Liputan Gili Matra : Gili Eco Trust, Penjaga Keindahan Gili Trawangan (Bagian 4)

Sejak 2011, Pemerintah Indonesia menjadikan Lombok dan Gili Matra (Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan) sebagai salah satu dari dua Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di Nusa Tenggara Barat.

Kawasan Gili Matra sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2009.

Tulisan keempat ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Gili Matra. Liputan untuk melihat dampak pariwisata terhadap kawasan koonservasi Gili Matra.

***

Belasan turis mancanegara menyusuri sisi timur Pantai Gili Trawangan awal September lalu. Semua bercelana pendek santai tanpa alas kaki. Ada yang bertelanjang dada, ada pula yang berkaos singlet. Di bagian depan kaos itu tertulis “Trawangan Bebas Sampah dan Bau. Mari Kita Pisah Sampahnya. Peduli Sampah Peduli Lingkungan.

Tiap turis membawa karung goni. Mereka memunguti satu per satu sampah yang mereka temukan di pantai pasir putih itu lalu memasukkannya ke karung goni. Di sekitar mereka, turis-turis lain ada yang asyik berenang, duduk-duduk santai, atau bahkan berjemur hanya dengan berbikini.

Pada Jumat pekan pertama September lalu, belasan turis mancanegara itu membersihkan pantai sepanjang sekitar 1 km. Sephie Irine, warga Prancis, termasuk salah satu yang ikut membersihkan pantai bersama pacarnya. Staf salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional ini untuk pertama kalinya ikut aksi bersih-bersih pantai (beach clean up) di Gili Trawangan.

Selama sekitar 1,5 jam, Sephie dan belasan turis asing mengumpulkan sampah-sampah plastik di sepanjang pantai. “Sampah adalah masalah di Asia, tidak hanya Indonesia,” kata Sephie. Karena itu dia pun mau terlibat aksi bersih-bersih pantai Jumat sore itu. “Apalagi bisa dapat bir gratis,” katanya lalu tertawa.

Setelah membersihkan pantai, para relawan tersebut memang mendapatkan bir gratis. Begitulah cara Gili Eco Trust mengajak turis maupun warga lokal untuk ikut peduli lingkungan di Gili Trawangan dan dua pulau lain di sekitarnya, Gili Meno dan Gili Air yang biasa dikenal dengan nama Gili Matra.

Kerja bakti membersihkan pantai mereka lakukan tiap Jumat sore. Lokasinya berpindah-pindah. Dalam sekali kerja bakti, mereka mendapatkan 80-120 kg sampah plastik. Masih kecil dibandingkan sekitar 12 ton – 17 ton sampah per hari di Gili Trawangan. Tapi, bagi Sephie dan para relawan lain, bersih-bersih itu tak hanya tentang berapa banyak sampah yang mereka kumpulkan, tapi juga pendidikan kepada publik.

(Baca : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra, Bagian 3 )

“Tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi seperti Beijing dan Malaysia, mereka menghadapi isu sampah juga. Hal itu akibat kurangnya pendidikan dan kesadaran,” kata Sephie.

Pajak Lingkungan

 Membicarakan lingkungan Gili Matra tak mungkin tanpa melibatkan Gili Eco Trust. Organisasi non-pemerintah dengan nama resmi Yayasan Ekosistem Gili Indah ini selalu disebut para narasumber ketika membicarakan pelestarian lingkungan di tiga Gili.

Gili Eco Trust memang melakukan berbagai kegiatan pelestarian lingkungan. Termasuk di antaranya melindungi dan merehabilitasi terumbu karang, mencegah erosi pantai, membersihkan pantai, melakukan pendidikan dan peningkatan kesadaran, mengelola dan mendaur ulang sampah, menyediakan klinik kesehatan untuk hewan, serta riset tentang terumbu karang.

Sian menunjukkan berbagai suvenir daur ulang di kantor GIli Eco Trust di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Sian menunjukkan berbagai suvenir daur ulang di kantor GIli Eco Trust di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Menurut sejarah di website mereka, Gili Eco Trust berdiri pada 2000. Saat itu, tujuan utamanya untuk mendukung kegiatan Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk nelayan untuk menjaga lingkungan laut mereka. Nelayan dan warga Gili membentuk Satgas ini karena rusaknya kondisi lingkungan Gili Trawangan akibat pengeboman untuk menangkap ikan dan pemutihan (coral bleaching) akibat El Nino pada 1997-1998.

Warga lokal membuat kesepakatan terkait tata cara menangkap ikan. Selain larangan menggunakan bom juga menentukan cara-cara ramah lingkungan. Penentuan wilayah tangkapan termasuk di dalamnya juga.

Cara lain yang juga disepakati pada saat itu adalah adanya “pajak lingkungan” bagi para penyelam yang pertama kali menyelam di Gili Matra. Sumbangan sebesar Rp50.000 itu digunakan untuk mendukung kegiatan pelestarian lingkungan di pulau-pulau tersebut. Gili Eco Trust menjadi lembaga yang menerima dan mengelola iuran lingkungan tersebut.

Menggunakan sumbangan tersebut, Gili Eco Trust menjalankan berbagai kegiatan untuk pelestarian lingkungan di Gili Matra. Gili Island Diving Association (GIDA) menjadi mitra mereka untuk pemungutan iuran lingkungan ini.

