Cengal, Wajah Buram Kehidupan di Pesisir Timur Sumatera Selatan (Bagian-3/selesai)

Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), berada di pesisir timur Sumatera Selatan. Di lokasi ini baru-baru ditemukan berbagai artefak Sriwijaya yang tersingkap dari lahan gambut yang terbakar. Selama ini masyarakat Cengal dikenal sebagai perambah hutan. Bagaimana kehidupan mereka sebenarnya? Artikel ini merupakan tulisan ketiga, tulisan sebelumnya dapat dibaca pada tautan ini.

Perjalanan darat mulai terasa berat ketika meninggalkan Kayuagung—ibukota Kabupaten OKI—menuju Cengal, melalui Jalan Sepucuk. Jalan Sepucuk sepanjang 37,9 kilometer menghubungkan Kayuagung dengan Pedamaran Timur membelah hamparan lahan gambut. Karena jalan dipenuhi lubang dan licin—masih dalam pengerjaan—perjalanan membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.

Yang menghibur, hamparan gambut yang selama ini terbakar tampak mulai dihijaukan rumputan liar dan pohon gelam. Tidak ada aktifitas persawahan sonor maupun perkebunan sawit di lahan terbakar tersebut. Beberapa tower pemantau kebakaran berdiri tegak di hamparan lahan gambut tersebut. Bongkahan kayu yang sudah mengarang akibat terbakar pada tahun 2015 lalu terendam genangan air.

Kondiisi jalan dari Pedamaran Timur ke Cengal kian bertambah berat. Beberapa kali bertemu kubangan lumpur di tengah jalan. Bahkan ada lubang yang dalamnya mencapai setengah meter, sehingga tidak semua kendaraan dapat melaluinya. Sepanjang perjalanan, perkebunan sawit berjajar di kanan-kiri. Tidak ditemukan kebun campuran atau hutan.

Hingga tahun 1920-an, wilayah Cengal yang terbagi rimba hutan tropis dan hamparan rawa gambut yang luas, yang dipenuhi beragam jenis tanaman dan satwa. Dapat dibayangkan saat itu wilayah Cengal merupakan koridor gajah, badak, harimau sumatera, beragam jenis ikan air tawar, dan lainnya. Namun, sejak pengembangan perkebunan karet dan usaha perkayuan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda, hutan tropis di Cengal berangsur habis.

Selama 18 tahun terakhir, Cengal yang luasnya sekitar 2.226,41 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 43 ribu, menjadi penyumbang kebakaran lahan gambut di Kabupaten OKI. Sebagian lahan gambut yang terbakar menjadi target restorasi gambut oleh pemerintah.

Memasuki Kecamatan Cengal, perkebunan sawit berubah menjadi perkebunan karet. Perkebunan karet ini selain milik perusahaan, juga masyarakat.  Hampir setiap dusun juga ditemukan rumah walet, yang dicat hitam dan ukuran jendela dan pintunya yang kecil.

Selain persoalan jalan, masyarakat Cengal juga belum mendapatkan fasilitas penerangan listrik dari negara. Penerangan listrik didapatkan masyarakat dari jaringan listrik menggunakan generator yang diusahakan sejumlah warga. Itu pun tetap menyiapkan generator kecil di rumah pengusaha listrik tersebut tidak mendapatkan pasokan BBM.

Pembuatan cetak sawah di lahan gambut Desa Sido Mulyo, Kecamatan Sungai Menang, OKI. Foto Taufik Wijaya
Pembuatan cetak sawah di lahan gambut Desa Sido Mulyo, Kecamatan Sungai Menang, OKI. Foto Taufik Wijaya

Mencari kayu, kebun karet  dan rumah walet

“Buyut kami termasuk orang pertama yang membuka rimba di Cengal. Dia menetap bersama sejumlah kawannya di Talang Rimba, yang merupakan dusun tertua di Cengal. Saat itu buyut kami membuka rimba untuk mencari kayu dan berkebun karet,” kata Ismail Sadam (50), warga Desa SP 3 Talang Makmur, Kecamatan Sungai Menang, yang dilahirkan dan dibesarkan di Dusun Talang Rimba, Kamis (12/05/2016).

Menurut Ismail, berdasarkan tuturan keluarganya, saat buyutnya datang ditemukan sejumlah warga menetap di wilayah gambut. Tidak ada yang menetap di daerah daratan. Daratan digunakan untuk berkebun tanaman kehidupan seperti kelapa, pinang, aren, dan lainnya. Hutan yang lebih jauh ke darat, yang disebut rimba, tidak pernah diganggu.

Lalu, buyutnya bersama beberapa temannya dari Tulungselapan, Pedamaran, dan Sirah Pulau Padang, membuka rimba yang banyak ditumbuhi pohon Cengal. Lokasi tersebut kemudian ditanami pohon karet yang bibitnya disediakan pemerintah kolonial Belanda, dan kayu-kayunya dibawa ke Palembang atau Batavia. “Karena itu pula mereka menyebutnya kebun Cengal, yang akhirnya berkembang menjadi dusun yang ramai, lebih ramai dibandingkan Dusun Talang Rimba,” ujarnya.

Melihat berkembangnya Dusun Cengal, warga yang menetap di lahan gambut beransur pindah ke darat, dan berdatangan pula warga baru dari sejumlah wilayah di Sumatera Selatan. “Tujuan mereka sama yakni mencari kayu dan berkebun karet,” katanya.

