Interogasi dan Penembakan Sisakan Trauma Bagi Warga Ogan Ilir

“Tak tahu lagi mau ngatonya. Trauma. Datang ke rumah bedarah-darah. Tak sangko…” cerita Farida, warga Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Farida, perempuan berusia 44 tahun.  Dia salah satu korban tembak brimob 27 Juli 2012.

Rabu(1/8/12) siang, Farida dan beberapa korban tangkap polisi bertemu dengan media di Jakarta. Sesekali Farida menyeka air mata. Dia masih merasa takut jika mengingat kejadian berdarah sore itu. Kala itu, dia keluar dari rumah berniat menuju keramaian. “Kito nak tengok.”

Belum sampai, dia sudah mendengar tembakan. “Dor..dor..dor..” Farida berlari. Sesaat dia sempat melihat Angga, bocah 12 tahun yang tewas dihantam peluru di kepala. Angga tergeletak bersimbah darah. “Kito liat, kito minta tolong. Kito takut.” Panik, takut,  Farida, terus berlari menuju rumah. Rumah dia sekitar 200 meter dari tempat kejadian.

Sesampai di rumah, Farida baru sadar, pundak kanan terkena tembakan. Tambah takut. Dalam kecemasan dibersihkan percikan darah di baju, lalu dia ke Puskesmas. Dari Puskesmas dirujuk ke rumah sakit. “Sehari semalam di rumah sakit,” ujar dia.

“Bagaimana sekarang kalau bekerja bu?” tanya Aliza Yuliana, dari Solidaritas Perempuan. “Tak pacak lagi,” kata Farida.  Setelah tertembak di pundak, dia sulit beraktivitas seperti dulu.

Trauma juga dialami Dwi, warga Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat.  Pada 22 Juli 2012, sekitar pukul 16.30, Dwi bersama empat anggota keluarga, termasuk anak dia berusia 15 bulan, M Farel, melintasi jalan di perkebunan PTPN VII Cinta Manis.  Datang polisi,  mayoritas brimob mendekati. Mereka berlima diminta ikut polisi. Mereka begitu takut dan khawatir.

Sore itu, Dwi baru pulang dari kebun . Di kebun, dia menanam cabai, labu, keladi dan singkong.  “Setiap hari memang kami lewat sana,” kata Dwi.

Dia dan keluarga pun diinterogasi polisi. “Ditanya, apa suka ikut demo. Tidak boleh lewat jalan itu lagi. Dibilang juga ketua Walhi Sumsel, provokator.” Saat interogasi, Farel terus menangis.  Lalu, pukul 23.00, dia dan keluarga dipaksa menandatangani surat pernyataan tak akan mengarap lahan di pinggiran sungai, di wilayah konflik. Baru sekitar pukul 1.30 baru mereka dilepas setelah menandatangani dengan terpaksa surat pernyataan yang disodorkan penyidik.

Idham Arsyad, Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan,  peristiwa yang menimpa warga ini merupakan klarifikasi atas apa yang dikatakan polisi bahwa mereka tak terlibat dalam sengketa agraria.  Dia juga heran, PTPN VII, dikatakan aset negara. Fakta, dari tahun 1980 an beroperasi perusahaan negara ini hanya mengantongi hak guna usaha (HGU) seluas 6.500 hektare.  Sekitar 13.500 an hektare tak ber-HGU. “Gimana dibilang aset negara kalau ga ada HGU,” katanya.

Menurut dia, dalam UU Pokok Agraria itu jelas, usaha perkebunan harus memiliki HGU. “Karena tak ada HGU, berarti tidak terdaftar. Kemana hasil 13.500 hektare itu? Untuk itu, kelebihan pengelolahan tanah ini, terindikasi korupsi dan dilaporkan ke KPK.”

Ahmad, Departemen Keorganisasian Walhi Nasional, menambahkan, Polri harus kapok terlibat dalam konflik-konflik agraria dan sumber daya alam. Karena, polisi itu tidak tahu duduk persoalan dengan baik. “Polri harus lebih banyak belajar persoalan-persoalan ini.” “Polri tak paham apa-apa!”

Dia meminta, Polri segera menarik pasukan yang telah menyerang ke desa-desa di Ogan Ilir agar tak makin menakut-nakuti warga.  Ahmad, menyesalkan, sikap Polri dan pemerintah. Jika, polisi yang bertindak dibilang penegakan hukum. “Tapi, kalau warga yang bertindak dikatakan anarkis.”

Padahal, apa yang dilakukan warga Ogan Ilir, sudah sangat baik. Mereka menempuh jalan-jalan damai, mengajak dialog. Ratusan warga  Ogan Ilir datang ke Jakarta, untuk bertemu pihak-pihak terkait, seperti Polri, BPN, Kementerian BUMN.  Namun, upaya mereka ini tak didengar. “Dahlan Iskan (Menteri BUMN) tak berani duduk untuk bicara serius dengan warga,” ucap Ahmad.  “Padahal, warga hanya menginginkan mana tanah PTPN VII, mana tanah warga.”

