,

Setelah 10 Tahun, Siapkah Aceh Hadapi Tsunami?

Dua puluh enam Desember 2004. Hari itu, bak mimpi buruk bagi Aceh, Indonesia. Daerah ini luluh lantak terkena gempa dan tsunami dahsyat. Ratusan ribu jiwa manusia melayang, rumah-rumah hancur. Infrastruktur jalan maupun jembatan porak poranda. Itu sudah hampir 10 tahun berlalu.

Kini, Aceh sudah berbenah. Bangunan-bangunan hancur kembali dibangun. Namun, bagaimana kesiapan masyarakat Aceh menghadapi gempa dan tsunami?

Yulia Direskia, Psikolog Tsunami and Disater Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan, secara psikologi, masyarakat Aceh belum siap menghadapi jika bencana kembali melanda. Trauma gempa dan tsunami masih belum hilang dari masyarakat. “Ketika terjadi gempa, mereka panik dan tidak bisa mengendalikan diri,” katanya.

Dia mengatakan, dampak kepanikan masyarakat  ini, mereka kesulitan mengendalikan kerja otak. Mereka kalang kabut saat hendak menyelamatkan diri. Padahal, katanya, sangat penting saat evakuasi dari bencana tsunami, masyarakat bisa mengendalikan kepanikan. “Karena panik hanya menjadi bencana baru dan sulit berpikir.”

Menurut Yulia, ketika gempa terjadi, pikiran sebagian besar masyarakat Aceh kembali menerawang ke tsunami 2004. Bahwa ombak akan menggulung mereka. “Padahal jika mereka tidak panik, setelah gempa, warga memiliki waktu beberapa menit lari menyelamatkan diri. Karena panik, mereka tidak bisa berpikir untuk menyelamatkan diri.”

Untuk itu, katanya, salah satu yang harus dilakukan saat ini,  bagaimana mempersiapkan psikologi masyarakat menghadapi bencana dan tidak panik saat menyelamatkan diri. “Psikologi masyarakat sangat penting untuk mengurangi risiko bencana.”

Namun, berbeda dengan masyarakat di Kabupaten Simeulue, Aceh. Warga di sana sudah siap.  Mereka sangat paham menghadapi gempa maupun tsunami.

“Disini, jika gempa kuat, perempuan, orangtua dan anak-anak langsung melarikan diri ke tempat tinggi. Sejumlah pemuda bergerak ke pinggir laut untuk memantau air laut,”  kata Sumardi, tokoh masyarakat Simeulue.

Menurut dia, penyadaran hidup di kawasan rawan gempa dan tsunami telah diberikan sejak bayi di ayuan lewat nyanyian.

Said Rasul, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menyebutkan, Aceh salah satu daerah rawan bencana, baik geologis, hidrometeorologis juga bencana sosial. Untuk itu, perlu ada perencanaan dan persiapan baik.

“Pemerintah Aceh berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi risiko bencana, terutama gempa dan tsunami.”

Untuk mengurangi korban, kata Said, pemerintah membuat simulasi gempa dan tsunami disertai pembunyian sirene serentak di enam titik di daerah Banda Aceh dan Aceh Besar.

Kegiatan ini pada Minggu (26/10/14) pukul 09.45. Enam titik itu Gampong Lampulo, Blang Oi, Lam Awe, Khaju, Lhoknga dan di Kantor Gubernur Aceh. Simulasi melibatkan 300 peserta dari unsur masyarakat dan beberapa sekolah siaga bencana dan 100 peserta aparatur pemerintahan.

Simulasi ini, katanya, guna mempersiapkan masyarakat agar tidak panik saat menyelamatkan diri jika gempa dan tsunami. Juga melatih instansi pemerintah yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana, baik evaluasi dan memperbaiki prosedur operasi standar sekaligus ujicoba peralatan sistem peringatan dini gempa dan tsunami.

