,

Singapura dan Malaysia Dituntut Bertanggung Jawab Terhadap Bencana Asap di Sumsel

Walhi Sumatera Selatan menuntut negara-negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia yang lebih dahulu meratifikasi AATHP (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) turut bertanggung jawab atas bencana asap di Sumatera Selatan. Caranya, dengan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesai yang di dalam konsesinya terdapat kebakaran dan titik api, seperti di konsensi Sinar Mas Group.

“Begitu banyak perusahaan di Indonesia, termasuk di Sumsel, yang kantor pusatnya berada di Singapura atau Malaysia. Pemerintah Singapura dan Malaysia pun tahu konsensi perusahaan tersebut saat ini ditemukan hotspot,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko,saat jumpa pers di Sekretariat Walhi Sumatera Selatan (Sumsel), Palembang, Jumat (19/09/2014).

Kemudian segera mencabut izin perusahaan yang lahannya terbakar karena hal ini membuktikan perusahaan tidak bisa merawat dan menjaga lahan dan konsesinya. Serta, segera memberikan lahan tersebut kepada masyarakat karena masyarakat lebih bisa menjaga lahan dan hutan dari kerusakan dengan arif dan bijaksana ketimbang perusahaan.

Logikanya, berdasarkan PP No 04 Tahun 2001, apabila terjadi kebakaran di lahan konsesi perusahaan maka yang bertanggung jawab adalah pihak perusahaan, terlepas siapa pelakunya.

“Selain itu, melalui perjanjian AATHP kami menuntut pemerintah melakukan penegakan hukum dengan menjerat korporasi, baik perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) dengan meminta ganti kerugian atas kerusakan dan segera melakukan pemulihan lingkungan hidup,” kata Hadi Jatmiko.

Selanjutnya, menuntut pemerintah menghentikan kebijakan ekspansi perkebunan dan HTI di Sumatera Selatan karena kebijakan tersebut merugikan lingkungan hidup, rakyat dan negara.

Sebaran Titik Panas Lahan Gambut. Sumber: Walhi Sumsel
Sebaran Titik Panas Lahan Gambut. Sumber: Walhi Sumsel

Adapun dasar berbagai tuntutan tersebut, kata Hadi, bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, dari Agustus hingga pertengahan September 2014, belum berhenti. Justru kian parah seiring dengan musim kemarau, yang menurut BMKG Sumsel akan berakhir paling cepat pada Oktober 2014.

Dijelaskan Hadi, bencana asap merupakan dampak dari buruknya tata kelola hutan dan lahan yang dipraktikkan pemerintah Sumsel, pemerintah kabupaten dan kota, berupa obral izin tanpa mengindahkan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.

Contoh, penguasaan lahan dan hutan yang timpang antara masyarakat dengan perusahaan. Grup Perusahaan Asian Pulp And Paper (APP) melalui 7 perusahaan yang bergerak di HTI menguasai setidaknya 792.135 hektar atau sekitar 47 persen dari luas hutan produksi tetap di Sumatera Selatan seluas 1.669.370 hektar.

Sedangkan penguasaan lahan di kawasan hutan yang diberikan pemerintah melalui skema pengelolaan hutan bersama masyarakat (hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan) seluas kurang lebih 32.000 hektar.

“Luas penguasaan hutan dan lahan oleh perusahaan perkebunan dan HTI berdampak munculnya bencana asap yang setiap tahunnya terus berulang. Berdasarkan data hotspot yang diterima Walhi Sumsel dari satelit Terra dan Aqua selama Agustus – 16 September 2014, dari 1173 hotspot, 169-nya berada di lahan perusahaan perkebunan, dan 531 berada didalam konsesi HTI,” katanya.

Ada pun hotspot di konsesi HTI tersebut, sebanyak 417 titik berada di wilayah konsesi HTI APP di atas lahan gambut.

Banyaknya hotspot di dalam konsesi HTI APP menunjukan pemerintah daerah maupun pusat melalui dinas kehutanan gagal menjaga kawasan hutan dan gambut dari kerusakan akibat kebakaran, dengan skema memberikan penguasaan kawasan hutan terhadap HTI.

Korbankan masyarakat adat

Berbagai penyataan dari pemerintah yang menyebutkan titik api dikarenakan aktivitas pertanian di pedesaan, yang merupakan masyarakat adat, dinilai sebagai upaya pembiasan persoalan.

“Itu upaya buat melindungi perusahaan, yang mengorbankan masyarakat adat. Apalagi pemerintah dan kepolisian lebih fokus pada pelaku pembakaran, bukan pada pihak perusahaan sebagai pemilik lahan yang harus bertanggungjawab,” kata Rustandi Adriansyah, ketua BPH AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Sumsel, Jumat (19/09/2014).

Dijelaskan Rustandi, kebakaran hutan sangat merugikan masyarakat adat. “Sebab kebakaran tersebut juga dapat mengancam lahan pertanian mereka,” katanya.

“Masyarakat adat memiliki pola sendiri dalam mengelola lahan pertanian, termasuk ketika membakar lahan. Mereka tidak akan membakar dalam area yang luas. Sebelum membakar, mereka membagi lahan yang dibatasi parit. Ukurannya per dua kapling. Tujuan parit ini mencegah kebakaran meluas dan menimbulkan asap yang banyak,” jelasnya.

Luasan konsensi APP. Sumber: Walhi Sumsel
Luasan konsensi APP. Sumber: Walhi Sumsel

Terus lakukan pemadaman

Hasanuddin dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Sumsel mengatakan pihaknya terus melakukan upaya pemadam kebakaran lahan di Sumsel. “Kami melakukan pemadaman melalui udara maupun darat,” katanya.

Melalui udara, pihaknya mengoperasikan tiga helikopter, yang bekerja dari pagi hingga sore. Begitu juga tim pemadam dari darat. “Kami juga dibantu peralatan dan personil dari pihak perusahaan,” kata Hasanuddin.

Sementara kepolisian turut membantu dengan melacak para pelaku pembakaran lahan. Misalnya beberapa hari lalu mereka menangkap dua orang yang diduga melakukan pembakaran lahan milik PTPN VII. Tapi pihak PTPN VII menyebutkan dua orang itu tengah berupaya memadamkan api.

Bagaimana dengan tentara? “Untuk saat ini tentara masih siaga, sebab kondisinya masih dapat diatasi,” kata Hasanuddin.

Pekan lalu, Komando Daerah Militer (Kodam) II Sriwijaya menyiagakan 1.500 personil untuk membantu memadamkan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di wilayah Sumatera Selatan. Ini dikatakan Panglima Kodam Sriwijaya Mayor Jenderal TNI Bambang Budi Waluyo.

Jelasnya, 1.500 personil tentara dan seluruh peralatan telah siap diberdayakan jika sewaktu-waktu diminta bantuan pemerintah untuk untuk mengatasi kabut asap. Termasuk pula diminta untuk melakukan hujan buatan.

Kebun tebu PTPN VII di Rayon II, Desa Burai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, yang terbakar. Foto: Gita Rolis
Kebun tebu PTPN VII di Rayon II, Desa Burai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, yang terbakar. Foto: Gita Rolis

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,