Peran serta masyarakat adat, berperan signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat adat juga membuat nilai-nilai sosial budaya, ekonomi dan ekologi lokal yang menjadi elemen penting pelestarian hutan dan alam berjalan beriringan dan bukan menutup akses masyarakat adat terhadap hutan mereka.
Seperti yang terjadi di wilayah Mbeliling, Nusa Tenggara Timur. Sebelas desa menandatangani kesepakatan dan komitmen dari warga desa dan beberapa mitra mereka untuk melestarikan sumber daya pengidupan di tingkat desa. Upaya ini, adalah langkah untuk melindungi sumber daya alam di sekitar desa, dengan berbasis pada rumusan yang disusun secara partisipatif oleh masyarakat setempat. Hukum adat bersama ini, juga mengandung sejumlah aturan dan sanksi yang akan diberikan kepada setiap pelanggaran yang dilakukan.
Kesebelas desa yang ikut menyusun Kesepakatan Pelestarian Alam Desa ini adalah Desa Watu Nggelek, Warloka, Macang Tanggar, di Kecamatan Komodo. Lalu Desa Siru, Wae Wako di Kecamatan Lembor, Desa Liang Ndara, Golo Ndoal, Golo Sembea, Wae Lolos di Kecamatan Mbeliling, serta Desa Kempo dan Golo Sengang di Kecamatan Sano Nggoang. Semuanya berada di Kabupaten Manggarai Barat. Kesebelas desa ini, adalah sebagian dari 35 desa yang didampingi oleh Burung Indonesia untuk melestarikan bentang alam Mbeliling secara berkelanjutan. Sebelumnya, di tahun 2009, 16 desa juga telah menyusun dokumen serupa yang telah berhasil dijalankan hingga saat ini.
Proses penyusunan dokumen ini, memakan waktu hingga dua tahun, diawali dengan pengumpulan data dan informasi terkait masalah dan potensi setiap desa dan sumber daya mereka. Lalu kemudian dialnjutkan dengan merumuskan gagasan dan aspirasi masyarakat, dan langkah terakhir barulah disusun butir-butir kesepakatan yang dituangkan dalam dokumen desa.
“Persoalan kelestarian hutan dan kawasan hutan tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor penting lain seperti kondisi sosial budaya, ekonomi, dan ekologi di luar kawasan hutan,” ungkap Team Leader Burung Indonesia Program Mbeliling, Tiburtius Hani dalam pernyataannya.
Faktor-faktor ini mempunyai hubungan sebab-akibat dengan kondisi kawasan dan sangat menentukan tinggi-rendahnya tekanan terhadap kawasan hutan. “Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat memiliki kearifan yang nyata untuk menjaga kelestarian hutan secara khusus maupun lingkungan secara umum seperti melakukan pelestarian mata air dengan ritual adat maupun aksi nyata dengan penanaman pohon di sekitar mata air,” tambah Hani.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga wilayah mereka lewat hukum adat, sudah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat adat secara langsung di berbagai wilayah di tanah air. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Folley, Misool di Raja Ampat, Papua dengan ritual sasi mereka untuk menjaga kelestarian sumber daya laut mereka. Aktivitas ini, memberikan hasil laut yang melimpah bagi masyarakat setempat dengan cara yang berkelanjutan.
Dalam acara buka sasi, atau mulainya masa mencari ikan di kawasan ini, para nelayan mulai menikmati hasil kerja keras dalam upaya pelestarian alam yang dimulai sejak tahun 2011 silam. Pada empat hari pertama buka sasi, para nelayan menikmati hasil tangkapan tripang senilai 50 juta rupiah. Satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat nelayan di Perairan Pemuteran di Bali Utara, yang sebelumnya seringkali mencari ikan dengan melakukan pemboman, kini beralih menjadi pelestari terumbu karang. Kini, masyarakat Pemuteran, adalah masyarakat yang sejahtera dan tidak lagi masuk kategori masyarakat miskin seperti yang dialami oleh mereka satu dekade silam.
Kembalinya terumbu karang sebagai rumah ikan di sekitar Pemuteran, membuat wisatawan kembali ke wilayah ini. Para petani yang sebelumnya hanya bekerja di ladang jagung yang hanya bisa tumbuh setahun sekali, kini beralih fungsi menjadi pekerja sektor pariwisata. Berbagai rumah penginapan, operator selam, penyewaan alat selam, penyewaan kapal, rumah makan, dan berbagai sektor pendukung wisata lainnya, kini mengubah wajah Pemuteran menjadi kawasan wisata kelas atas di Bali Utara.
Cerita sukses lain, juga dinikmati oleh orang-orang Dayak Wehea yang tinggal di desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kalimantan Timur. Lewat kesepakatan adat, mereka berubah dari perambah hutan dan penebang ilegal menjadi penjaga hutan adat. Kini, hutan adat Wehea seluas 38.000 hektar, adalah sebuah wilayah yang paling terjaga kondisinya, dan menjadi arena penelitian hutan tropis dan satwa di kawasan tropis yang paling menarik. Lewat kesadaran adat ini pula, Hutan Lindung Wehea kini semakin matang menuju sektor bisnis ekowisata.
Setiap tahun, ritual adat pesta panen Lom Plai selalu dihadiri ratusan wisatawan dan pecinta fotografi dari seluruh nusantara bahkan mancanegara. Setiap tahun pula, puluhan televisi nasional dan internasional masuk ke hutan adat milik suku Dayak Wehea untuk merekam berbagai kisah menarik dari balik upaya konservasi mereka. Upaya yang sudah memberikan mereka penghargaan konservasi Schooner Prize tahun 2009, dan Kalpataru bagi kepala adat Dayak Wehea, Ledjie Taq.
Bagaimana dengan pertambangan dan perkebunan yang selama ini digadang-gadang sebagai upaya terbaik untuk memperbaiki kondisi masyarakat? Dari pemberitaan Mongabay-Indonesia sebelumnya, konflik sosial ternyata lebih banyak mengiringi ekspansi bisnis. Dari sudut pandang pemerataan penghasilan, ekspansi bisnis eksplorasi alam pun ternyata tidak membawa banyak keuntungan bagi masyarakat setempat.
Berdasar catatan Walhi, kebijakan lingkungan yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR/DPRD yang didominasi oleh pengusaha yang terlibat ekstraktif sumber daya alam hingga saat ini masih kental dengan corak eksploratif, liberal, berorientasi pasar, mendorong penghancuran lingkungan hidup serta melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, dalam catatan Walhi Nasional 60 % kerusakan lingkungan disebabkan oleh pemerintah, 40 % pengusaha, 15 % masyarakat, 70 % pemerintah dan pengusaha dan 25 % kolaborasi semuanya.
Sebuah bukti, bahwa ekspansi bisnis tambang, perkebunan, dan eksploitasi alam bukan jawaban terbaik untuk menyejahterakan masyarakat adat. Namun sektor usaha yang berkeseimbangan antara ekologi dan ekonomi lokal, ternyata jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat adat.