“Kita terus memperbaiki semua sistem termasuk jalur evakuasi hingga jika gempa dan tsunami, masyarakat dan pemerintah siap.”

Jalan di Kota Banda Aceh macet saat warga berlarian menyelamatkan diri saat gempa 8,5 SR menguncang Aceh pada 11 April 2012. Foto: Junaidi Hanafiah
Jalan di Kota Banda Aceh macet saat warga memadati jalanann, menggunaan kendaraan menyelamatkan diri saat gempa 8,5 SR menguncang Aceh pada 11 April 2012. Foto: Junaidi Hanafiah

Juliana, warga Lampulo, Banda Aceh, mengatakan, meskipun simulasi tsunami sering, namun, belum bisa melupakan tsunami pada 2004. “Saya masih tetap panik. Bencana itu merenggut anak dan ibu saya.”

Dia bersama warga Aceh lain, belum bisa menghapus duka. “Tidak mungkin bisa lupa, jika orang berteriak tsunami, saya dan anak-anak langsung pucat dan pikiran kembali terbayang musibah 2004.”

Tanda peringatan bermasalah

Setelah tsunami 2004, pemerintah membangun sekitar 50 unit sirine peringatan tsunami di seluruh daerah rawan di Indonesia. Dari jumlah ini, enam di Banda Aceh dan Aceh Besar. Namun, sebagian besar masyarakat Aceh tidak bisa berpegang pada sistem peringatan ini.

Sugiarto, masyarakat Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, yang tinggal di sekitar sirene, Minggu (16/11/14) menyebutkan, sirene tsunami belum bisa dijadikan patokan.

Pasalnya, sirene peringatan tsunami pernah dua kali bermasalah. Masyarakat tidak bisa percaya dengan peralatan itu. “Dua kali sirene bermasalah, pertama Juni 2007, tiba-tiba sirene tsunami berbunyi keras padahal tidak terjadi gempa,” ujar Sugiarto.

Mendengar sirene tsunami, masyarakat di Baitussalam dan Darussalam, Aceh Besar serta masyarakat Syiah Kuala, Banda Aceh panik.  Mereka berlari menjauh dari laut. “Kami sangat panik karena anak-anak sedang di sekolah. Banyak ibu-ibu dan anak-anak menjerit karena kehilangan ibu atau anak mereka.”

Setelah berhasil melarikan diri beberapa kilometer, baru diketahui, ternyata sirene berbunyi sendiri karena terjadi kesalahan sistem. “Bunyi setop setelah beberapa pemuda di Kajhu merusak sirene itu, mereka kecewa karena banyak orang panik.”

Sekitar 30 menit setelah sirene berbunyi, Pemerintah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh berusaha menenangkan warga. Karena trauma tsunami, warga tidak mengindahkan arahan pemerintah.

“Jalan semraut, polisi tidak bisa menenangkan warga, ada warga yang harus dibawa ke RS karena kecelakaan atau karena jantung mereka kumat,” cerita Sugiarto.

Kesalahan kembali terjadi saat gempa dengan kekuatan 8,5 SR 11 April 2012. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan gempa berpotensi tsunami, namun tidak satupun sirene berbunyi.

“Saat itu tak satupun sirene tsunami berbunyi, padahal dalam setiap simulasi, sembilan menit setelah gempa terjadi, jika berpotensi tsunami, sirene harusnya berbunyi,”  kata Nurdin, warga Blang Oi, Kota Banda Aceh.

Dari enam sirene di Aceh, saat itu, yang berbunyi hanya di kantor Gubernur Aceh. Itupun baru berbunyi setelah petugas menyalakan secara manual. “Karena kesalahan ini, warga sudah tidak percaya, jika gempa kuat, meskipun sirene tidak berbunyi, warga lansgung menyelamatkan diri ke tempat tinggi.”

Siswa menangis saat mengikuti simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah
Siswa menangis saat mengikuti simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,