Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Era Perubahan Iklim

Pada hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober ini, Mongabay mengangkat pandangan dari mereka yang bersentuhan dengan isu ketahanan pangan. Tulisan ini menceritakan arti penting kedaulatan pangan nasional yang berpotensi terancam dengan perubahan iklim global (pengantar redaksi).

Politik global dewasa ini mulai  menepikan diskursus perubahan iklim. Kecenderungan ekonomi populis, nasionalisme sempit, dan penguatan politik kanan di negara-negara utama  meminggirkan pembahasan perubahan iklim di lingkaran utama politik dunia.

Langkah internasional  dan nasional harus terus didorong untuk mengurangi laju dan dampak perubahan iklim akibat perilaku peradaban modern tak ramah lingkungan. Apalagi, dampak perubahan iklim telah nyata terjadi dan terbukti memapar masyarakat yang melewati lintas batas negara.

Mayoritas penduduk Indonesia adalah para petani kecil, masyarakat adat dan nelayan tradisional. Karena itu, diperlukan langkah nasional yang menyeluruh untuk mengurangi dampak kolosal perubahan iklim kepada kelompok masyarakat ini.

Kelompok-kelompok ini, meskipun penyumbang emisi terendah, — dan selama berabad-abad menjadi penyelamat pangan dan  ekologis yang tangguh,  adalah mereka yang paling dirugikan. Kegagalan  panen, menurunnya produktivitas lahan, berkurangnya hasil tangkapan, dan kemunculan berbagai hama baru, adalah kejadian yang sering dikaitkan dengan  perubahan iklim.

Dalam konteks pertanian, konsep bercorak nasionalistik yang mendukung ketangguhan   terhadap  perubahan iklim adalah kedaulatan pangan. Secara legal, kedaulatan pangan adalah tujuan dari UU Nomor 18/2012. Kedaulatan pangan merupakan hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin pemenuhan  hak atas pangan bagi rakyat, dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Saat ini, pangan lokal yang  dihasilkan oleh petani, masyarakat adat dan nelayan tradisional mengalami tekanan besar akibat  perubahan iklim, perdagangan pangan yang tidak adil serta modernisasi pertanian yang melupakan kearifan lokal. Tak mengherankan, negara kita masih tertatih dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. 

Meski cenderung turun, impor pangan masih cukup tinggi.  Sejak Januari hingga Juni 2017 BPS mencatat nilai impor pangan sejumlah US$ 1,078 miliar. Ketergantungan ini menempatkan indeks ketahanan pangan Indonesia dari 113 negara yang dinilai berada pada peringkat 71. Bandingkan dengan peringkat negara ASEAN lainnya seperti Vietnam yang berada di posisi 57, Malaysia 35, serta Thailand 51 (Global Food Security Index; 2016).

 

Kedaulatan Pangan

Indonesia penting  untuk mewujudkan kedaulatan pangan.  Selain mengurangi dampak perubahan iklim,  juga dikarenakan potensi kekuatannya yang merupakan bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi lokal, juga karena kekhasan geografis bentang alam nasional yang berada pada wilayah rentan bencana.

Pendekatan ini juga bagian dari menghindari perubahan lanskap wilayah-wilayah daratan, pesisir kelautan dan pulau-pulau kecil yang selama ini diarahkan dan didominasi oleh pertanian dan perkebunan monokultur. Tantangan domestik dengan demikian adalah untuk mengubah kiblat sistem monokultur dan model usaha skala besar ini.

 

Dampak El-Nino telah menyebabkan kekeringan hingga warga gagal panen atau tak bisa menanam. Di foto di Cilacap, Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah  Jokowi-JK saat ini  mulai menyadari kekeliruan tersebut.  Pemerintah telah melakukan moratorium izin perkebunan sawit dan moratorium izin lahan gambut yang dibarengi dengan program redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat.

Langkah ini adalah upaya besar mencegah ketidakadilan akibat orientasi lama usaha skala besar monokultur. Tentu saja hal ini akan berkorelasi positif dalam mendorong perwujudan kedaulatan pangan yang lebih kokoh.

Langkah berikut adalah mewujudkan kedaulatan pangan yang mengintegrasikan faktor iklim, termasuk mendorong pengembangan dan penggunaan varietas lokal, serta aplikasi teknologi pertanian berorientasi adaptif iklim.

Ini merupakan perangkat penting untuk membantu petani meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, dalam rangka lebih mengenal secara dini gejala perubahan iklim. Karenanya mendekatkan dunia pendidikan dan riset teknologi yang semakin membumi dengan kebutuhan masyarakat, lalu menjadi prioritas.

Langkah ketiga, adalah membangun kelembagaan ekonomi produksi masyarakat. Di sini terdapat beberapa regulasi kunci, namun dijalankan dengan semangat sektoral.  Seperti UU Pangan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, serta UU Desa.

Penting untuk merangkum implementasi beberapa UU ini kedalam sebuah Peraturan Pemerintah yang bertujuan mewujudkan ekonomi produksi petani dan nelayan dalam bentuk usaha modern dan ramah lingkungan yang berformat koperasi atau badan usaha.

Langkah kolektif menyatukan  regulasi tersebut dalam satu strategi dan rencana aksi nasional pada akhirnya akan memungkinkan tercapainya upaya resiliensi dampak perubahan iklim, yang tertuang dalam kerangka pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat yang berkelanjutan.

Dengan demikian, kedaulatan pangan bukan hanya sekedar gagasan.

 

* Suryani Amin, penulis adalah Penasihat Adaptasi Perubahan Iklim berbasis Masyarakat pada program USAID-APIK. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
,