- Sebuah penelitian memperingatkan bahwa pembangunan IKN Nusantara di pulau Kalimantan dapat mengganggu kestabilan populasi bekantan, spesies endemik langka.
- IKN Nusantara diklaim dibangun dengan konsep ramah lingkungan dan dampak lingkungan yang minimal, namun potensi ancaman terhadap ekosistem mangrove di sekitar Teluk Balikpapan yang merupakan rumah bagi bekantan dan satwa liar lainnya.
- Para ilmuwan menekankan pentingnya menghormati keanekaragaman hayati lokal saat membangun kota baru, Nusantara.
- Rekomendasi mereka mencakup perlindungan hukum bagi kawasan terdampak, restorasi habitat, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lokal untuk memitigasi dampak lingkungan.
Pemerintah Indonesia telah berjanji bahwa pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang dijadwalkan selesai pada tahun 2045 dengan perkirakan biaya $33 miliar yang tersebar di lahan seluas 256.000 hektar , akan menjadi “kota hutan hijau” dengan konstruksi pembangunan yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan minimal, dan mengacu pada emisi karbon nol bersih.
Meskipun pemerintah menyebut bahwa pembangunan IKN akan berorientasi lingkungan, baru-baru ini para peneliti Indonesia dan Ceko dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembangunan IKN dapat memberi ancaman terhadap ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan, habitat kunci bagi populasi bekantan (Nasalis larvatus), satwa endemik Kalimantan.
Kelompok ilmuwan yang dipimpin Tri Atmoko, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah melakukan sensus populasi di kawasan pengembangan kota baru Nusantara. Dari total populasi 3.907 individu, maka diperkirakan 1.449 individu akan terdampak dan tersingkir dari habitatnya karena pekerjaan konstruksi yang sedang berlangsung.
“Pemerintah Indonesia harus mematuhi komitmen publik terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengembangan kota Nusantara perlu memperhatikan pentingnya keberadaan primata yang terancam punah ini dan keanekaragaman hayati yang ada,” tulis mereka dalam makalah yang diterbitkan pada bulan Januari di jurnal Environmental Monitoring and Assessment.
Secara periodik, populasi bekantan di sebagian Teluk Balikpapan disensus setiap lima tahun, penelitian ini adalah sensus penuh pertama yang dilakukan terhadap spesies tersebut. Tiga kali sensus populasi bekantan di wilayah administratif Kota Balikpapan sebelumnya menunjukkan jumlah populasi yang stabil dalam kurun waktu 10 tahun.
Sebuah studi pada tahun 2020 yang dilakukan oleh penulis yang sama menemukan jika laju hilangnya habitat telah melambat sejak tahun 2000 dan diperkirakan akan berhenti dan berbalik pada tahun 2036 jika tidak ada perubahan yang drastis.
Hal ini terkait dengan menurunnya pembukaan kawasan perkebunan dan pertanian skala besar serta giatnya upaya konservasi yang melibatkan komunitas, pelestari lingkungan dan warga yang peduli.
Teluk Balikpapan adalah hamparan luas hutan mangrove yang menjadi habitat berbagai keanekaragaman hayati laut dan darat yang kaya. Terumbu karang dan padang lamun berada di bawah air, dan nelayan tradisional mengandalkan kawasan teluk untuk mencari mata pencaharian.
Teluk ini berjarak kurang dari 100 kilometer dari Sungai Mahakam, sebuah sungai terpanjang ketiga di Kalimantan. Sungai ini juga lokasi habitat penting bagi spesies terancam lainnya, seperti pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Ancaman bagi spesies ini adalah pembangunan perkotaan dan industri selama beberapa dekade di sepanjang pantai, dan tumpahan minyak yang dapat mencemari perairan dan merusak ekosistem teluk.
Para penulis menyarankan langkah-langkah pengurangan dampak pembangunan IKN Nusantara terhadap bekantan dan habitat satwa di Teluk Balikpapan, yaitu menetapkan status perlindungan hukum di wilayah yang terkena dampak, penegakan perlindungan satwa liar, dan mencegah para spekulan lahan ilegal yang mendorong deforestasi .
Para peneliti merekomendasikan adanya konektivitas habitat, dengan cara menjaga dan menciptakan zona penyangga hutan di sepanjang mangrove, mengembangkan waduk air di hulu untuk penyediaan air minum bagi penduduk setempat, melakukan reboisasi dan restorasi habitat khususnya di kawasan yang memiliki sumber daya pangan utama.
Tanggapan Otorita
Kepada Mongabay, Myrna Asnawati Safitri , Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Otorita IKN (OIKN) , memberi tanggapannya.
“Saya sudah mengecek dan mendapat informasi jika sebagian temuan awal penelitian ini telah digunakan dalam laporan survei tim konsultan kami, yang kini telah masuk dalam dokumen rencana induk keanekaragaman hayati oleh OIKN,” jelas Myrna dalam pesan teks. Dia menambahkan jika rencana induk itu dijadwalkan rilis pada bulan Maret 2024.
Lebih lanjut Myrna mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah mitigasi perlindungan ekosistem Teluk Balikpapan, antara lain menetapkan ekosistem mangrove sebagai kawasan lindung, mengalokasikan pulau kecil sebagai suaka margasatwa, dan melakukan rehabilitasi mangrove.
Timnya juga menghubungi LSM lokal dan kelompok masyarakat sipil untuk terlibat dalam pemantauan dan pengelolaan kawasan.
Meskipun sebagian besar rekomendasi dalam makalah terbaru telah jadi pertimbangan, Myrna menyebut, pengembangan waduk air di hulu perlu dikaji lebih lanjut. Rekomendasi lain yang belum dipertimbangkan adalah perluasan zona lindung di luar batas kota Nusantara, karena hal ini harus didiskusikan dengan yurisdiksi daerah lain.
“Pembahasannya sudah kita mulai sejak tahun lalu secara intensif. Koordinasi dan diskusi lintas wilayah adalah bagian dari agenda kami.”
Tulisan asli: Study: Indonesia’s new capital city threatens stable proboscis monkey population. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit
Referensi:
Atmoko , T., Toulec , T., Lhota, S., & Darman . (2024). Status populasi bekantan di Teluk Balikpapan dan potensi tantangan kelangsungan hidupnya di Nusantara, calon ibu kota baru Indonesia. Pemantauan dan Pengkajian Lingkungan Hidup , 196 . doi: 10.1007/s10661-023-12252-z
Toulec , T., Lhota , S., Soumarová , H., Putera , A.K., & Kustiawan , W. (2020). Peternakan udang, api atau kelapa sawit? Perubahan penyebab hilangnya habitat bekantan. Ekologi dan Konservasi Global , 21 , e00863. doi: 10.1016/j.gecco.2019.e 00863
***
Foto utama: Bekantan, spesies endemik Kalimantan. Foto: Rhett A Butler/Mongabay