Tahun 1970-an, saat pemerintah gencar mengekspor kayu, Cengal menjadi salah satu sasaran eksploitasi kayu di Sumatera Selatan. Baik legal maupun illegal. Bahkan kayu dari pohon-pohon yang tumbuh di lahan gambut, seperti perepat, ramin, medang siluang, dan lainnya, turut ditebang. “Hingga tahun 1990-an awal warga Cengal hidupnya makmur, hasil dari mencari kayu dan berkebun karet,” kata Ismail. “Yang tidak mau mencari nafkah dari kayu, seperti saya ini, ya mengandalkan hidup dari berkebun karet yang merupakan warisan keluarga,” kata Sengguk.

Setelah hutan di Cengal maupun wilayah perairan lainnya di Sumatera Selatan habis, “Sebagian warga Cengal yang mencari nafkah dari mencari kayu pindah ke Jambi atau Riau.  Bahkan sekarang mereka banyak menetap di Kalimantan,” kata Sengguk Umang, warga Desa Cengal.

Sampai saat ini listrik (PLN) belum masuk ke Cengal. Penerangan warga masih mengandalkan jasa PLTG yang diusahakan warga. Foto Taufik Wijaya
Sampai saat ini listrik (PLN) belum masuk ke Cengal. Penerangan warga masih mengandalkan jasa genset yang diusahakan swadaya. Foto Taufik Wijaya

“Kalau bertemu para pencari kayu di mana pun hutan di Indonesia, dan mengaku dari Palembang, kemungkinan besar berasal dari Cengal atau keturunan wong Cengal,” ujar Sengguk.

Bisnis liur walet ini mulai berkembang di Cengal setelah hutan habis dan lahan gambut rusak, dan harga karet yang tidak tidak menentu. Rumah-rumah walet ini dibangun di wilayah yang dekat dengan lahan rawa gambut. Meskipun hampir setiap desa di Cengal terdapat walet, tapi warga yang sukses berbisnis liur walet ini di Desa Sungai Ketupak.

“Rumah walet di sana hasilnya cukup bagus. Beda dengan rumah walet di sini atau daerah lainnya,” kata Kanang, warga Dusun II, Desa Cengal, Kecamatan Cengal.

Tapi, kata Kanang, tidak semua warga mampu membuat rumah walet, sebab biaya membuat satu rumah walet minimal Rp50 juta. “Dana sebesar itu dapat membeli tiga hektare lahan di sini,” ujarnya.

Mengapa sebagian besar kehidupan masyarakat di Cengal saat ini terlihat miskin, meskipun mereka memiliki kebun karet, rumah walet atau tambak udang? Ternyata bukan biaya kebutuhan hidup yang tinggi. Maraknya peredaran narkoba, seperti sabu dan inek, membuat biaya hidup menjadi tinggi. “Bahkan tidak sedikit warga yang kecanduan narkoba tidak lagi memiliki kebun karena dijual untuk memenuhi kebutuhan sabu dan inek,” kata seorang warga.

Narkoba bagi masyarakat Cengal bukan hal baru. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat sudah mengenal candu. Candu yang didatangkan dari Tiongkok tersebut sempat menjadi momok di masyarakat. Perjuangan kemerdekaan Indonesia akhirnya menghentikan peredaran candu.

Puluhan jalan berlumpur dan berlubang ditemukan sepanjang perjalanan menuju Cengal. Foto Taufik Wijaya
Puluhan jalan berlumpur dan berlubang ditemukan sepanjang perjalanan menuju Cengal. Foto Taufik Wijaya

Belajar dari perusahaan

Bagaimana dengan lahan gambut? Ismal menolak jika masyarakat di Cengal dan daerah lainnya wilayah pesisir timur Sumatera Selatan dituding sebagai biang kerusakan hutan dan lahan gambut oleh pemerintah, baginya itu cukuplah mengherankan.

“Kami ini dibentuk pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan dan rawa gambut. Baik pemerintah Belanda maupun Indonesia. Jika hutan dan rawa gambut rusak, harusnya pemerintah yang disalahkan, bukan kami,” jelas mantan kades (kepala desa) di sebuah desa di Cengal ini.

Justru, kata Ismail, warga Cengal banyak membuka tambak udang dan ikan bandeng di wilayah pantai. Ini pun setelah belajar dari perusahaan udang windu PT Wachyuni Mandira, yang lokasinya berada di Kabupaten OKI. Perusahaan ini beroperasi sejak awal tahun 1990-an, atau hadirnya para petambak dari Jawa Barat dan Lampung.

Menurutnya, sejak dahulu hingga saat ini tidak ada warga yang memanfaatkan lahan gambut sebagai lahan perkebunan. “Lahan gambut tetap dijadikan warga untuk mencari ikan. Memang, pada lahan gambut yang kering dan tidak dalam akibat kemarau, ada warga yang menabur benih padi atau bersawah sonor. Tapi itu tidak banyak dan luas lahannya, sebab beras dari sonor hanya untuk makan. Sangat jauh penghasilannya dibandingkan hasil berkayu (mencari kayu) dan berkebun karet,” tutupnya.

Warga pun mulai tahu jika lahan gambut dapat dijadikan perkebunan saat hadirnya perusahaan perkebunan HTI dan sawit, sejak pertengahan tahun 1990-an. Tapi tidak ada warga yang memanfaatkan lahan gambut buat perkebunan sawit apalagi HTI karena biaya pengolahan lahannya sangat mahal, seperti menyewa alat berat.

Artikel yang diterbitkan oleh
,