Suvenir kalung dan cincin yang tebruat dari bekas botol di Kantor Eko Gili Trust, Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Suvenir kalung dan cincin yang tebruat dari bekas botol di Kantor Eko Gili Trust, Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Pada 2004, Delphine Robbe, koordinator paruh waktu di Gili Eco Trust mengimpor teknologi Biorock. Teknologi yang ini ditemukan oleh Wolf Hilzberg dan Tom Goreau ini sudah diterapkan di beberapa tempat termasuk di Pemuteran, Buleleng, Bali bagian utara. Hingga saat ini, ada sekitar 140 titik di sekitar Gili Matra yang telah menggunakan teknologi untuk melindungi dan merehabilitasi terumbu karang tersebut.

Banyaknya titik yang menggunakan teknologi biorock ini menjadi Gili Matra sebagai lokasi dengan titik biorock terbesar di dunia.

Sejak 2006, Gili Eco Trust juga mengadakan lokakarya tentang biorock dua tahun sekali. Lokakarya mereka yang kedelapan pada November 2012 diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai negara. Mereka belajar cara mengembalikan terumbu karang, yang menawarkan konsep pariwisata berkelanjutan, termasuk melindungi terumbu karang dan ikan.

Salah satu hasil perlindungan terumbu karang di Pemuteran, Bali dengan metode Biorock yang dikembangkan oleh Yayasan Karang Lestari bersama masyarakat dan para peneliti biologi kelautan.
Salah satu hasil perlindungan terumbu karang di Pemuteran, Bali dengan metode Biorock yang dikembangkan oleh Yayasan Karang Lestari bersama masyarakat dan para peneliti biologi kelautan.

Saat ini,  Gili Eco Trust bekerja sama dengan berbagai lembaga lain, termasuk Balai Konservasi Kelautan Perairan Nasional (BKKPN) untuk menjaga lingkungan pesisir di Gili Matra.

Daur Ulang

Sejak tahun lalu, Gili Eco Trust melebarkan programnya termasuk untuk mengelola dan mendaur ulang sampah di Gili Trawangan. Kegiatan utama mereka terutama mendaur ulang dan memberikan nilai tambah pada produk baru dari sampah tersebut. Mereka bekerja sama dengan Front Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) yang mengumpulkan sampah-sampah itu dari tiap hotel, restora, kafe, ataupun rumah penduduk lalu membawa ke tempat pembuangan sampah akhir.

Kantor Gili Eco Trust di bagian tengah pulau pun menjadi semacam bengkel dan ruang pamer (showroom) bagaimana lembaga ini mendaur ulang sampah tersebut. “Proyek besar kami adalah membuat rumah lebih terihat sebagai toko,” kata Sian Williams, staf Gili Eco Trust. Sian juga mendirikan Sea made, usaha untuk membuat produk-produk daur ulang dari sampah di Gili Trawangan.

Suvenir-suvenir semacam kalung, gelang, asbak, dan penutup lampu hias memenuhi rak-rak di kantor Gili Eco Trust. Semuanya dibuat dari sampah. Mata kalung berbentuk ikan lumba-lumba, misalnya, terbuat dari beling bekas botol minuman. Begitu pula dengan cincin.

Suvenir lain adalah pipet terbuat dari bambu. “Kalau pakai pipet dari bambu, kita bisa mengurangi penggunaan pipet plastik,” ujar Sian.

Plastik memang masalah utama sampah di Gili Trawangan sebagaimana juga disebut oleh Ketua FMPL, Akmal. “Di sini, semuanya dibungkus plastik. Barang-barang dari luar pasti dibungkus plastik lalu sampahnya ditinggal di Gili,” kata Akmal.

Namun, Gili Eco Trust memberikan perhatian lebih pada daur ulang sampah botol-botol kaca. Sebagai daerah pariwisata, Gili Matra memang menghasilkan ribuan botol kaca tiap hari dari botol-botol bekas bir, sampanye, ataupun minuman beralkohol lain. “Karena di sini banyak minum dan pesta, jadi kami ubah botol menjadi gelas minum,” kata Sian.

Bekas botol minuman yang didaur ulang menjadi lampu hias dari usaha Gili Eco Trust di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Bekas botol minuman yang didaur ulang menjadi lampu hias dari usaha Gili Eco Trust di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Usaha daur ulang lain yang dilakukan Gili Eco Trust adalah dengan membuat eco brick, batu bata dari kaca. Sampah-sampah beling digiling menjadi pasir lalu dibentuk menjadi batu bata. Lokasi pembuatan batu bata dari kaca ini di dekat tempat pembuangan sampah. Dalam sehari, menurut Sian, mereka menghasilkan sekitar 3.500 bata. Hasinya kemudian dipakai untuk bahan bangunan layaknya batubata biasa.

“Pesanan sebenarnya banyak tapi produksi kami masih terbatas,” katanya.

Hasil penjualan batu bata, suvenir, dan iurang lingkungan itulah yang menghidupkan Gili Eco Trust. Selain itu, mereka juga melakukan penggalangan dana, seperti melalui malam amal (charity nights) dan lomba triathlon.

Untuk program kampanye lingkungan, Gili Eco Trust juga mengenalkan Eco Diver, para penyelam peduli lingkungan. Tak hanya harus menjaga lingkungan saat menyelam, Eco Divers juga belajar mengenal dan mengidentifikasi terumbu karang, membuat taman terumbu karang, melakukan rehabilitasi, dan mengumpulkan data kerusakan terumbu karang.

Kampanye serupa juga mereka lakukan kepada anak-anak sekolah maupun warga lokal. Melalui berbagai programnya, Gili Eco Trust terus mengajak warga dan turis agar peduli dan turut membantu penyelamatan lingkungan di Gili Matra. “Hal paling membanggakan adalah ternyata banyak orang yang mau membantu gerakan penyelamatan lingkungan,” kata Sian.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,