dari pulau Waigeo ini sendiri cukup unik. Pada 2020 lalu, tim dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat, dan tim dari Fauna & Flora International Indonesia Programme, melakukan ekspedisi ke puncak tertinggi Gunung Nok (880 m) yang terletak di Pulau Waigeo.
Salah satu tujuan ekspedisi mereka kali itu sebenarnya hendak mencari anggrek biru dari Papua (Dendrobium azureum) yang sudah tidak terlihat sekitar 80 tahun. Anggrek yang dinyatakan terancam punah oleh IUCN ini pertama kali dikoleksi spesimennya pada 1938 oleh seorang ahli serangga (entomologist) berkebangsaan Inggris. Tim berhasil menemukan kembali anggrek epifit yang merupakan satu-satunya yang berwarna biru tua dari 17 ribu anggrek jenis ini.
Kabar gembira itu kemudian bertambah saat tim justru menemukan anggrek jenis baru yang berwarna merah menyala, yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Temuan itu kemudian ditulis di Orchideen Journal (2022) yang terbit di Jerman.
Tim terdiri dari Andre Schulteman (Royal Botanic Garden, Inggris), Jimmy Frans Wanma (Fakultas Kehutanan Unipa, Manokwari), Daniel Jemmy Oruw dan Haerul Arifin (Badan Riset dan Inovasi Daerah Papua Barat, Manokwari), Yanuar Ishaq Dwi Cahyo dan Kristian Maurits Kafiar (Fauna & Flora International Indonesia Programme, Sorong), Muhamad Wahyu Hasibuan (BBKSDA Papua Barat, Sorong), dan Charlie Danny Heatubun (RBG, Unipa, BRIDA).
Diketahui kemudian bahwa anggrek ini merupakan endemik Pulau Waigeo, dan ditemukan di sebagian besar pegunungan di semenanjung Kepala Burung (Papua Barat Daya) dan Wandame (Papua Barat).
Anggrek epifit ini tumbuh di pohon dengan ketinggian 8 hingga 12 meter dari tanah. Anggrek tumbuh pada batang berlumut atau hutan yang berkabut, di ketinggian 820 meter di atas permukaan laut.
baca juga : Anggrek La Galigo, Jenis Baru dengan Nama Epos Terbaik di Dunia
Anggrek temuan baru itu kemudian diberi nama Dendrobium lancilabium subsp. wuryae. Dinamakan demikian untuk menghormati istri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Wury Estu Handayani. Wury dianggap berkontribusi dalam mendukung konservasi, pelestarian, dan pemanfaatan berkelanjutan flora lokal, khususnya anggrek di Papua Barat.
“Menurut kami sementara waktu ini spesies anggrek ini sangat terancam karena hanya ada di sekitar Gunung Nok tersebut dan tidak ada di wilayah lain,” kata Jimmy Frans Wanma, seperti dikutip dari Antara.
Menurut Jimmy, ekspedisi yang dilakukan sekitar seminggu itu juga menemukan berbagai macam jenis anggrek. Namun sebagian besar pernah ditemukan dalam penelitian sebelumnya. Berbeda dengan Dendrobium lancilabium subsp. wuryae yang sama sekali belum pernah diketahui sebelumnya.
Ciri khas anggrek ini yang paling menonjol tentu saja bunganya yang berwarna merah menyala. Baik dorsal sepal, dua lateral sepal, dan dua petalnya semuanya berwarna merah. Sementara labellum berwarna jingga, demikian pula kolom maupun kepala sari. Bunganya sendiri memiliki panjang 3,5 cm dengan lebar 3,2 cm. Saat ditemukan, anggrek yang diperkirakan sulit untuk dikembangkan di luar habitatnya ini, berbunga pada Februari.
Batang anggrek merah berwarna merah kecoklatan tegak dan ramping. Sementara akarnya jarang dan tidak bercabang, serta licin. Daunnya berwarna hijau, tidak menyebar, dan segera meranggas. Sementara selubung daun berwarna hijau keunguan, berbentuk silinder, dan kehitaman jika kering.
Gunung Nok adalah gunung berapi yang sudah tidak aktif. Ini adalah sebutan masyarakat lokal untuk Gunung Buffelhoorn atau tanduk kerbau yang berada di kawasan cagar alam Waigeo Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Gunung Nok berumur jurasic atau di antara 201,3 hingga 145 juta tahun lalu.
Cagar alam dengan luas sekitar 100 ribu hektare ini menjadi habitat aneka satwa endemik yaitu maleo Waigeo (Aepypodius bruijnii), cenderawasih merah (Paradiseae rubra), cenderawasih botak (Cicinnurus respublica) dan kuskus tutul (Spilocuscus maculatus).
Waigeo yang berarti air dan tanah orang Gi saat ini tengah menghadapi ancaman perusakan akibat penebangan hutan, serta perdagangan satwa secara ilegal. (***)