Mahasiswa Jepang Menangkap Satwa Laut di Nusa Dua. Ada Apa?

 

Di bawah rindang pohon, 24 mahasiswa duduk lesehan di Pantai Samuh, Nusa Dua pada Senin (06/03/2017) lalu. Mereka duduk berkelompok masing-masing empat orang: satu mahasiswa Jepang, tiga mahasiswa Indonesia.

Secara bergantian, tiap kelompok mempresentasikan “temuan” mereka.  Ada padang lamun, bintang laut, plankton, landak laut, dan lain-lain. Selain menyebutkan nama, mereka juga menerangkan ciri-ciri tiap biota.

Seusai presentasi, mereka memasukkan kembali tiap biota ke dalam ember berisi air laut yang menjadi rumah bagi para biota. Setelah kegiatan, biota-biota itu mereka kembalikan ke asalnya, laut di sisi timur kawasan pariwisata Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.

 

 

Begitulah pagi itu ketika mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Udayana, Bali bersama tamu mereka, mahasiswa Kwansei Gakuin University (KGU) Jepang, melakukan kuliah lapangan. Topiknya tentang biologi perairan laut.

Sejak sekitar pukul 7.30 WITA, mereka sudah berada di sisi utara kawasan elite pariwisata Bali itu. Dengan menggunakan peralatan snorkeling, mereka mengamati kondisi bawah laut Nusa Dua. Mereka juga mengambil biota yang mereka temukan untuk dipresentasikan.

Tiap presentasi berlangsung relatif singkat. Tiap kelompok, mempresentasikan dalam bahasa campuran, Inggris dan sesekali Indonesia. Suasananya “kuliah” terasa santai, tidak seperti di ruangan kelas. Gelak tawa sesekali mewarnai presentasi mereka.

Setelah makan siang, para mahasiswa melanjutkan praktikum lapangan dengan menanam kima. Dari semula hendak ditanam di pantai di depan Hotel St Regis di sisi selatan, penanaman kemudian dipindah ke sisi timur pantai.

“Karena ada Raja Salman, jadi kami tidak bisa menanam kima di sana dengan alasan keamanan. Padahal, kami sudah menanam di depan hotelnya,” kata Pariama Hutasoit dari Nusa Dua Reef Foundation yang menjadi salah satu pemandu kegiatan.

 

Mahasiswa dari Jepang mempresentasikan biota laut yang mereka temukan saat di pantai Nusa Dua, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Tahun Kedua

Selama seminggu, para mahasiswa FIKP akan menemani enam mahasiswa KGU yang belajar tentang Bali, termasuk lingkungan. “Tidak hanya tentang ilmu lingkungan, terutama laut dan perikanan, tapi kami juga belajar tentang gaya hidup, budaya, dan agama selama di Bali,” kata Profesor Shinsuke Fujiwara, pendamping mahasiswa KGU.

Menurut Fujiwara, kunjungan belajar tahun ini merupakan yang kedua kali. Tahun lalu, mereka mengadakan kunjungan untuk pertama kali. Selain di Bali, kunjungan pada saat yang sama juga dilakukan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro, Semarang.

Fujiawara mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara yang dikunjungi karena tumbuh pesat ekonomi dan ilmu pengetahuannya. Negara lainnya adalah Thailand, Taiwan, dan Amerika Serikat. “Kegiatan ini sangat berguna bagi mahasiswa kami karena bisa bersentuhan langsung dengan alam,” tambahnya.

Adapun topik kelutan dan perikanan mereka pilih karena adanya kedekatan topik itu dengan Jepang. KGU berada di dekat Kobe, Jepang yang juga memiliki pelabuhan dan laut. Namun, kondisi cuaca dan lingkungan laut di sana berbeda.

“Kobe sangat metropolis, tidak seperti Bali yang lebih alami. Di sana kami hanya bisa menikmati pantai pada musim panas. Kalau di sini, kita bisa kapan saja,” katanya. Karena itulah, dia mengajak para mahasiswanya untuk praktik langsung di laut Bali dan Semarang.

