- Selain terkenal dengan letusan GunungTambora pada tahun 1815, daerah di kaki Gunung Tambora juga terkenal dengan Kopi Tambora. Kopi Tambora yang berkualitas tinggi ini sudah tercatat dengan indikasi geografisnya
- Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Tambora oleh Presiden Jokowi pada 2015, banyak perubahan di sekitar kaki Gunung Tambora. Akses jalan bagus dibangun memudahkan transportasi
- Kebijakan swasembada jagung nasional banyak memberikan kemudahan pada petani di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima, NTB, tapi tanpa kontrol. Swasembada jagung beriringan dengan perluasan lahan hutan untuk ladang jagung sehingga makin banyak lahan kritis dan perlahan menggantikan kopi yang dulunya dibanggakan sebagai komoditi utama Tambora
- Butuh waktu puluhan tahun jika ingin mengembalikan kondisi lahan kritis akibat ekstensifikasi lahan jagung ini
Perubahan desa-desa di sekitar Gunung Tambora, baik yang masuk wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadi begitu cepat. Perubahan akses jalan yang semakin mulus mulai dari arah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu hingga ke kaki Gunung Tambora di Pancasila, Kecamatan Tambora Kabupaten Bima.
Perubahan akses jalan yang makin baik itu terasa setelah acara peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora sekaligus peresmian status Taman Nasional (TN) Gunung Tambora pada 2015 yang dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Akses jalan yang bagus membuat hasil bumi dari Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu dan Kecamatan Tambora Kabupaten Bima lebih mudah dikirim. Hasil kebun berupa pisang, mete, kakao, kelapa, dan kopi. Belakangan jagung menjadi komoditas terbesar di jalur sepanjang menuju Tambora.
Penanaman jagung ini begitu masif dalam 10 tahun terakhir. Bahkan pada rentang tahun 2010-2018, Dompu mendeklarasikan diri sebagai kabupaten jagung. Bupati saat itu Bambang M Yasin sempat menyatakan kebijakannya yang kontroversial yaitu menggunakan lahan hutan yang tidak digunakan untuk ditanami jagung.
Kebun jagung ini masuk hingga ke pelosok, hingga ke kaki Gunung Tambora. Wilayah yang dulu tersohor dengan tanaman kopi, kini perlahan hilang, berganti dengan jagung. Wilayah Jembatan Besi, Sori Bura di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima yang dulunya terkenal dengan kopi Tambora kini bersiap menjadi ladang jagung.
“Jagung lebih cepat panen, rata-rata orang tua sekarang mau tanam jagung,’’ kata Novi Antika, guru di SD Tambora Desa Oi Bura, Kabupaten Bima pada akhir 2023 lalu.
Sebagian petani kopi di Desa Oi Bura mulai mengganti tanaman kopinya dengan jagung. Tahun 2014 dan 2015, belum ada tanaman jagung sebanyak saat ini. Tanaman jagung saat itu hanya untuk kebutuhan konsumsi, ditanam di sawah. Tapi kini sebagian sudah menjadi ladang jagung. Begitu juga dari arah Sori Bura menuju Jembatan Besi dan berlanjut ke dusun terakhir tempat SD Tambora, kebun kopi berubah menjadi ladang jagung. Kebun kopi yang dulunya dibanggakan sebagai komoditi utama Tambora, kini perlahan berganti jagung.
“Waktu kami kecil semua di sini memang kopi. Dulu di sini pabrik kopi,’’ kata Novi yang rumahnya tak jauh dari bekas pabrik pengolahan kopi Tambora.
Baca : Inilah Tujuh Fakta Letusan Tambora dan Dampaknya Bagi Dunia
Alih Fungsi Lahan
Dari kajian yang dilakukan Islamic Relief Indonesia dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2022 menunjukkan data pertambahan luas lahan jagung beriringan dengan semakin luasnya lahan kritis di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu.
Dalam laporan berjudul “Pemetaan Dinamika Tutupan Lahan, Penilaian Kesesuaian Lahan Dan Daya Lingkungan Jagung Sebagai Dasar Dalam Penyusunan Strategi Awal Pengembangan Corn Estate Ramah Iklim Di Pulau Sumbawa” itu menyebutkan penurunan luas hutan primer sebesar 169 ribu hektar pada periode 1990-2020. Sebaliknya luas areal pertanian lahan kering meningkat sekitar 107 ribu hektar.
