Profesor Okamoto, Kembalikan Keindahan Terumbu Karang Sulawesi

Seorang profesor dari Tokyo University sukses mengembalikan kondisi terumbu karang di Indonesia dengan menggunakan instrumen yang kecil. Temuan profesor bernama Mineo Okamoto ini akan menjadi salah satu bahasan dalam International Conference on Climate Change and Coral Reef Conservation, yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan dijadualkan berlangsung di Okinawa INstitute of Science and Technology Graduate University di Onna, Okinawa, Jepang hari Sabtu dan Minggu akhir pekan ini.

Dalam konferensi tersebut, negara-negara kepulauan yang rentan terdampak pemanasan global akan berdiskusi hal-hal terkait dengan perubahan iklim, termasuk kerusakan terumbu karang di tingkat global akibat kenaikan suhu udara di perairan.

“Setidaknya sekitar 80 jenis terumbu sudah tumbuh di kawasan ujicoba kami di Indonesia, yang lambat laun terus berkembang,” ungkap MIneo Okamoto, sang penemu metode penumbuhan terumbu karang dengan instrumen yang kecil, dari Ilmu kelautan dan Teknologi Tokyo University kepada The Yomiuri Shimbun.

Proyek revitalisasi terumbu karang di Indonesia ini telah dilakukan oleh Profesor Okamoto sejak beberapa waktu lalu, namun mereka mulai menenggelamkan media penumbuh terumbu karang berupa dudukan berbentuk cakram yang bernama “koma” di timur laut Sulawesi mulai tahun lalu. Wilayah ini adalah habitat alami lebih dari 600 jenis terumbu karang dan menjadi salah satu tujuan wisata uatama bagi para penyelam di seluruh dunia.

Media penumbuh karang adalah sebuah alat berbentuk lingkaran berdiamater 5 centimeter dan dibuat dari baja, dengan banyak lekukan di permukaannya. Dengan adanya lekukan-lekukan tersebut, Profesor Okamoto menambah luasan permukaan yang bisa ditumbuhi oleh larva karang. Cakram berbentuk larva karang ini dipilih agar mempermudah larva untuk menempel dan memasikan bahwa perangkat ini sangat kuat. Profesor Okamoto mengembangkan alat ini sejak 15 tahun lalu dan hingga kini masih menyempurnakan peranti penumbuh karang ini.

Cakram-cakram ini lalu digabungkan dan disusun menjadi satu dalam sebuah bingkai seperti sebuah sempoa, dan ditempatkan di laut sebelum waktunya pemijahan karang, maka larva karang bisa menempel dan tumbuh di media ini, demikian penjelasan Profesor Okamoto. Setelah 18 bulan, cakram-cakram tersebut kemudian dipisahkan dan ditempelkan di bebatuan di dasar laut untuk membentuk sebuah koloni terumbu karang. Lewat cara ini, penumbuhan terumbu karang bisa ditempatkan dengan lebih bervariasi secara spesies secara lebih fleksibel.

Proyek yang telah dikembangkan sejak tahun 1988 di jajaran terumbu karang di Sekisei Lagoon Jepang ini, yang mengalami kerusakan terumbu karang parah di masa itu akibat pemanasan global dan kenaikan suhu permukaan air laut. Saat Okamoto berupaya menempelkan papan-papan penumbuh karang untuk pertemakalinya setahun setelahnya, tak  satupun larva karang yang mau menempel.

Namun kini semua telah berbeda, jumlah cakram atau “koma” yang ditanam di Laguna Sekisei ini kini mencapa 33.000 buah. Alat ini terbukti cukup ampuh untuk menumbuhkan bibit terumbu karang, ungkap Okamoto kepada The Yomiuri Shimbun.

Sukses dengan proyek di Jepang tersebut, Okamoto mulai mengembangkan pola penumbuhan terumbu karang ini di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2007. Kini proyek ini bekerjasama dengan perusahaan baja bernama JFW Steel di Jepang untuk membangun cakram-cakram baja untuk ditenggelamkan ke laut.

“Terumbu karang adalah rumah yang tidak tergantikan untuk melindungi keragaman hayati di laut. Dan secara teknis bukan hal  yang sulit untuk menanam “koma’ di bebatuan laut. Saya harap teknik ini bisa diterapkan di seluruh dunia,” ungkap Profesor Okamoto lebih lanjut kepada The Yomiuri Shimbun pekan lalu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,