Selain Sampah, Ada Persoalan Lain yang Dihadapi Ciliwung

 

 

Sabtu pagi, 20 Mei 2017, hijaunya rerumputan di halaman kampus Institut Pertanian Bogor, Baranangsiang, tampak beda. Sekelompok pemuda dan pemudi dari berbagai komunitas, pegiat lingkungan, dan elemen masyarakat membaur, memegangi karung. Siapa mereka?

Mereka adalah relawan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) yang membantu pelaksanaan Lomba Mulung Sampah 2017 di Sungai Ciliwung. Ratusan relawan itu berkumpul sejak subuh, berkoordinasi menyiapkan logistik demi kelancaran acara, sekaligus, sebagai juri.

Peserta lomba merupakan warga di 13 kelurahan yang dilewati aliran Sungai Ciliwung. Keluarahan itu adalah Katulampa, Tajur, Sindang Rasa, Babakan Pasar, Baranangsiang, Sempur, Bantarjati, Kedung Badak, Cibuluh, Kedung Halang, Sukaresmi, Tanah Sareal, dan Sukasari. Mereka serentak mengumpulkan sampah-sampah anorganik di bantaran sungai. Dua ribu lebih warga yang terlibat dengan sampah yang dikumpulkan sekitar 1.600 karung.

Lomba mulung sampah yang diselenggarakan KPC tahun ini merupakan hajatan kesembilan kalinya, sejak 2008. Pemerintah Kota Bogor merespon kegiatan ini, hingga pada 2012, penyelenggaraannya dijadikan agenda resmi tahunan dalam rangkaian perayaan Hari Jadi Kota Bogor.

Bima Arya, Wali Kota Bogor yang hadir dalam pembukaan lomba memberikan sambutannya. Ia berterima kasih kepada relawan KPC yang tulus dan konsisten menyelenggarakan kegiatan tersebut. “Saya bangga dengan gerakan ini. Apa yang kita lakukan saat ini akan dirasakan tidak hanya warga Bogor, tapi juga warga Jakarta dan sekitar.”

Bima menuturkan, kegiatan ini merupakan semangat positif untuk mewujudkan deklarasi Indonesia Bebas Sampah 2020. “2020 bukan tidak mungkin Bogor, khususnya Ciliwung bisa bebas sampah. Tinggal bagaimana komitmen dan peran seluruh pihak,” tuturnya.

Dian Hardiani, Koordinator Lomba Mulung Ciliwung mengungkapkan, setiap tahun, warga antusias mengikuti lomba ini. Penyelenggaraan lomba merupakan momen penting mengembalikan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian Ciliwung. Jelas, keuntungannya akan dirasakan banyak pihak. “Ini upaya bersama meningkatkan kesadaran warga terhadap kebersihan Sungai Ciliwung,” katanya.

 

Ciliwung bersih adalah harapan kita bersama yang manfaatnya akan kita rasakan bersama juga. Tampak wali Kota Bogor Bima Arya membaur bersama Komunitas Peduli Ciliwung. Foto: Reza Septian

 

Permasalahan Ciliwung

Secara utuh, Ciliwung memiliki luas sekitar 38.610 hektare yang membuatnya dibagi tiga sub daerah aliran sungai (DAS). Ciliwung hulu seluas 15.251 ha (Kab. Bogor dan Kota Bogor), Ciliwung tengah seluas 16.706 ha (Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi), serta Ciliwung hilir seluas 6.295 ha (DKI Jakarta).

Saat ini, kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung hanya tersisa 9,7 persen atau seluas 3.693 hektare. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri.

Een Irawan, Koordinator KPC Bogor, yang telah berkecimpung sembilan tahun di Ciliwung menjelaskan, permasalahan Ciliwung saat ini sudah rumit dan memprihatinkan. Upaya memperbaiki kondisi Ciliwung tidak mudah. Dukungan dan keterlibatan masif dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Termasuk, pemerintah daerah maupun  pusat yang mempunyai kebijakan dalam penataan ruang.

