, , ,

Cerita Orang Namo Merawat Hutan dan Mengelola Rotan Lestari

“Kita Orang Namo sudah hidup turun temurun di sini. Kebiasaan kita setelah kerja sawah, menunggu panen, baru masuk hutan ambil rotan.” Begitu ungkapan Jordi, Ketua Masyarakat Adat Namo, di  Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, kala diskusi dengan rombongan jurnalis disana.

Desa Namo, bisa dibilang kolaborasi alam hutan, lembah dan perbukitan. Desa di dataran tinggi, dihuni masyarakat lokal Kulawi yang hidup beririsan langsung dengan hutan dari generasi ke generasi. Bagian Timur berbatasan langsung Taman Nasional Lore Lindu dan Barat adalah hutan lindung.

Rumah penduduk sebagian besar permanen dengan tembok beton dan atap seng. Kegiatan masyarakat di antara lembah, sungai dikelilingi perbukitan. Sebagian besar rumah di pinggir jalan trans beraspal yang menghubungkan Gimpu Kulawi Selatan dan Kota Palu. Ke Desa Namo, perlu waktu sekitar tiga jam dari Palu mengendarai motor atau mobil.

Penghuni Desa Namo ada 374 keluarga.  Mayoritas penduduk petani pekebun dan pencari rotan serta damar. Warga juga bertani sawah seluas 27 hektar di Dusun III.  Desa Namo terbagi dalam empat dusun.

 

Desa Namo, dengan sekeliling hutan dan pegunungan. Foto: Andika Dhika
Desa Namo, dengan sekeliling hutan dan pegunungan. Foto: Andika Dhika

Kopi dan kakao

Sekretaris Desa Namo, Rusdin, mengatakan, tak ada payung hukum pengelolaan lahan dan hutan menjadi tantangan bagi warga Namo. Ia sekaligus membatasi ruang gerak mereka sebagai petani mengelola hutan.

Ruang kelola warga Namo terbatas, memaksa sebagian memilih ikut transmigrasi lokal di Kecamatan Lindu periode 1970-an. Aktivitas masyarakat Namo masuk hutan berkurang sejak 1980-an.

Masa itu, masyarakat mulai membudidayakan kopi di sekitar pemukiman dan kebun. “Kopi memiliki ikatan sejarah dengan Desa Namo karena sebagian besar orang Kulawi peminum kopi,” katanya.

Luas perkebunan kopi di Namo sekitar 400 hektar. Era 1990-an masyarakat beralih dan menebang sebagian besar kopi untuk kakao. Booming kakao berharga tinggi, memacu minat masyarakat budidaya dan mengabaikan kopi. “Selang 10 tahun, muncul beragam penyakit kakao. Saat bersamaan harga kopi naik, kakao merosot karena penyakit.”

Budidaya kopi dan kakao di dataran tinggi Namo, kian bersaing setelah harga kopi menanjak. Bagi petani Namo, merawat kakao lebih rumit ketimbang kopi, terutama soal hama. Pengalaman mereka menemukan, hama penyakit kakao lebih banyak, dibanding kopi.

Kini, luas kebun kopi Desa Namo sekitar 20 hektar jenis robusta, sebagian tanaman baru,  ada kebun lama.

Cengkih, pernah ada era 1970-an walau skala kecil. Kehancuran kakao memaksa warga kembali melirik sumber daya hutan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.

 

Rotan produksi Desa Namo, selain dijual mentah juga dibuat beragam kerajinan tangan. Foto: Andika Dhika
Rotan produksi Desa Namo, selain dijual mentah juga dibuat beragam kerajinan tangan. Foto: Andika Dhika

Hutan Desa dan hukum adat

Sejak 2011, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan,  Desa Namo ada hutan desa, dengan wilayah kelola 490 hektar. Ia bagian daerah aliran sungai (DAS) Palu, sub DAS Miu. Usulan hutan desa pada 2010, difasilitasi Yayasan Jambata.

Direktur Yayasan Jambata,  organisasi yang aktif mendampingi masyarakat Namo, Zarlif mengatakan, dari 490 hektar, 400 hektar zona lindung, sisanya 90 hektar fungsi pemanfaatan.

Rencana kerja hutan Desa Namo selama 35 tahun sudah mendapat pengesahan Gubernur Sulteng, 2014-2049. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) sudah terbentuk, diketuai Basri.  Produk utama dari hutan desa adalah rotan dan bambu.

Rusdin, mengatakan, pengelolaan hutan berkelanjutan bagi negara tak terhubung dengan konsep di masyarakat. Hutan, katanya, dipandang daerah untuk mencari sumber penghidupan petani. Pengelolaan hutan pada aturan keadatan.

Ketua LPHD, Basri, mengatakan, LPHD telah menyusun program 35 tahun pengeloaan hutan desa lestari. Konsep dan pengaturan dipadukan antara sanksi adat, dan aturan perundang-undangan.

