Tak Hanya Festival Parara, Bakal Ada Wadah Permanen Pasarkan Produk Lokal di Jakarta

 

Ada madu alam dari berbagai daerah di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, sampai Nusa Tenggara. Ada minyak murni gaharu, minyak kelapa, mie rumput laut, bibit lokal dan beragam produk organik serta beragam kopi lokal.  Kain daerah dengan berbagai bentuk, dari baju, tas, dompet sampai pernak pernik kecil, pun ada. Macam-macam produk ini ada di Taman Menteng Jakarta,  pada 13-15 Oktober 2017 di ajang Festival Panen Raya Nusantara (Parara).

Susunan bambu saling berkaitan antara satu dengan yang lain membentuk pintu masuk sebuah Parara. Sebanyak 85 komunitas menyajikan kearifan lokal melalui produk hasil non kayu, produk kerajinan, pangan dan sandang.

Festival dua tahunan ini pertama kali dihelat pada 2015. Tujuannya, mempromosikan dan meningkatkan akses pasar produk komunitas yang dikelola dengan mempertahankan kearifan lokal dan lingkungan serta memperkuat identitas bangsa.

Dengan mengangkat tema: ”Jaga Tradisi, Rawat Bumi,” Parara hendak mengajak semua pihak, terutama masyarakat perkotaan memberikan ruang pada petani, nelayan, UKM dalam mempraktikkan ekonomi lebih adil dan ramah lingkungan.

Jusupta Tarigan, Ketua Konsorsium Parara mengatakan, kedaulatan pangan salah satu pesan dalam festival ini. “Kita negara agraris dan maritim, masih banyak bergantung impor,” katanya.

Guna menjembatani antara masyarakat pengelola hutan dan pembeli tak hanya lewat festival, katanya, tak lama lagi akan hadir Coffee dan Resto Parara.

”Jangka panjang tujuan kami ada saluran pemasaran bersama dari konsorsium Parara. Tahun ini,  soft launching Coffee and Resto Parara,” katanya di Jakarta, Sabtu (14/10/17).

Konsorsium Parara terdiri atas 27 lembaga pendamping komunitas yang mengambil peran dalam pengembangan produk berbasis masyarakat, antara lain Walhi, AMAN, Warsi, WWF, Yayasan Palung, dan lain-lain.

Adapun, Coffee and Resto Parara akan rilis pada 2018 di bilangan Jakarta Selatan.

 

Bibit-bibit lokal dari Pesantren Ekologi Ath-Taariq di Festival Parara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Jusuf, langkah ini berdasarkan animo masyarakat cukup tinggi dalam mengapresiasi produk lokal. ”Ini juga menjembatani kerinduan masyarakat Jakarta akan Festival Parara.”

Tak hanya menyajikan pangan, toko ini akan membuka jaringan bagi siapa saja mau menyalurkan hobi dan berdiskusi. Produk-produk dari berbagai penjuru negeri dan memenuhi prinsip maupun nilai yang perlu disepakati. Untuk inventarisasi produk oleh lembaga konsorsium Parara.

”Tantangan kami, bagaimana masyarakat tetap menjalankan prinsip lestari. Nantinya itu jadi tanggung jawab lembaga pendamping,” katanya.

Pemasaran, katanya,  menjadi kendala bagi produk lokal. Perhutanan sosial, baru fokus pemberian dan target izin. Ia belum menyentuh pengembangan produk hasil perhutanan sosial dan akses pasar.

”Jika sudah ada izin, lalu bagaimana? Perhutanan sosial terlihat seperti bisnis, seharusnya bukan itu.  Skema ini seharusnya mampu memfasilitasi kegiatan, mempermudah proses perizinan dan insentif,” katanya.

Rosina Karubaba, Ketua Kelompok Rawing Mairori Sarawandori, Kepulauan Yapen, Papua salah satu kelompok lokal yang ikut Parara sejak 2015.  ”Kalau tak ada festival, pasar kami hanya di Papua,” katanya.

Kelompok Rosina, antara lain mengembangkan produk dari rumput laut. Dulu, mereka hanya menjual rumput laut kering, kini sudah berkembang menjadi mie rumput laut, snack rumput laut, dodol rumput laut dan cendol.

Dulu, katanya, pendapatan rumah tangga bergantung suami. Setelah 2010,  mulai ada pengelolaan rumput laut, ibu-ibu bisa menaikkan ekonomi keluarga. ”Kalau ada simpanan mie rumput laut di rumah, pasti ada uang.”

Dia bilang, berkat pengembangan produk para perempuan ini, berbuah manis. ”Banyak anak-anak anggota kelompok kami jadi sarjana.”

 

Beragam madu hutan ada di sini….Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,