BP REDD+ Dilebur, Pemerintah Sulawesi Tengah akan Lebih Serius Urus Tata Kelola Hutan

Lembaga boleh saja dilebur, berganti nama, atau juga merek. Tapi, yang harus kita pahami, substansi REDD+ dari prespektif kehutanan adalah pengelolaan hutan yang berkelanjutan. “Artinya, mau berubah nama atau bergabung dengan siapapun, proses perbaikan tata kelola hutan di Sulawesi Tengah harus tetap berjalan,” demikian penjelasan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Nahardi, terkait pembubaran BP REDD+ dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menurut Nahardi, memang, kehadiran BP REDD+ terkait penurunan emisi gas rumah kaca dan deforestasi sangat membantu. Selama ini, BP REDD+ banyak memfasilitasi penyiapan program. “Dengan dileburnya BP REDD+ maka pemerintah tentunya akan lebih serius dikarenakan sudah menjadi tugas Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK. Jadi, sudah saatnya melakukan aksi nyata dengan kerja,” ujarnya.

Pepi Saiful Jalal, Kepala Bidang Planologi Kehutanan Sulawesi Tengah mengungkapkan, dengan dileburnya BP REDD+ ke KLHK maka segala persoalan tata kelola hutan menjadi urusan wajib pemerintah.

“Kalau sebelumnya kan seperti ada tawaran dari Norwegia, jadi saya masih bisa memilih untuk tidak ikut. Tapi sekarang, karena ada perpres tentunya akan  menjadi ukuran kinerja pemerintah, terutama untuk keberhasilan KLHK,” ujar Pepi, Jumat (6/2/2015).

Pepi berharap program yang telah dikerjakan oleh BP REDD+ (Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut) dapat diteruskan oleh KLHK. “Sehingga, tidak menimbulkan kebingungan di daerah.”

Azmi Sirajudin, pegiat lingkungan dari Yayasan Merah Putih (YMP) yang juga terlibat dalam Pokja Pantau REDD+ mengatakan, kehadiran BP REDD + dalam soal spirit harus diacungi jempol. “Mestinya, bila Indonesia serius dengan penurunan emisi, harusnya ada undang-undang tentang penanganan perubahan iklim. Tidak hanya dengan Satgas kemudian lahir BP REDD+ yang semua payung hukumnya hanya dengan perpres. “Kita itu sangat pesimis dibandingkan dengan lembaga-lembaga kementerian negara yang lahir dengan undang undang,” ujar Azmi.

Azmi melanjutkan, apresiasi patut diberikan terhadap kinerja BP REDD+ meski usianya belum mencapai dua tahun. Kehadiran badan pengelola tersebut mampu meyakinkan berbagai pihak untuk tidak malu lagi membicarakan penyelamatan hutan Indonesia yang begitu penting terhadap kehidupan masyarakat global. “Semua pihak harus bekerja sama, dan pemerintah Sulawesi Tengah, yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan BP REDD+ sebelumnya, diharapkan lebih serius lagi dalam mengurus masalah tata kelola hutan dan lahan,” tegas Azmi.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,