Pemerintahan baru, sudah berkomitmen membentuk satuan tugas (satgas) masyarakat adat. Namun, hampir sembilan bulan era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, belum juga ada kejelasan kapan satgas bakal terbentuk. Sementara di lapangan, konflik-konflik lahan dan sumber daya alam yang menyebabkan kriminalisasi dan perampasan wilayah-wilayah adat terus terjadi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan, agar pemerintah jangan hanya berjanji terus. Komnas HAM juga menyatakan, urgensi pembentukan satgas ini.
“Jangan cuma janji melulu. Udah gak laku janji-janji. Kita sebenarnya berkomitmen menbantu. Ini menawarkan satgas karena kita tahu ada orang-orang yang bisa masuk disitu dan mau mengerjakan. Memang ingin membantu supaya Nawacita jalan,” kata Abdon Nababan, Sekjen AMAN usai diskusi soal Satgas Masyarakat Adat di Jakarta, Kamis (4/6/15).
Sejak awal tahun, katanya, pembahasan satgas ini sudah dilakukan. “Awalnya, katanya Maret atau April, supaya tak ada ruang terlalu besar dengan anggaran. Karena kalau terbentuk cepat-cepat gak ada duit. Sekarang Maret-April sudah lewat, masih belum juga,” ujar dia.
Dia menagatakan, usulan draf satgas ini ada tiga, dari AMAN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BP REDD+ (sebelum bubar). Draf ini, kata Abdon, secara subtansi tak jauh beda, hanya dua usulan selain AMAN lebih birokratis.
Draf usulan AMAN, katanya, Presiden langsung supaya bisa memerintahkan ke kementerian-kementerian. “Jangan keluar masuk menteri lagi. Kan metode itu sudah gagal di era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) lalu. Bikin satgas tapi seluruh kementerian ada di situ, ketua Presiden. Gagal.”
Orang-orang yang duduk di satgas itupun, kata Abdon, hendaknya, dari luar birokrasi yang selama ini sudah bekerja minimal memikirkan masalah ini cukup lama. “Jadi, kala masuk ke kantor Presiden dia mengerti kebijakan apa. Tak harus baca buku dulu. AMAN tak mau lagi pejabat-pejabat yang tak penting. Jadi memang satgas orang kerja. Non PNS, tetapi akademisi atau praktisi,” ujar dia.
Dari tiga draf itu, katanya, dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu. Namun, sampai saat ini Abdon belum tahu isi draf terakhir. Andi Widjayanto, Menteri Sekretaris Kabinet, kata Abdon, meminta AMAN bertemu Jokowi terlebih dahulu.
“Kapan? Ya atur jadwalnya. Kita sudah mau ketemu. Kita sudah kirimkan penjelasan-penjelasan ke Presiden. Sudah beberapa bulan lalu. Kan mereka yang atur. Bukan AMAN? Kita tanpa ketemu Presiden keppres keluar, sudah bagus. Tetapi kalau ketemu Presiden, dulu, atur sudah.”
AMAN mendesak, kejelasan satgas ini karena sudah sangat urgen. Di lapangan, hingga kini, kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi kala mereka berupaya mempertahankan wilayah atau hutan adat. “Ini bukan hanya kasus. Ini soal masa depan republik. Kita mau mengatakan, ini skala masalah gak ecek-ecek.”
AMAN dan beberapa organisasi masyarakat sipil, katanya, belum lama ini bertemu dengan jajaran sekretaris kabinet. “Mereka bilang sedang disiapkan dan segera dipertemukan dengan Presiden. Kalau bisa Presiden mau mengumumkan 9 Agustus, pada Hari Masyarakat Adat. Tapi itu kan katanya….,” ucap Abdon.
Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, pada kesempatan itu memaparkan berbagai kasus konflik dan kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat. Dia menceritakan, soal temuan-temuan dalam proses Inkuiri Nasional Komnas HAM, terhadap 40 kasus pelanggaran HAM yang menimpa masyakarat adat di kawasan hutan di berbagai pulau.
Komnas HAM, katanya, merekomendasikan beberapa hal, yakni, pembaruan peraturan perundang-undangan, pembaruan kebijakan, remedi dan kelembagaan.
Dengan hasil inkuiri ini, makin terlihat betapa urgen pembentukan Satgas Masyarakat Adat ini. Dalam, rincian rekomendasi Komnas HAM, poin kelembagaan, menyebutkan Presiden perlu segera membentuk lembaga independen yang diberikan mandat khusus buat menangani berbagai soal terkait masyarakat adat. Kerja satgas, kata Sandra, hanya sementara, sekitar satu atau dua tahu. Ia sebagai mandat membangun pondasi kerja.
“Satgas ini diberi mandat khusus Presiden buat siapkan kebiijakan yang mengurus pemenuhan hak masyarakat adat, mempercepat RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan lain-lain,” katanya.
Kriminalisasi, katanya, tak akan terjadi jika masyarakat adat diakui, dihormati dan dipenuhi. Jadi, katanya, kriminalisasi harus dihentikan. “Satgas penting karena tupoksi pengurusan masyarakat adat tersebar. Dari Kementerian Sosial, KLHK, Kemendgri, dan laina-lain. Ada sekitar 14 kementerian, belum lagi pihak lain seperti TNI, Polri.”
Menurut dia, apa yang terjadi dan menimpa masyarakat adat saat ini sebenarnya masih warisan rezim otoriter. “Kalau ini dibiarkan berarti membiarkan pola kerja otoriter tetap berlangsung.” Padahal, katanya, apa yang ditawarkan Nawacita, AMAN dan Komnas HAM, merupakan pendekatan hak (right base).
Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru, mengatakan, satgas ini titik masuk pertama untuk melakukan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat. “Mari ajak Presiden, desak agar satgas dibentuk sesuai konsep.”