- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan berkolaborasi dengan parapihak, termasuk pemerintah provinsi dalam mendorong percepatan pengakuan masyarakat adat, dan implementasi program di wilayah masyarakat adat.
- AMAN Sulsel juga berkolaborasi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sulsel, melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilaksanakan pada 25 Januari 2024 silam.
- Di Sulsel telah dilaksanakan penguatan pemerintah desa dalam melakukan pembangunan desa berbasis wilayah adat dikurang lebih 100 desa yang berada di dalam wilayah adat.
- Selain mendorong adanya perda, juga diperlukan sinergi program dengan tingkat kebutuhan masyarakat adat, sehingga kehadiran musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang) masyarakat adat menjadi penting untuk dilakukan.
Upaya mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat telah bergulir telah sejak lama. Perampasan wilayah adat, pengabaian atas identitas adat, serta hak dalam menjalankan sistem keyakinan maupun hukum adat adalah beberapa situasi penting yang terjadi yang mendorong lahirnya perjuangan untuk mendudukkan hak-hak masyarakat adat baik secara ekonomi, politik dan budaya.
Perlu kolaborasi dan sinergi antara masyarakat adat dengan pihak-pihak lainnya, termasuk dengan pemerintah daerah. Inilah yang kemudian mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel berkolaborasi dan bersinergi dengan Pemerintah Provinsi Sulsel terkait pengakuan dan implementasi program pemerintah di wilayah masyarakat adat.
“Saat ini, masyarakat adat mencoba mendorong kolaborasi parapihak dalam rangka bagaimana pengakuan-pengakuan masyarakat adat di daerah bisa bergerak lebih cepat. Harapannya kegiatan di level provinsi mampu memberi arahan ke pengakuan yang lebih luas,” kata Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel di Makassar, Minggu (18/2/24).
Selain mendorong lahirnya perda masyarakat adat di tingkat provinsi, yang saat ini berproses, AMAN Sulsel juga berkolaborasi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sulsel, melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada 25 Januari 2024.
“Melalui MoU ini nantinya diturunkan dalam hal yang lebih teknis, mungkin perjanjian kerjasama antara AMAN dan DPMD Sulsel, kemudian bisa menjadi sinergi antara dua institusi dalam rangka bagaimana mendorong pemenuhan atas hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, masyarakat adat kerap mengalami persoalan yang sama yakni, ancaman atas perampasan ruang hidup oleh adanya program-program pembangunan yang tidak partisipatif atau penetapan kawasan hutan secara sepihak, atau pemberian izin penggunaan lahan oleh pihak swasta secara sepihak.
Baca : Kala IKN Datang, Masyarakat Adat Was-was Tradisi Bakal Hilang
Menurut Sardi, selama ini banyak organisasi perangkat daerah (OPD) berprogram dan berkegiatan di wilayah masyarakat adat namun tidak bersinergi satu sama lain, atau tanpa koordinasi.
“Melalui kolaborasi, termasuk dengan adanya MoU dengan DPMD ini kita menyinergikan agenda-agenda tersebut, baik di level pemerintah maupun di AMAN sendiri, sehingga kemudian dampaknya bisa lebih baik bagi masyarakat adat.”
Secara eksplisit, katanya, UU No.6/2014 tentang Desa memuat adanya kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul. Kewenangan hak asal-usul yang dimaksud meliputi hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum lahirnya negara dan tetap dibawa serta dijalankan oleh desa.
Kemudian, terkait hak-hak asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun prakarsa masyarakat setempat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap hak asal-usul masyarakat adat yang dimaksud meliputi hak atas tanah dan sumber daya alam, hak atas kebudayaan, hak berpartisipasi dalam politik, hak atas self-determination dan hak atas free, prior and informed consent (FPIC).
“Hanya saja, pendekatan pembangunan desa yang selama ini dijalankan lebih menempatkan masyarakat sebagai objek atau sasaran program pembangunan. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, dan partisipasi masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama belum optimal dijadikan pijakan dalam strategi pembangunan desa.”
Di Sulsel, sudah dilaksanakan penguatan pemerintah desa dalam melakukan pembangunan desa berbasis wilayah adat di sekitar 100 desa di dalam wilayah adat.
“Berbagai macam dinamika yang berlangsung dalam proses penguatan desa tersebut tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah kabupaten maupun provinsi, beserta kelompok civil society lainnya.”
Sardi mengatakan, saat ini terdapat 171 komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Sulsel, yang mencakup sebagian Sulsel dan Sulawesi Barat. Untuk pengakuan terdapat 6 perda, 11 sk bupati dan satu perbup.
“Sudah ada 12 masyarakat adat yang diakui, 11 dengan SK bupati dan satu melalui perda. Sementara untuk hutan adat sudah diakui 8 hutan adat, satu di Kabupaten Bulkumba dan 7 di Kabupaten Enrekang dengan luasan 6.363,8 hektar. Perda yang sementara proses, ada di Gowa, Tana Toraja dan Maros. Ada satu lagi sementara dalam tahap mendorong perda, yaitu di Sidrap.”
Baca juga : Menanti Presiden yang Serius Lindungi Masyarakat Adat Bukan Sekadar Janji
Menurut Sardi, tantangan mendorong regulasi terkait masyarakat di daerah selama ini antara lain cara pandangan pemerintah yang masih belum satu frekuensi dengan apa yang diinginkan masyarakat adat.
“Tantangan lain, situasi di masyarakat adat itu sendiri berupa terbatasnya informasi yang dibutuhkan untuk pengakuan, sementara regulasi yang ada memang meminta informasi terkait masyarakat adat untuk menjadi bahan urgensi perda itu.”
Musrembang masyarakat adat
Andi Buyung Saputra, Ketua Dewan AMAN Wilayah Sulsel, menyatakan, masyarakat adat punya kekhususan, di mana mereka tak bisa disamakan dengan masyarakat lokal lainnya, salah satu contoh pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat berbeda dengan kebutuhan masyarakat lain.
Menurutnya, selain mendorong adanya perda, juga diperlukan sinergi program dengan tingkat kebutuhan masyarakat adat, sehingga kehadiran musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang) masyarakat adat menjadi penting untuk dilakukan.
“Musrembang adat harus juga harus kita perkenalkan ke masyarakat adat agar bisa lebih spesifik lagi mengusulkan dan sama-sama melihat kebutuhan di desanya. Tak bisa kita pungkiri kalau masyarakat adat itu ada di wilayah pedesaan, jadi tentunya dalam hal ini pemerintah desa harus mengakui bahwa masyarakat adat itu ada di desa. Kita sudah pernah lakukan musrembang adat ini di Kajang Bulukumba,” katanya.
Terkait MoU dengan DPMD Sulsel, Buyung berharap kedua belah pihak akan memainkan perannya masing-masing.
“Sekarang tinggal memainkan peran kita masing-masing, di mana pemprov memainkan perannya sebagai pemerintah dan memberi kesempatan seluas-luasnya, kemudian masyarakat adat juga harus bisa mengukur potensi yang ada di wilayahnya serta kebutuhan di wilayahnya masing-masing.” (***)
Pertama di Indonesia, Sulsel Segera Miliki Sistem Informasi Wilayah Adat