Een menilai, salah satunya dalam hal penataan kota dan ruang terbuka yang cenderung tidak menganggap Ciliwung sebagai aset. Padahal, Ciliwung mempunyai potensi besar, lingkungan di sekitarnya bisa menjadi public space untuk bisa dinikmati warga. “Ribuan orang setiap minggu berkumpul di Taman Sempur, tapi tidak pernah melirik Ciliwung. Justru, menjadikannya tempat sampah. Mengapa seperti itu, karena tidak dimanfaatkan secara tepat, sehingga tidak menarik,” katanya.

 

Relawan KPC yang siap membantu penyelenggaraan Lomba Mulung Ciliwung 2017. Foto: Reza Septian

 

Permasalahan lain yang tidak kalah rumit adalah pengelolaan sungai yang masih parsial. Ia bahkan pernah berkesempatan menyampaikan hal itu ke Presiden Joko Widodo. Untuk Ciliwung, ada banyak badan terkait yang mengurusi seperti Bappeda, Kehutanan, Badan Wilayah Sungai, dan Dinas Sumber Daya Air.

Menurut Een, pengelolaan seperti itu tidak efektif dan rumit. Badan-badan itu justru overlapping dan terjebak dengan skema proyek yang bersifat pembangunan fisik. Pembangunan seperti turap atau bendungan, harusnya tidak menjadi prioritas, karena tidak akan bertahan lama. Menimbulkan masalah baru. “Tiga sampai empat tahun juga akan selesai.”

Badan-badan pemerintah yang mengelola Ciliwung harusnya mengedepankan program-program berkelanjutan. Sebut saja, pembangunan dan penataan alami dengan memperbanyak pohon dan ruang terbuka hijau di pinggir sungai. “Ini jauh lebih kuat dan efektif,” tutur Een.

 

Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor, padat dipenuhi perumahan di sekitarnya. Foto: KPC Bogor

 

Di kesempatan sebelumnya, Sudirman Asun, pengamat dan aktivis Ciliwung bersih dari Ciliwung Institute, menjelaskan hal yang sama. Pembangunan turap atau betonisasi justru akan berbenturan dan tidak akan menyelesaikan masalah. Pembetonan akan menghalangi resapan air dari daratan menuju sungai. “Sempadan sungai yang kini dipenuhi bangunan harusnya dijadikan ruang terbuka hijau. Bukan dibeton,” ujarnya.

Asun menyatakan, harusnya konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diterapkan untuk menormalisasi sungai, yaitu air yang mengalir dari hulu Ciliwung diserap secara maksimal dan untuk selanjutnya dialirkan selambat mungkin. Caranya, memperluas areal resapan air dengan menambah luasan ruang terbuka hijau atau juga memaksimalkan peran situ. “Jadi, mindset yang menganggap air sebagai sumber bencana diubah menjadi air sebagai sumber kehidupan,” jelasnya.

 

 

Aliran Sungai Ciliwung. Sumber: presentasi Djati Witjaksono Hadi

 

Ciliwung memang memilik sejarah panjang. Dalam tulisan Djulianto Susantio: Dulu, Ciliwung Paling Bersih dan Paling Baik di Dunia, di Majalah Arkeologi dituliskan Ciliwung merupakan sumber kehidupan utama masyarakat karena berbagai aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan rumah tangga hingga jalur perdagangan internasional.

Pada abad ke-15 dan 16, Pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung, telah dikenal luas oleh pedagang-pedagang internasional. Orang-orang Belanda yang datang paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988). Itulah Ciliwung pada awalnya.

Sejak kedatangan bangsa Belanda, Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa tembok kota, parit, dan berderet rumah. Dengan demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).

Tidak berlebihan bila saat itu Batavia dijuluki “Ratu dari Timur”. Orang-orang asing yang datang, tidak ragu memberikan sanjungan tiada tara untuk Batavia, yang tak jarang menyandingkannya dengan negara-negara di Eropa. Bagaimana sekarang?

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,