Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) akhirnya bubar. Perusahaan-perusahaan anggota mendukung upaya pemerintah mentransformasi sektor sawit Indonesia menuju keberlanjutan melalui penguatan dan penyempurnaan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). ”Iya sudah pasti (meleburkan diri menjadi penguatan ISPO, red.),” kata Nurdiana Darus, Direktur Eksekutif IPOP melalui pesan singkat, baru-baru ini.
Sebelumnya, terjadi pertemuan bersama antara perusahaan penandatangan IPOP, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan kementerian terkait. Lalu, pertemuan dengan Kementerian Pertanian diwakili Direktur Jenderal Perkebunan, Gamal Nasir.
Dalam pertemuan itu berbicara soal perusahaan penandatangan IPOP agar melebur dalam platform sama dengan penguatan ISPO. Ini standar wajib sawit berkelanjutan di Indonesia.
Pertemuan ini juga membicarakan tenggang waktu kesepakatan IPOP dan penyempurnaan ISPO. ”Perusahaan penandatanganan IPOP berkomitmen mendukung upaya penguatan dan peningkatan ISPO sebagai standar yang diterima dan diakui di pasar internasional,” kata Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional.
Kadin berharap, ada koordinasi antara pemerintah dan swasta dalam mentransformasi sawit menjadi sektor berkelanjutan. ”Demi mempertahankan menjadi komoditas strategis bangsa,” katanya.
Perusahaan sawit tergabung IPOP tetap berkomitmen sawit berkelanjutan, seperti pernyataan dalam siaran pers mereka.
”GAR (Golden Agri Resources, red.) mendukung upaya pemerintah Indonesia membangun industri sawit berkelanjutan dan terus meningkatkan implementasi kebijakan sosial dan lingkungan perusahaan kami,” kata Agus Purnomo, Managing Director for Sutainability & Strategic Stakeholders Engangement GAR.
Dalam menjalankan bisnis, katanya, GAR berkomitmen menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dia menyatakan, perusahaan membantu petani sawit meningkatkan produktivitas, kesejahteraan dan praktik bertani berkelanjutan.
Freddy Widjaja, Direktur Asian Agri menyatakan komitmen serupa. Asian Agri akan fokus pemberdayaan petani plasma dan independen serta mencapai 100% keterlacakan rantai pasok.
Rekomendasi buat ISPO
Standar ISPO masih sebatas standard legal complainance, belum menyentuh ruang keberlanjutan. Pemerintah berencana memperkuat aturan ISPO ini. Seperti apa semestinya?
Annisa Rahmawati, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mendukung penguatan ISPO tetapi perlu diperjelas ketika diperkuat dalam konteks apa. “Kami mendukung asal setting standard setara IPOP, jangan malah di bawah. Akan menjadi abu-abu,” katanya.
Kala standar rendah, katanya, akan berpengaruh pada kepercayaan pasar Internasional terhadap produk sawit Indonesia. Dia mengatakan, setidaknya ada empat hal utama menegaskan nol deforestasi, yakni high carbon stock (HCS), high conservation value (HCV), tak menanam di lahan gambut dan menegakkan hak asasi manusia. ”Diharapkan ini wajib berlaku bagi seluruh sawit di Indonesia.”
Proses penguatan ISPO, katanya, tentu memerlukan waktu, padahal lingkungan perlu cepat terlindungi. Jadi, perlu ada review baik internal maupun eksternal hingga kala proses perubahan regulasi, lingkungan tak terabaikan.
Penguatan ISPO, diharapkan menjadi bagian mendukung komitmen Presiden Joko Widodo. ”Nol deforestasi bukan hanya komitmen kita, namun seluruh dunia, dampaknya dalam konteks perubahan iklim.”
Irwan Gunawan, Deputi Direktur Market Transformation WWF menyebutkan, dengan penguatan ISPO diharapkan mampu mengakomodir partisipasi dari seluruh multipihak baik pengawasan maupun implementasi. Dengan begitu, aspek akuntabilitas dan transparansi terus terjaga.
”Dalam proses kajian dan implementasi ISPO pelu memasukkan komitmen pemerintah dalam moratorium pembukaan hutan alam.”
Irwan memandang ISPO sebagai skema wajib mestinya menjadi instrumen dalam memberikan jaminan legalitas sumber pasokan minyak sawit di Indonesia.
Seiring dengan itu, perlu ada intensifikasi dan teknologi industri hilir yang perlu diperkuat guna menghindari ekspansi lahan tak terkendali. Irwan berharap, penyempurnaan ISPO memberikan kejelasan dalam penyelenggaraan pasokan sawit dari hulu ke hilir.
“Ada batas waktu penerapan standar kepada seluruh kelompok pekebun dan konsisten menerapkan sanksi terhadap pelanggar.”
Transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok menjadi kunci dalam meyakinkan pasar. ”Perlu dibangun komunikasi setara dan konstruktif antara pasar dan pemangku kepentingan terkait komitmen ini,” ucap Irwan.
Seiring pembahasan penguatan ISPO, Irwan mengharapkan perlu ada mengembangan peta jalan bertahap dan bersamaan untuk dan kesiapan pembenahan infrastruktur yang mendukung implemenrasi regulasi.
”Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah perlu mendapat perhatian lebih serius,” katanya.
Sementara itu, Mansuetus Darto Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyesalkan pembubaran IPOP. Pasalnya, melalui perjanjian ini menjadi promosi sawit di pasar internasional.
”Pemerintah perlu memproteksi dalam kekosongan aturan ini agar sawit tetap diterima pasar. Ini sangat pengaruh pada petani sendiri. Jika tidak, pasar akan mengalihkan perhatian ke negara lain. Pasar menjadi galau, pemerintah kan tak memiliki komitmen (nol deforestasi, red.), ketidakpercayaan menjadi cukup tinggi.”
Darto pesimistis konsep sawit berkelanjutan yang akan lebur dalam ISPO. Sebelumnya, ISPO dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pun ingin digabungkan namun hingga sekarang tak ada kabar. Menurut dia, banyak perbedaan sangat sulit gabung, antara empat nilai utama zero deforestation. Hingga, keduanya berdiri masing-masing.
Dia mengusulkan, perlu ada sinergi antara ISPO dan moratorium sawit yang diusulkan Presiden. Moratorium, katanya, lebih memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan ISPO. ”Moratorium bisa jadi acuan penguatan ISPO.”
Pemerintah, katanya, juga perlu merancang mekanisme pengawasan ISPO, seperti komunikasi lintas kementerian terkait. ”Jika tak teratasi, menjadi bumerang.”
Selain itu, perlu ada kejelasan monitoring maupun evaluasi perkebunan yang selama ini ditangani Kementerian Pertanian. Jadi, perlu penyiapan infrastruktur pengawasan ISPO.