Hasil riset memperlihatkan bahwa 150 ribu hektar (72% dari total luas pertanian lahan kering) berada pada area penggunaan lain (APL), sementara sekitar 58 ribu hektar (28% dari total luas pertanian lahan kering) berada di kawasan hutan. Peningkatan luas panen jagung juga sangat signifikan. Pada tahun 2011 luas panen jagung di Kabupaten Dompu sekitar 2.000 hektar. Pada tahun 2010 naik menjadi 5.000 hektar. Tahun 2013 langsung melejit menjadi 30.000 hektar. Tahun 2017 menyentuh angka 87.000 hektar.
Cerita keberhasilan petani jagung di Kabupaten Dompu itu juga menarik minat petani di Kabupaten Bima. Penambahan luas areal pertanian jagung meningkat pesat. Seperti halnya di Dompu, lahan hutan pun berubah menjadi ladang jagung. Salah satu yang paling terlihat perubahannya adalah hutan Parado, yang dulunya terkenal sebagai hutan kemiri, kini menjadi “hutan jagung”.
Dalam riset Islamic Relief Indonesia dan BRIN itu, tercatat peningkatan yang sama juga terjadi di Kabupaten Bima. Pada tahun 2001 luas panen jagung hanya 3 ribu hektar. Pada tahun 2010 naik menjadi 10.000 hektar, dan pada 2017 menjadi 43.000 hektar. Pada 2022 luas panen jagung mencapai 62.00 hektar. Tidak sedikit dari luas panen ini berada di dalam kawasan hutan lindung.
Baca juga : Berkah dan Musibah bagi Pemilik Gunung Api Terbanyak di Dunia
Kekhawatiran Hilangnya Sumber Air
Desa Oi Bura di Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima merupakan desa yang suhunya relatif lebih sejuk dengan desa-desa di pesisir. Sementara itu Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu yang berada di bawah Oi Bura juga masih beriklim lebih sejuk dibandingkan desa-desa yang dekat ke pesisir. Dua desa ini menjadi sumber air bersih bagi desa-desa lainnya.
Desa Kadindi mulai ramai pada tahun 1970 ketika program transmigrasi dijalankan pemerintah. Masyarakat dari Lombok dikirim ke daerah subur di lereng Tambora, yang kini menjadi Desa Kadindi. Tempat ini dipilih karena ketersediaan air dan tanah yang subur.
Di salah satu hutan yang diyakini sebagai hutan adat muncul mata air. Jumlah mata air itu tersebar di beberapa titik. Di salah satu titik terbesar, terpasang pipa berbagai ukuran. Pipa itulah yang dialirkan ke semua dusun di Kadindi dan desa-desa lainnya di Kecamatan Pekat. Masalahnya, kelangsungan mata air ini bergantung pada daerah di bagian hulu, yang masuk juga wilayah Kecamatan Tambora, Kabupaten Dompu.
“Kalau hutan di atas rusak, habis air kami,’’ kata Mohammad Zalhairi, tokoh muda dari Kadindi.
Zalhairi adalah anak yang lahir dari orang tua transmigrasi Lombok. Dia merasakan dan menjadi saksi perubahan yang terjadi di kaki Gunung Tambora itu. “Terjadi ilegal logging, dan kini (terjadi alih fungsi lahan jadi) kebun jagung,’’ katanya menjelasan tantangan kelestarian hutan di kaki Gunung Tambora.
Arjullah, seorang petani muda Desa Kadindi mengajak saya melihat langsung sumber mata air di tengah hutan itu. Menurutnya, status hutan itu juga belum jelas. Jika menganggap itu sebagai hutan adat, harus segera dibuatkan pengakuan tertulis dari pemerintah. Hutan itu posisinya di luar kawasan hutan, dan jauh dari kawasan Taman Nasional Gunung Tambora.
“Kalau tidak, nanti ada yang mengklaim dan menebang pohon di sini. Sekarang saja debit air sudah berkurang. Nanti air bisa habis,’’ katanya.
