Salah satu pekerjaan penting bagi lembaga baru, Badan Pengelola REDD+ yang dipimpin Heru Prasetyo, adalah menangkal virus korupsi. Sebab, Transparansi Internasional Indonesia (TII) telah mengidentifikasi setidaknya ada lima potensi korupsi dalam pelaksanaan proyek REDD+ ini.
Dedi Haryadi, Deputi Sekretaris Jendral TII, mengatakan, pertama, soal peraturan dan kebijakan. Ia berpotensi korupsi karena bisa saja dalam proses pengambilan kebijakan itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan, baik kepentingan birokrasi, politisi atau swasta. Hingga berisi kebijakan yang menguntungkan mereka, termasuk kemungkinan kelembagaan REDD+. “Kemungkinan mengkooptasi lembaga itu oleh kekuatan-kekuatan lain sangat mungkin terjadi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Minggu (22/12/13).
Menurut catatan TII, Indonesia jika bisa menurunkan deforestasi lima persen saja berpotensi menghasilkan pembayaran REDD+ US$765 juta per tahun. Bila penurunan 30 persen bisa menghasilkan US$4,5 miliar per tahun.
Dedi mengatakan, ada beberapa kementerian dikuasai kepentingan politik, seperti Kementerian Kehutanan, kelompok PAN, Kementerian Pertanian oleh PKS, Migas demokrat dan lain-lain. “Nanti jadi pertanyaan, Badan Pelaksana REDD+ ini dikooptasi siapa?” ucap Dedi.
Potensi korupsi kedua, berkaitan dengan arus keuangan dan ekonomi. Proses alokasi penganggaran bisa dipengaruhi faktor-faktor kepentingan lain. “Mereka yang mempunya akses kepada politik, pada kekuasaan sangat mungkin mendapat keuntungan dari proses penganggaran dana REDD+.”
Ketiga, ada di sektor implementasi. Dalam proses pengadaan barang dan jasa sangat mungkin terjadi korupsi. Keempat, dalam pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. “Dalam tahap ini sangat mungkin terjadi pemalsuan dan rekayasa data.”
Kelima , soal penegakan hukum. Saat ini, penegakan hukum dalam kasus kejahatan kehutanan sangat lemah jadi memungkinkan terjadi korupsi dalam hal ini.
Untuk mengatasi hal ini, TII menyarankan pemerintah melakukan beberapa hal, seperti memperbaiki relasi kekuasaan antara pemerintah, pebisnis dan masyarakat sipil.
Selama ini, hubungan ketiga sektor ini tak berimbang. Pemerintah dan penguasa terlalu kuat, sedang kelompok masyarakat sipil termasuk masyarakat adat cenderung lebih lemah. “Ini harus diperbaiki. Posisi mereka harus ditingkatkan agar bisa mendapatkan akses informasi lebih bagus, lalu peningkatan kemampuan berorganisasi.”
Kelompok masyarakat, termasuk media harus dilibatkan dalam proses kebijakan itu karena berkaitan dengan sistem informasi. Untuk itu, perlu memberikan amunisi kepada masyarakat supaya bisa lebih tahu dan mendapatkan akses informasi.
Bernadius Steni, Koordinator Program Perkumpulan HuMa, mengatakan, alokasi dana REDD+ harus diselidiki dengan betul. “Jangan sampai dana sangat besar itu justru masuk ke kantong partai politik tertentu. Ini penting mengingat tahun depan memasuki pemilu.”
Dana REDD+ cukup besar. UN-REDD and the World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) menyediakan dana US$9.2 juta. Ditambah donor bilateral termasuk Australia, yang memberikan kontribusi lebih dari US$100 juta. Disusul Jerman US$92,6 juta dan Norwegia US$30 juta yang digelontorkan dari komitmen US$1 miliar.