”Kami punya aturan, siapa masuk hutan tanpa sepengetahuan LPHD, akan diberikan sanksi adat,” katanya.

Menurut Rusdin, hutan desa ini masuk kawasan lindung. Jadi, dalam pengelolaan skema hutan desa dipadukan dengan pengelolaan adat. Secara adat,  dalam pengelolaan hutan kala ada sengketa desa ditangani di lobo (balai pertemuan).

Dalam aturan adat itu ada hutan terlarang,  merupakan kawasan terlindungi. Hanya bisa diolah melalui persetujuan lembaga adat, lembaga pengelola hutan desa, dan pengurus desa. “Jika ada melanggar aturan yang telah disepakati akan kena sanksi adat atau givu.”

Ketua Adat Desa Namo Jordi, mengatakan, ada sanksi pelanggar disebut hampole hangu. Sanksi berupa denda atau ganti rugi uang Rp1 juta. Denda juga bisa piring, sarung atau kerbau, tergantung tingkat pelanggaran.

“Sanksi berat ketika pelanggar tak datang memenuhi panggilan lembaga adat atas kejadian tertentu,” katanya.

Aturan utama dalam pengelolaan hutan desa,  katanya, tak boleh menebang pohon selain untuk kebutuhan rumah tangga. Setiap warga desa hanya boleh mengambil dengan cara manual, sesuai anjuran kehutanan. “Ini demi keberlanjutan hutan desa.”

Hutan desa terbagi ke dalam beberapa pengelompokan zona pemanfaatan, terdiri dari hutan produksi rotan dan kayu kebutuhan rumah tangga, dan zona budidaya untuk kebun-kebun komoditas.

Rotan produksi warga, dikumpulkan, lalu ditimbang untuk dijual. Foto: Andika Dhika
Rotan produksi warga, dikumpulkan, lalu ditimbang untuk dijual. Foto: Andika Dhika

 

Rotan lestari

Guna mendorong rotan lestari, organisasi kelompok pengelolaan hutanpun dibentuk, dengan nama Kelompok Pengelolaan Hutan Lestari (ROLES).

Sujadi Sekretaris ROLES mengatakan, kelompok ini bertujuan mewujudkan hutan rotan berkelanjutan. Juga mendorong pengelolaan rotan buat kerajinan.

Produksi rotan dari Februari-Mei 2016, sebanyak 29, 380 ton dengan jenis batang, tohiti, dan lambang. Izin pengelolaan rotan setiap tahun diajukan per orang ke Dinas Kehutanan Sigi dengan koordinator unit pengelola ROLES Namo. Pada 2015-2016,  keluar izin IPHHBK Hutan Desa 10 izin dengan kapasitas masing-masing 20 ton. Jadi total produksi 2016 sebanyak 200 ton.

Inisiasi uji coba chain of Custody (CoC) rotan lestari (ROLES) oleh Non Timber Forest Product–Exchange Program Indonesia (NTFP–EP Indonesia) bekerja sama dengan perkumpulan IMUNITAs, industri pengolahan di Palu (CV Fajar Baru) dan UKM mebel di Sukoharjo (INORI). Inisiatif ini sejak awal 2016.

Masing-masing anggota ROLES per minggu dapat memanen rotan  satu ton dengan pengiriman rotan ke industri biasa setiap dua minggu sekali, tetapi sangat tergantung cuaca dan kondisi jalan di Kecamatan Kulawi.

Dengan skema rotan lestari ini, terjadi peningkatan harga cukup signifikan. Sebelumnya, harga rata-rata rotan Desa Namo hanya Rp900-Rp1.000 perkg, setelah skema ROLES, Rp1.300-Rp1.400.

Menurut Sujadi, ROLES punya aturan khusus panen rotan, misal, berdasarkan blok atau lokasi tebang. Perotan tak boleh menebang kayu dan mengambil rotan berumur muda.

ROLES, katanya,  juga membagi lokasi pengambilan rotan dalam beberapa tempat, yakni, kalapini, raramanga, vatumorati, viutu, vangavuntu, dan loka. Lokasi pengambilan rotan diatur berpindah dari lokasi satu ke yang lain, sesuai kesepakatan waktu panen.

Jarak antar lokasi pengumpulan dan pengambilan rotan di hutan sekitar tujuh kilometer. Dari hutan, rotan ditarik dan ditampung dekat Sungai Mili. Setelah semua rotan terkumpul diangkut menggunakan ojek dengan ongkos Rp35.000 per sekali jalan.

Setiap ojek rata-rata mengangkut rotan seberat 100 kilogram. Per hari setiap pengendara ojek, jika cuaca baik, dapat hilir mudik tiga sampai 12 kali pengangkutan.

Tak hanya dijual mentah, hasil rotan hutan desa, kata Basri, juga  dibuat kerajinan anyaman oleh warga, seperti karanci (kerangjang), teko, pangkoloa (ransel rotan).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,