, ,

Padang Meurabe, Bukan Padang Tandus Biasa yang Dilindungi Hukum Adat (Bagian – 1)

Orang Aceh menyebutnya Padang Meurabe. Sebuah bentang alam dengan lembah dan bukit-bukit yang nyaris tandus. Hanya ditumbuhi rumput, ilalang, semak, dan pohon-pohon perintis kecil yang tahan hidup di tanah pasir kering minus humus. Di kaki bukit gersang itu terkadang tumbuh hutan-hutan kecil yang menunjukkan di sana terselip tanah subur dan sumber air.

Salah satu Padang Meurabe terluas, sekitar 50 ribu hektar, berada di lembah Gunung Seulawah Agam yang terhampar antara Kabupaten Aceh Besar dan Pidie, Aceh. Meski gunung berapi ini aktif, namun ia sedang tidur pulas dalam dua ratus tahun terakhir.

Jejak vulkanologinya terlihat dari bebatuan coklat tua dan hitam berukuran mulai dari seukuran kelapa hingga sebesar gajah yang berserak di hamparan padang rumput. Masyarakat adat di Aceh Besar yang ada di bawah Mukim telah melindungi kawasan ini sejak berabad silam.

Kawasan ini sangat unik karena tempat warga melepas ternak peliharaan seperti sapi, kerbau, dan kambing tanpa harus takut hilang dicuri. Di Padang Meurabe yang bersisian dengan hutan-hutan kecil dan hutan rimba itu, kita bisa menemukan binatang liar seperti rusa, kijang, kancil, dan monyet. Tiap malam purnama, hewan-hewan ini keluar dari hutan sekitar untuk merumput atau memakan buah-buahan tertentu.

Dalam setahun, saat rumput Padang Meurabe berbunga, harimau sumatera juga keluar dari hutan rimba. Berburu mangsanya di tempat ini. Kelompok gajah di Aceh Besar juga menjadikan celah-celah subur di antara Padang Meurabe sebagai jalur lintasan tahunannya. Hamparan rumput segar menjadi surga bagi kehidupan binatang di sana. Itulah mengapa disebut Padang Meurabe atau padang pengembalaan.

Padang Meurabe terluas di Aceh Besar tersebut salah satunya berada di wilayah Kemukiman Lampanah Leungah, Kecamatan Seulimum. Kawasan kemukiman ini terdiri dari lima kampung dengan jumlah penduduk lebih dari empat ribu jiwa. Jaraknya, 54 kilometer arah timur Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Luas padang Meurabe di kemukiman ini sekitar 4.745 hektar, nyaris sama luas dengan hutan mukim yang terletak di kaki Gunung Seulawah Agam.

Di kemukiman ini, ada 12 titik Padang Meurabe yang tersebar di beberapa lokasi terpisah, masing-masing dicirikan dengan kekhasannya. Misalnya Kareung Uno, Padang Meurabe yang ditandai dengan banyaknya kijang, rusa, dan kancil karena bersisian dengan hutan. Atau, Padang Meurabe Cot Teungku yang dikenal karena banyak pohon jemblang (biasa disebut jamblang).

Beberapa ekor sapi sedang merumput di Padang Meurabe. Foto: Chik Rini
Beberapa ekor sapi sedang merumput di Padang Meurabe. Foto: Chik Rini

Tengah hari di penghujung Mei 2015 yang berudara panas, saya berjalan hingga puncak bukit untuk bisa melihat Blang Taleuk, salah satu Padang Meurabe terluas di Lampanah Leungah. Luasnya lebih dari 1.700 hektar. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan tanah luas yang membentang. Tidak terjangkau batasnya.

Hari itu saya ditemani oleh Imuen Mukim Lampanah Leungah, Sekretaris Mukim, dan seorang warga untuk melihat langsung bagaimana masyarakat adat disana melindungi Padang Meurabe. Mukim merupakan nama kelembagaan adat di Aceh, setingkat camat yang membawahi beberapa desa/kampung.

Dari atas bukit tempat kami berdiri, terhampar pesona alam mulai dari birunya laut Selat Malaka, perkampungan dengan kumpulan atap rumah, petak-petak sawah yang hijau, bukit-bukit dan lembah tandus, beberapa spot hutan kecil, hingga hutan rimba dengan pohon lebat di kaki Gunung Seulawah Agam.

Padang Meurabe menjadi batas alam antara hutan dan kebun warga. Warga bercocok tanam mangga, pisang, dan kemiri. Bukit yang kami lalui merupakan jalur warga pergi ke hutan. Padang meurabe menghalangi masyarakat untuk masuk hutan rimba karena mereka masih bisa memanfaatkan hutan-hutan kecil di sana seperti rotan dan madu.

Kalaupun warga masuk ke hutan rimba, mereka hanya mencari cendana saja. Namun, pada musim tertentu, warga diizinkan berburu rusa dan kijang dengan beberapa persyaratan yang ditetapkan Petua Uteun (pawang hutan) setempat. Sedangkan luas hutan rimba yang dikelola Mukim dihitung berdasarkan jarak satu hari perjalanan pulang pergi.

Khairul Amri, Imuem Mukim Lampanah Leungah, tampak bersemangat saat menunjukkan wilayah kelola mukim. Pada 2005, didampingi LSM Yayasan Rumpun Bambu Indonesia, mereka berhasil memetakan kembali wilayah kelola Mukim Lampanah Leungah mulai dari batas kawasan laut, pesisir pantai, sawah, kebun, padang meurabe, dan hutan rimba.

“Batas kemukiman sekarang sama dengan yang ditetapkan oleh orangtua kami zaman dulu. Ada batas alam sebagai tanda yang masih terlihat sampai sekarang seperti batu besar, sungai, dan alur,” kata Khairul Amri.

Imuem Mukim Lampanah Leungah, Khairul Amri di Padang Meurabe Blang Taleuk. Foto: Chik Rini
Imuem Mukim Lampanah Leungah, Khairul Amri, di Padang Meurabe Blang Taleuk. Foto: Chik Rini

Sebagai Imuem Mukim yang baru dipilih warga dua tahun lalu, Amri melanjutkan upaya Imuem Mukim sebelumnya untuk mengembalikan kewenangan mukim sebagai pemegang kekuasaan adat yang mengatur sendiri wilayah komunal mereka. Di banyak tempat di Aceh, kekuatan mukim sebagai masyarakat adat mulai tercerabut wewenangnya sejak pemberlakuan Undang-undang Pemerintah Daerah tahun 1974 yang menghapus kedudukan mukim dalam struktur Pemerintahan di Aceh.

Mukim mulai diakui kembali kedudukannya di Aceh sejak 2003 melalui Qanun Mukim yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Namun, pengakuan ini tidak mampu sepenuhnya mengembalikan kekuasaan mukim seperti dulu. Karena, secara administratif, mukim nyaris kehilangan haknya atas wilayah. Perannya digantikan oleh oleh camat dan keuchik (kepala kampung).

Kemukiman Lampanah Leungah adalah sedikit dari masyarakat adat di Aceh Besar yang mulai menguat lagi kelembagaan adatnya, meski kenyataannya masih sulit untuk dipraktikkan.

Mereka berupaya menghidupkan kembali peran perangkat-perangkat adat di bawah pimpinan Imuem Mukim. Ada panglima Laot  yang mengatur adat di laut, Keujrun Blang yang mengatur tali air di sawah, Petua Seunebok yang mengatur warga untuk membuka kebun, Petua Uteun yang mengatur pengelolaan hutan dan sumber daya alam, serta beberapa perangkat lain yang mengatur langsung kehidupan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,