Untuk itu, dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, segera bertindak merumuskan langkah-langkah selanjutnya. Lembaga negara juga harus bisa bersikap tegas. Dia mencontohkan, Kepala BPN baru sudah berjanji  akan menyelesaikan konflik-konflik agraria dan mengukur lahan telantar. “Ini harus segera jangan sampai timbul persoalan lagi,” ujar dia.

Pemerintah, katanya, harus memprioritaskan penyelesaian konflik agraria, karena begitu banyak terjadi di berbagai daerah. “SBY harusnya bisa evaluasi dari kasus-kasus Mesuji, Bima.”

Dia juga meminta, pemerintah mengevaluasi semua PTPN di negeri ini. Hampir semua bermasalah. Ahmad, baru saja kembali dari Sulawesi Selatan, wilayah kerja PTPN XIV, juga bermasalah dengan warga sekitar.

Polri, menyebut-nyebut Direktur Walhi Sumsel, provokator. Polri, katanya, harus melihat Walhi, bukan hanya di Sumsel. Walhi ada di 28 daerah di Indonesia. Bahkan, Walhi bergerak bersama Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat. “Jadi tidak ada istilah Direktur Walhi Sumsel, provokator!”

Aliza Yuliana meminta, penarikan segera aparat agar tak menambah trauma warga, terutama kaum perempuan. Tak hanya itu, perlu ada langkah pemulihan dari trauma karena kejadian yang menimpa mereka, dari sweeping sampai penangkapan.

Dwi dan M Farel (anak 15 bulan), yang sempat diamankan dan diinterogasi polisi. Foto: Sapariah Saturi

Konflik lahan antara warga Ogan Ilir dan PTPN VII sejak 1982. Konflik muncul, karena lahan PTPN VII unit Cinta Manis, diperoleh dengan memaksa masyarakat tani di 20 desa, dalam enam kecamatan menyerahkan lahan kebun karet dan nenas mereka.  Pencaplokan lahan petani secara umum hampir sama. Lahan kebun warga digusur tanpa ganti rugi layak, diwarnai tekanan, intimidasi dan represif aparat keamanan saat itu.

Kekerasan oleh kepolisian bukan kali pertama bagi warga desa Ogan Ilir yang lahan kebun mereka diklaim milik PTPN. Pada 4 Desember 2009,  terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berbuntut penembakan warga Desa Rengas oleh brimob.

Awal Juli 2012, sekitar 600 petani Ogan Ilir, datang aksi damai ke Jakarta.  Para petani yang tergabung dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB) ini dari daerah sudah membawa beberapa hasil positif dari perjuangan di daerah.

Pada 29 Desember 2009, BPN Sumsel mengeluarkan surat yang menyatakan, areal PTPN VII di Ogan Ilir yang mempunyai hak guna  usaha (HGU) hanya 4.881, 24 hektare (ha). Izin prinsip mereka seluas 20 ribu hektare. BPN tak akan memproses HGU  sebelum ada penyelesaian klaim dari masyarakat.

Surat yang menguatkan posisi warga juga keluar dari Gubernur Sumsel, 15 Juni 2012. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Gubernur Sumsel, Eddy Yusuf ini meminta lahan PTPN VII yang telah diterbitkan HGU di unit usaha Cinta Manis agar dievaluasi. Lahan PTPN VII yang belum terbit HGU agar dikembalikan ke masyarakat. Dalam surat itu, Gubernur meminta agar Kementerian BUMN memperhatikan tuntutan para petani.

Mereka datang ke BPN. Hasilnya, BPN Pusat tak akan mengeluarkan hak guna usaha kepada PTPN sebelum konflik dengan masyarakat selesai. Mereka ke Mabes Polri meminta Polri tak menggunakan kekuatan senjata menghadapi petani. Sebab, lahan itu memang masih dalam konflik. Apalagi, PTPN beroperasi di kebun itu, hampir 30 tahun, sekitar 13 ribuan hektare, belum memiliki HGU. Dari  Kepolisian berjanji akan bersikap netral.

Lalu, mereka mendatangi Kementerian BUMN dan istana negara. Di Kementerian BUMN pada pertemuan pertama tak ada hasil. Lalu, Kementerian BUMN menggagas pertemuan pada 16 Juli.  Pertemuan ini hadir perwakilan petani, jajaran direksi PTPN VII dan Kementerian BUMN. Setelah bicara panjang lebar, dari perwakilan petani, berharap, minimal Kementerian BUMN membentuk tim verifikasi data lahan.  Namun, usulan ini tak dapat diterima. Pertemuan kali inipun kembali tanpa ada kata sepakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,