Ada Potensi Kerugian Rp178,1 M pada Reklamasi Teluk Jakarta

Proyek reklamasi dan pembuatan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang dilaksanakan di perairan Teluk Jakarta, diduga menelan kerugian sangat besar hingga mencapai Rp178,1 miliar. Taksiran kerugian itu didukung dengan alat bukti yang dimiliki Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.

Koalisi yang diinisiasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, YLBHI, KPI, ICEL, KIARA, dan WALHI itu, mengajukan bukti kerugian tersebut dalam sidang gugatan izin reklamasi Pulau F, I, dan K di Teluk Jakarta.

Ketua Pengembangan Hukum dan Pengembangan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata menjelaskan, meski sudah ada nilai potensi kerugian akibat pembangunan proyek reklamasi dan tanggul laut raksasa, namun sebenarnya itu bukan jumlah sebenarnya.

“Karena, kerugian tersebut dapat lebih parah jika terjadi gangguan terhadap empat pembangkit listrik yang ada di sepanjang Teluk Jakarta. Kerugian per jam dari empat pembangkit listrik tersebut mencapai jumlah Rp126,1 miliar,” ungkap dia.

Penghitungan kerugian potensial tersebut, menurut Marthin, dilihat dari empat komponen utama yaitu hilangnya wilayah kegiatan perikanan, meningkatnya potensi resiko banjir, hilangnya habitat mangrove, dan menurunnya kapasitas pembangkit listrik.

Marthin memaparkan, komponen pertama, yaitu hilangnya wilayah kegiatan perikanan di Teluk Jakarta, diperkirakan menghilangkan lokasi tangkapan ikan (fishing ground) seluas 586,3 hektare. Kondisi itu bisa berdampak pada kehilangan sumber penghidupan dan upah perikanan yang mencapai USD1,3 juta atau ekuivalen Rp16,9 milliar per tahun.

Kemudian, komponen kedua, yaitu meningkatnya potensi resiko banjir di Teluk Jakarta, diperkirakan akan menambah kerugian akibat banjir yang ditaksir bisa mencapai USD9,7 juta atau ekuivalen Rp126,1 milliar per tahun.

Selanjutnya, komponen ketiga, kata Marthin, adalah hilangnya habitat mangrove. Dari komponen tersebut, berpotensi bisa menghilangkan jasa-jasa ekosistem mangrove yang penting, dan itu ditaksir bisa menelan kerugian hingga USD2,7 juta atau ekuivalen Rp35,1 milliar.

Terakhir, komponen keempat, yaitu menurunnya kapasitas pembangkit listrik, menurut Marthin, diperkirakan bisa menelan kerugian hingga mencapai USD26,78 juta per jam atau ekuivalen Rp126,1 milliar.

“Jika kegiatan pelayanan kelistrikan bagi Muara Karang dan Muara Tawar terganggu, maka itu berarti sama dengan pelayanan untuk 53 persen kebutuhan listrik di Jakarta. Apabila diakumulasikan setiap tahunnya maka kerugian akibat reklamasi sangat besar,” sebut dia.

Marthin menuturkan, penilaian kerugian tersebut didapat dari dokumen “Jakarta Bay Recommendation Paper” yang diterbitkan sekitar Oktober 2012 lalu. Dokumen tersebut ditulis oleh Danish Hidraulic Institute (DHI) Water & Environment, yaitu sebuah lembaga konsultan teknik asal Denmark yang telah berpengalaman melakukan jasa konsultasi terkait pengelolaan pesisir dan laut.

Gambaran reklamasi Teluk Jakarta dengan 17 pulau buatan. Foto : Fisip UI
Gambaran reklamasi Teluk Jakarta dengan 17 pulau buatan. Foto : Fisip UI

DHI Water & Environment melakukan penilaian tersebut untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) dalam melakukan penilaian terhadap Teluk Jakarta. Namun sangat disayangkan, penilaian komprehensif yang dilakukan oleh DHI tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan untuk menghentikan proyek reklamasi Jakarta.

Pembatalan Pulau G

Sementara itu dalam rapat koordinasi Penanganan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang digelar Kamis (30/6/2016), Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli dengan tegas menyebutkan bahwa Pulau G yang dikelola PT Muara Wisesa Samudera (MWS) untuk menghentikan proses reklamasi secara permanen.

Keputusan tersebut keluar, karena anak usaha Agung Podomoro Land (APL) tersebut melakukan pelanggaran berat karena melaksanakan pembangunan di atas kabel bawah laut PLN. Selain itu, PT MWS juga terbukti melakukan pembangunan yang mengganggu lalu lintas kapal di sekitarnya.

“Komite Gabungan menilai, keberadaan pulau tersebut membahayakan lingkungan hidup, proyek vital strategis, pelabuhan, dan lalu lintas laut,” ucap Rizal Ramli.

PT Muara Wisesa Samudra merupakan anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk. Izin reklamasi pulau tersebut dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Desember 2014.

Selain Pulau G, Rizal menjelaskan, ada pelanggaran yang dilakukan pengembang untuk pembangunan Pulau C, D, dan N. Meski itu bentuknya pelanggaran sedang, namun dia menilai, itu bisa membahayakan jika tidak segera dilakukan koreksi pembongkaran.

“Yang terjadi adalah harusnya Pulau C itu dipisahkan antara pulau harus ada kanal 100 meter dengan kedalaman 8 meter agar arus lalu lintas kapal tidak terganggu. Kedua kalau banjir airnya bisa langsung pindah ke laut bebas,” imbuhnya.

Selain mempublikasikan hasil evaluasi, Rizal Ramli pada kesempatan yang sama juga memaparkan, Tim Gabungan yang terdiri dari Kemenko Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengaku masih belum menyelesaikan evaluasi untuk 13 pulau lainnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,