Selama ini, lanjutnya, mahasiswa KGU lebih banyak berkutat di laboratorium. Selama kunjungan di Indonesia, mereka lebih banyak belajar di alam terbuka, seperti di pantai Nusa Dua.

Menurut Fujiwara, berdasarkan pengamatan sekilas, lingkungan bawah laut Nusa Dua masih bagus. “Yang saya benci dari Bali hanya macetnya, seperti di Kuta. Hahaha…” katanya.

 

Sebagian biota laut, termasuk bulu babi yang dikumpulkan mahasiswa Jepand saat pengamatan lapangan di pantai Nusa Dua, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Tertarik Bulu Babi

Gede Raka Angga Kartika, salah satu dosen pendamping mahasiswa FIKP Unud, berharap kegiatan praktikum lapangan ini juga bisa menjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mahasiswa Jepang dan Indonesia.

Dia mencontohkan, mahasiswa Jepang antusias dengan bulu babi yang bentuknya bulat dan penuh duri. “Nantinya mahasiswa juga akan membuat percobaan dengan bulu babi sebagai bagian dari praktikum lapangan,” katanya.

Masahida Osakabe, salah satu mahasiswa Jepang, hanya menjawab singkat ketika ditanya tentang praktikum lapangan tersebut. “I am happy. I am happy,” katanya sambil mengangguk-angguk.

Mahasiswa FIKP Unud Alfarizi Prafanda mengatakan hal sama. Dia mengaku senang bisa melakukan praktikum lapangan bersama mahasiswa Jepang. “Saya senang karena bisa bertemu teman baru dan mempraktikkan ilmu biologi laut lebih awal,” katanya.

Tidak hanya mengamati biota laut dan mempresentasikannya di depan mahasiswa lain, dia dan kelompoknya juga menginventarisir mereka untuk diamati lebih lanjut nanti di laboratorium.

Mahasiswa Semester II itu mencontohkan dia mengambil sampel padang lamun dan rumput laut dari tiga titik. Dia juga mengambil zooplankton dan phytoplankton yang akan diamati dengan mikroskop nantinya. Praktikum lapangan bersama mahasiswa Jepang, menurutnya, berguna juga untuk membandingkan kondisi lingkungan kedua negara.

“Bagi saya, praktikum lapangan bersama mahasiswa Jepang seperti ini termasuk kesempatan langka,” tambahnya.

 

 Penanaman Kembali

Dalam praktikum lapangan bersama antara Unud dan KGU tersebut, para mahasiswa juga mendengarkan pemaparan Pariama Hutasoit, staf Nusa Dua Reef Foundation, tentang kondisi lingkungan bawah laut Nusa Dua.

Menurut Pariama, di lokasi tersebut banyak karang mati karena diambil warga untuk pembangunan. “Kawasan ini juga kena dampak coral bleaching tahun lalu sampai sekitar 55 persen,” katanya.

Saat ini, Nusa Dua Reef Foundation melakukan program penanaman kembali terumbu karang tersebut di beberapa tempat untuk merehabilitasi. Mereka juga menanam kima di sejumlah lokasi.

Nusa Dua, di sisi selatan, dan Tanjung Benoa, di bagian utara, sendiri termasuk pusat kegiatan wisata pesisir di Bali. Wilayah ini memiliki garis pantai sepanjang sekitar 16 km. Ekosistem pesisir dan lautnya lengkap, seperti terumbu karang, padang lamun, maupun satwa laut termasuk hiu, penyu, lumba-lumba, dan dugong.

Namun, menurut Pariama, kegiatan pariwisata juga bisa mengancam ekosistem laut itu jika tidak dikendalikan. “Semoga praktikum semacam ini bisa menumbuhkan cinta dan kepedulian mahasiswa pada lingkungan laut kita,” harapnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,