Baca juga : Upaya Para Pemuda Batu Lanteh Jaga Kantong Air Sumbawa Tetap Lestari
Ancaman Lumbung Pangan
Persoalan di lapangan sangat kompleks. Alih fungsi lahan sudah berlangsung lama dan semakin meluas ketika ada tanaman jagung. Saat yang sama kebijakan swasembada pangan dari pemerintah pusat juga ikut menjadi pendorong alih fungsi lahan ini.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB Julmansyah bilang kebijakan pertanian jagung menjadi instrumen swasembada nasional di daerah yang ditopang dengan subsidi. Pemerintah pusat memberikan bantuan benih, sarana prasarana untuk kelompok, termasuk juga dari pihak swasta yang diberikan kemudahan berinvestasi membangun pabrik pengeringan sampai dekat dengan lokasi sentra penanaman jagung.
“Bantuan itu nyaris tanpa environment safeguard, tanpa kendali di daerah. Sehingga hutan jadi sasaran ekstensifikasi untuk mengejar target produksi nasional,’’ kata Julmansyah kepada Mongabay, akhir Januari lalu.
Saat ini Julmansyah bersama tim sedang mengkaji perubahan tutupan lahan dengan perubahan pola tanam. Pola tanam sekarang tidak hanya mengganggu keseimbangan ekologis, tapi juga mengancam sektor pertanian unggulan NTB, yaitu padi. Dengan terganggunya tutupan daerah aliran sungai (DAS), akan mengganggu pasokan air. Pada akhirnya, bendungan dan irigasi besar juga akan terganggu. Ini sudah terlihat di beberapa tempat, debit air di bendungan yang berkurang.
“Kondisi itu bisa menganggu lumbung pangan, dan ini harus menjadi target bersama. Bukan sekadar tanggung jawab sektoral kehutanan,’’ katanya.
Sedangkan Dosen Manajemen Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Mataram Dr. Suhairin mengatakan, alih fungsi hutan menjadi ladang jagung berimplikasi langsung pada kondisi tanah. Hutan kini juga tidak mampu lagi menampung air hujan. Bahkan intensitas banjir semakin sering terjadi.
“Kalau dulu 1-5 tahun pertama perluasan ladang jagung secara masif ini belum terlihat dampaknya. Tapi sekarang baru 30 menit turun hujan sudah banjir,’’ katanya kepada Mongabay, Minggu (14/04/2024).
Suhairin pernah melakukan penelitian bersama para mahasiswanya tentang kesuburan lahan yang ditanami jagung. Dalam penelitian itu, terbukti tingkat kesuburan lahan sudah jauh berkurang. Ketebalan tanah pun hanya berkisara 12- 15 meter. Setiap hujan tanah selalu terkikis. Sudah tidak bisa lagi menampung air hujan.
Perlu dibaca : Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir
Para petani jagung pun sangat bergantung pada pupuk kimia. Penggunaan pupuk berlebihan juga membawa masalah bagi lingkungan. “Kalau kondisi asli tanah sudah rusak. Istilahnya cacing pun sekarang sudah tidak bisa hidup,” katanya.
Suhairin mengatakan, alih fungsi lahan hutan dan juga kebun menjadi ladang jagung didorong oleh kebijakan pemerintah. Dia menuturkan, dulu jagung sudah biasa ditanam di sawah pada tahun 2001-2005. Mulai tahun 2010, ketika pemerintah mendorong swasembada jagung, lahan kebun dan hutan dikorbankan. Saat yang sama pemerintah daerah juga mendorong masyarakat menanam jagung tanpa mengontrolnya.
“Di kabupaten Dompu jagung jadi ikonnya, pemerintah yang meminta masyarakat memanfaatkan lahan kebun untuk tanam jagung,’’ katanya.
Padahal, katanya, tanaman jangka panjang di kebun itu memiliki penting bagi keseimbangan ekologis. Taman kebun berupa kemiri, durian, kopi menjaga iklim. Selain itu menjadi area tangkapan air. Secara ekonomis juga menjadi pemasukan masyarakat untuk jangka panjang.
“Sekarang semua diganti jadi jagung, jadi jangan heran bendungan yang dibangun pun kekurangan air. Karena area tangkapan air sudah rusak,’’ katanya.
Jika kondisi ini dibiarkan kondisi lingkungan di Pulau Sumbawa akan semakin kritis. Saat tanah rusak, butuh waktu lama untuk mengembalikannya. Saat itu saja pemerintah sudah mengeluarkan anggaran sampai triliunan rupiah untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat banjir dan longsor. (***)