, ,

Menikmati Hasil Laut dari Aceh (Bagian 5)

Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipimpin perempuan tangguh Susi Pudjiastuti, berbagai terobosan sudah diterapkan. Dari penegakkan kebijakan illegal, unreported, unregulated (IUU) Fishing hingga pelarangan beroperasinya kapal-kapal asing di lautan Indonesia, dan termasuk juga penerapan peraturan menteri (Permen) KP yang menuai kontroversi pro dan kontra.

Semua kebijakan itu berhasil dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan menghasilkan implementasi positif dan negatif. Mongabay Indonesia pada tulisan ini akan membahas kebijakan yang sudah dibuat Susi Pudjiastuti dan mencari tahu sejauh mana kebijakan tersebut berdampak positif atau negatif.

Dalam tulisan berseri ini, Mongabay Indonesia  akan menceritakan industri perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh, terutama di Kota Sabang  yang ada di Pulau Weh dan Kota Banda Aceh yang berlokasi di Pulau Sumatera. Berikut adalah tulisan kelima yang disajikan oleh penulis M. Ambari.

Sedangkan untuk tulisan lain, tautannya bisa dilihat di tulisan pertama, tulisan kedua, tulisan ketiga dan tulisan keempat.

********

Kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi Pudjiastuti dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, menuai banyak kontroversi di berbagai daerah di Indonesia. Namun tidak dengan di Aceh. Kebijakan yang dibuat pucuk pimpinan KKP itu justru bisa bersinergi dengan kebijakan lokal yang sudah berjalan turun temurun.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Program dan Pelaporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Teuku Nurmahdi. Menurut  dia, sebelum ada kebijakan dari Menteri Susi Pudjiastuti, nelayan di Aceh sudah terbiasa menerapkan kebijakan lokal yang dipimpin Panglima Laot di masing-masing wilayah pantai.

“Selama kebijakan bu Susi diberlakukan di sini, kita mendapat banyak berkah positif. Salah satunya, adalah kebijakan soal illegal fishing. Sejak ada kebijakan tersebut, laut di sini lebih tertata lagi,” ucap dia.

Teuku mengungkapkan, sejak kebijakan IUU Fishing ditegakkan di wilayah perairan Aceh, maka sejak saat itu ketersediaan ikan di laut secara perlahan mulai meningkat. Bahkan, setelah dua tahun berjalan, nelayan kini sudah bisa melaut dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai.

“Bahkan, ada satu kawasan di teluk (Aceh) yang sekarang ketersediaan ikannya sangat banyak. Padahal, sebelum ada kebijakan IUU Fishing, ikan di situ tidak ada. Sekarang nelayan jadi bisa menangkap ikan di situ,” jelas dia.

Kata Teuku, sebelum ada kebijakan, nelayan harus mencari ikan hingga ke laut lepas di kisaran jarak 7-8 mil dari bibir pantai dengan menggunakan kapal kecil berukuran 1-2 gros ton (GT). Tapi setelah ada kebijakan, kebiasaan tersebut berubah, karena ikan sudah semakin mudah didapatkan dengan jarak yang dekat dari bibir pantai.

Adanya dampak positif tersebut, menurut Teuku, tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga adat laut di Aceh yang sudah sejak lama ikut mengatur aktivitas nelayan di laut. Lembaga yang dipimpin Panglima Laot itu, dinilai memberi andil signifikan untuk keberlangsungan perikanan dan kelautan di wilayah Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Alat Tangkap Dilarang

Meski sudah bisa bersinergi, namun Teuku menyebutkan bahwa saat berbagai kebijakan dari Menteri Susi diberlakukan, tidak sedikit di antara nelayan ada yang menolaknya. Hal itu, karena kebijakan yang diberlakukan dinilai sudah merugikan nelayan. Namun, itu tidak berlangsung lama karena nelayan akhirya bisa menerima.

“Lagi-lagi, itu semua karena pengaruh Panglima Laot. Kharisma mereka sangat bagus di mata nelayan. Jadi, apa kata Panglima Laot, pasti akan dilaksanakan dan diikuti,” tutur dia.

Teuku mencontohkan, di antara kebijakan yang sempat mendapat penolakan itu, adalah pemberlakukan Permen No.2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Alat Penangkapan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Kebetulan, kata dia, di wilayah Meulaboh, masih banyak nelayan yang menggunakan pukat tarik.

Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di  Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016).  Foto : M Ambari
Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari

Tetapi, kata Teuku, meski sempat ada penolakan, saat itu pihaknya bersama lembaga adat laut melakukan sosialisasi dan hasilnya sudah bisa ditebak, bahwa nelayan bisa menerimanya. Saat itu, nelayan akhirnya siap mengganti mata pancing alat tangkap menjadi ukuran lebih besar di atas 2 cm.

“Jadi, di Meulaboh itu, nelayan sebagian besar menggunakan pukat (tarik) pantai. Itu jaring yang ditarik ke pantai. Namun, ukuran mata pancingnya terlalu kecil dan masuk dalam pelarangan karena bisa membawa ikan kecil saat di laut,” tutur dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Jaringan Koalisi untuk Laut Aceh (KUALA) Rahmi Fajri menjelaskan, Provinsi Aceh sejak lama memiliki kekhasan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Salah satunya, karena Aceh memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur wilayahnya setelah diberi otonomi khusus.

Karena memiliki kekhasan yang bisa menjadi kearifan lokal, Fajri mengungkapkan, segala kebijakan yang dibuat Pemerintah Pusat harus bisa searah dengan kebijakan lokal. Kebetulan, kata dia, di Aceh sendiri sudah memiliki peraturan berupa Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Di dalamnya diatur segala hal, termasuk sektor kelautan dan perikanan.

“Kalau saya melihat, memang ada keselarasan, tetapi, masih ada kendala. Salah satunya, adalah pelarangan alat tangkap pukat pantai. Walau ada yang sudah mengganti dengan ramah lingkungan, tapi tidak sedikit yang tidak mau mengikutinya,” ucap dia.

Fajri menuturkan, ada di antara nelayan bahkan kini memilih beralih profesi karena merasa tidak mau mengikuti kebijakan pemerintah. Karena, kalaupun alat tangkap diganti, itu tidak menjamin tangkapan ikan sama seperti sebelumnya.

“Apalagi, nelayan menggunakan alat tangkap itu sudah turun temurun. Jadi sudah dari dulu. Harus ada solusi dari Pemerintah,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,