, , ,

Soal Reklamasi Teluk Jakarta, Berikut Tanggapan Kementerian Lingkungan

Reklamasi Teluk Jakarta sejak awal sudah menuai banyak kritikan terutama dari nelayan dan pegiat lingkungan. Proyek reklamasi yang akan menciptakan 17 pulau baru atau lahan tambahan sekitar 5.200 hektar ini dinilai bakal bikin susah nelayan dan berpotensi memunculkan beragam masalah lingkungan.

Kini, isu ini menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan termasuk di sosial media media pasca anggota DPRD Jakarta, Sanusi, tertangkap KPK terkait kasus dugaan suap pembahasan rencana peraturan daerah reklamasi ini.

Sejak awal beberapa aturan terkait menjadi sorotan  dari soal perizinan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sampai izin lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananpun angkat bicara.

San Avri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan mengatakan, proyek reklamasi Teluk Jakarta, menggunakan Amdal tunggal alias per pulau. KLHK menilai, sebaiknya proyek ini menggunakan Amdal regional yang mengkaji wilayah sebagai satu ekosistem, terlebih melibatkan provinsi lain, seperti Banten dan Jawa Barat.”Menurut kami, sebaiknya Amdal regional bukan Amdal tunggal,” katanya di Jakarta, Kamis (7/4/16).

Dari rencana 17 pulau buatan di Teluk Jakarta, baru empat memiliki Amdal. Izin lingkungan juga sudah keluar. Semua izin-izin ini dikeluarkan Badan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta (BLHD).

Penyusunan Amdal satu per satu pulau ini, katanya, menyebabkan sulit melihat dampak secara keseluruhan. ”Kalau main di Amdal tunggal, itu sulit. Satu Amdal hanya bicara pulau itu saja.”

KLHK, katanya, melakukan analisis dampak komulatif yang akan berpotensi muncul kala pakai Amdal tunggal, misal, terkait dampak sedimentasi dari 13 sungai, sampai kabel laut (PLTU Muara Karang), maupun sumber air bersih. “Ini persoalan kalo gak pakai Amdal regional.”

Dia mencontohkan, PT Kapuk Naga Indah, akan mengerjakan tiga pulau. KLHK mencatat ada banyak persoalan, seperti limpasan sedimentasi, sampai back water. “Sedimentasi pengaruhi sentra-sentra perikanan Teluk Jakarta, akan terjadi penurunan kualitas air secara umum di sepanjang perairan pantai dan reklamasi. Kita sudah petakan.”

Nelayan Teluk Jakarta, salah satu yang bakal terdampak kala reklamasi terlaksana. Apakah pemerintah sudah menjamin kehidupan mereka tak akan terganggu kala reklamasi ada? Foto: Sapariah Saturi
Nelayan Teluk Jakarta, salah satu yang bakal terdampak kala reklamasi terlaksana. Apakah pemerintah sudah menjamin kehidupan mereka tak akan terganggu kala reklamasi ada? Foto: Sapariah Saturi

Meskipun begitu, kata Awang, Amdal tunggal tak menyalahi aturan tetapi yang menjadi masalah dampak komulatif itu. “Jadi sebaiknya (Amdal) regional.”

Dia mengusulkan, bahasan reklamasi Teluk Jakarta termasuk Amdal ini dikaitkan langsung dengan program National Capital Intergrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul raksasa lepas pantai (giant sea wall). Hingga bisa melihat secara utuh.

“Kalau ini, saya rasa, KLHK akan mulai lagi dari awal. Sekaligus lihat ekosistem. Kekurangan-kekurangan buka lagi dan lihat mana yang paling baik, termasuk nelayan.”

Mengenai dampak lingkungan, sosial, ekonomi terhadap nelayan, katanya, seharusnya ada detil dalam rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL/RPL).

“Apakah persoalan nelayan ditulis baik dalam RPL/RKL. KLHK akan cek itu. Posisi kami lihat Amdal, lihat metode benar atau gak? Kami punya pendapat akan berikan pada BLHD. Kita beritahu. Tugas BLHD, memakai masukan KLHK buat memantau. Koordinasi dengan BLHD Jakarta bagus,” katanya.

Dokumen RPL/RPL ini dinamis. “Jika ada sesuatu berubah, ubah RLK/RPL.”

Pintu masuk

Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, KLHK bisa masuk menghentikan proyek pembangunan jika ada terjadi pelanggaran serius. “Tindakan melanggar hukum yang sebabkan pencemaran lingkungan hidup dan timbulkan keresahan masyarakat,” katanya. Hal ini, termaktub dalam Padal 73 UU UU Nomor 32 Tahun 2009.

Soal penolakan pemerintah pusat terhadap proyek reklamasi Jakarta ini pernah terjadi pada awal 2000-an. Pada 2003, kata Ilyas, Kementerian Lingkungan Hidup menolak reklamasi Teluk Jakarta dengan beberapa pertimbangan, antara lain, reklamasi mengancam keragamanhayati, asal tanah reklamasi tak jelas (kala itu, pemerintah Jakarta tak bisa menjelaskan asal tanah dari mana). Lalu, ada PLTU, bagaimana desain penanganan masalah air (tak ada jawaban darimana asal air tawar), dan reklamasi bisa perluas banjir Kakarta. Kala itu, rencana reklamasi sepanjang 30 km x 1 km.

Penolakan ini muncul dengan keluar Keputusan Menteri (Kepmen) No 14/2003 yang menilai rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara tak layak. Para pengembang beraksi dengan mengajukan gugatan hukum. Pada pengadilan tingkat pertama dan tinggi, para pengembang menang. KLH kasasi dan menang pada 2009. Reklamasi Teluk Jakarta, tak layak.

Pengembang mengajukan peninjauan kembali (PK). “Pada 2011 putusan Mahkamah Agung berbalik. PK mereka diterima. (Putusan MA), yang menetapkan penghentian reklamasi bukan menteri harus presiden. Kita kalah.”

Alhasil, reklamasi kembali jalan. “Setelah 2011, mulai diteruskan izin oleh (Gubernur) Fauzi Bowo. Ini di luar kontrol Lingkungan Hidup,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,