Hakim Vonis Trisno 4 Tahun, Kuasa Hukum Banding dan Lapor ke Komisi Yudisial

 

Meskipun tuntutan hukum terhadap Trisno Susilo menggunakan pasal UU Kehutanan yang sudah tak berlaku, tetapi hakim di Pengadilan Negeri Batulicin, Kalimantan Selatan, tetap saja memvonis pengurus AMAN Tanah Bumbu ini empat tahun penjara, denda Rp15 juta, subsider tiga bulan kurungan pada Rabu (26/4/17).  Trisno yang sedang mendampingi masyarakat adat Dayak Meratus mempertahankan wilayah adat yang berkonflik dengan perusahaan HPH, PT Kodeco Timber, ini dinyatakan melanggar Pasal 78 (2) UU Kehutanan.

Tak terima, pendamping hukum Trisno langsung mengajukan banding. Fatiatulo Lazira, kuasa hukum Trisno bilang,  putusan ini ‘menyesatkan’ dan berpotensi melegalkan terus perampasan wilayah adat atas nama hukum.

Dia nilai, pertimbangan majelis hakim sangat kontradiktif. “Yang dipakai hakim pasal sudah dicabut. Hakim juga mengabaikan pembelaan terdakwa, keterangan saksi-saksi meringankan dan ahli,” katanya dalam rilis kepada media.

Baca juga: Bela Masyarakat Meratus, Trisno Terjerat Pasal Sudah Dicabut, Apa Kata Pakar?

Tim pendamping hukumpun bakal meminta Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim yang memegang perkara ini.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kecewa dengan vonis ini. “Hari ini, sekali lagi keadilan tidak lulus di ruang pengadilan.”

Dengan vonis Trisno, katanya, bertambah satu lagi korban kriminalisasi negara terhadap masyarakat adat. “Ini menunjukkan hukum di negara ini tak berjiwa keadilan terhadap masyarakat adat,” katanya.

Baca juga: Pertahankan Wilayah Adat di Meratus, Satu Persatu Mereka Kena Ciduk Polisi (Bagian 2)

Erasmus Cahyadi, Direktur Advokasi dan Kebijakan AMAN prihatin kasus kriminalisai kepada masayrakat adat, termasuk Trisno,  dan terus berulang. Kasus masayarakat Dayak Meratus ini sebuah rangkaian dampak kebijakan secara luas.

”Motif kasus ini menghentikan perlawanan masyarakat Meratus. Mereka sudah lama berjuang,” katanya.

Kriminalisasi masyarakat adat ini, katanya,  merupakan kelalaian negara mengakui mereka sebagai subyek hukum. Untuk itu, pemerintah daerah perlu segera mengakui status masyarakat adat. ”Ini menghindari kasus Trisno berulang.”

“Putusan hukum janggal ini AMAN, melalui kuasa hukum Trisno akan banding,” katanya, seraya bilang pasal jeratan yang sudah tak berlaku lagi bikin bertanya-tanya.

 

Banding dan laporkan ke KY

Berbagai kalangan juga heran dengan putusan hakim pakai pasal sudah tak berlaku di UU ini. Andiko Sutan Mancahyo dari Malacca Straits Reseach Center mengatakan, Trisno harus banding ke pengadilan tinggi.

Selain itu, katanya,  tim hukum Trisno bisa melaporkan hakim pengadilan negeri yang memutus perkara ini ke Komisi Yudisial. “Karena mereka tetap memaksakan menggunakan pasal yang sudah dicabut,” katanya.

Senada dengan Andiko, Andi Muttaqien, dari Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat merasa aneh pasal sudah tak berlaku– sejak ada UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan (P3H)– masih jadi pijakan peradilan. “Sudah dicabut, jadi tak bisa digunakan lagi,” katanya. Pasal 78 tak berlaku lagi tertera dalam Pasal 112 UU P3H.

Dia menyarankan, keluarkan Trisno dari penjara, lalu bikin surat ke kejaksaan dan pengadilan dengan lampirkan UU P3H.

“Ini kan divonis dengan hukum yang sudah tidak berlaku. Lawan balik, gugat perdata kejaksaan,” katanya seraya bilang vonis hukum kepada Trisno merupakan pelanggaran HAM.

Selain itu, katanya, kuasa hukum bisa melaporkan kasus ini ke KY, Komisi Kejaksaan, Kompolnas, sampai Badan Pengawas MA.

Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, majelis hakim kurang memahami keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hutan adat bukan merupakan hutan negara. ”Harusnya Majelis Hakim merasakan semangat putusan konstitusi dengan tak menambah keruwetan hukum,” katanya.

Dia menilai, kriminalisasi ini dampak tak ada respon cepat pemerintah daerah maupun pusat serta instansi hukum dalam mengakui masyarakat adat. “Harusnya kriminalisasi tak terjadi, putusan MK sudah dari 2012.”

Begitu juga aparat keamanan baik polisi maupun TNI, katanya,  masih belum meresapi putusan ini.

 

Aksi masyarakat adat Meratus, sehari sebelum putusan sidang Trisno. Mereka mendesak pemerintah akui wilayah mereka dan bebaskan Trisno. Foto: AMAN

 

Dia menilai, reforma agraria oleh kepemimpinan Presiden Joko Widodo tak menyasar pada area konflik. ”Ini yang kita sesalkan, karena target reforma agraria menyasar area sangat kecil sekali konflik,” katanya.

Seharusnya, reforma agraria jadi instrumen penyelesaian konflik, dengan catatan menjunjung tinggi HAM dan memulihkan hak-hak korban serta menciptakan keadilan sosial yang baru.

“Selanjutnya membangun ekonomi berkelanjutan dan berprinsip pada pengembangan ekologi berkelanjutan.”

Reforma agraria Jokowi saat ini, katanya,  sibuk mencari angka 9 juta, bukan pada hal mendasar bahwa land reform ini sebagai solusi konflik dan menciptakan keadilan sosial.

 

Hak terabaikan

Konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat Dayak Meratus, sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Beberapa komunitas adat tergusur beberapa kali, dengan alasan lahan masuk konsesi perusahaan. AMAN Tanah Bumbu, mendampingi warga hingga berujung penangkapan Trisno dan beberapa pegiat masyrakat adat Meratus.

Baca juga: Cerita Komunitas Napu Pertahankan Hutan Adat dari Perusahaan (Bagian 1)

Sehari sebelum putusan, Selasa (25/4/17), warga Dayak Meratus aksi menuntut pemerintah mengeluarkan korporasi dari wilayah adat mereka dan meminta Trisno dibebaskan.

Miso, dari AMAN Kalsel juga koordinator aksi mengatakan, Trisno merupakan korban keabsenan negara. Penegakan hukum, katanya,  tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas dalam menindak kejahatan korporasi.

“Saya harapkan kita akan terus berjuang. Jangan menyerah. Hak adalah hak. Jangan diabaikan. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Masyarakat adat harus bersatu,” kata Trisno, setelah persidangan.

Dua warga lain, yaitu Manasse Boekit dari Tanah Bumbu dan Arif dari Dayak Meratus kini berstatus tersangka di Kepolisian Resort Kotabaru. Manasse dan Arif berjuang mempertahankan hak mereka tetapi malah terjerat UU Kehutanan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,