Suasana tenang terasa saat memasuki Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tidak banyak warga yang terlihat di luar rumah siang itu, hanya beberapa orang tua yang duduk-duduk di teras dan halaman rumahnya.
Namun, siapa sangka ketenangan di desa itu menyimpan bara. Sekam yang siap berkobar pasca-unjuk rasa warga yang menolak adanya pabrik pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA).
Sebagian warga setuju, sebagian lagi menolak keberadaan pabrik yang telah ada di desa itu sejak 2010. “Saat ini, kerukunan warga luntur, terpecah dua kubu yang pro dan kontra PT. PRIA,” kata Rumiyati, warga Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo, awal Juli ini.
Rumiyati, yang merupakan Sekretaris Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Desa Lakardowo menuturkan, awalnya warga desa tidak merasakan dampak apapun keberadaan pabrik tersebut. Namun, tiga tahun terakhir, dampaknya terhadap lingkungan mulai dirasakan warga terutama air tanah atau air sumur untuk keperluan harian.
“Airnya makin kuning, ada yang hitam. Bahan belanja dari pasar yang akan dimasak terpaksa kami cuci dengan air galon yang harus dibeli.”
Air galon tidak hanya untuk minum dan memasak, tapi juga digunakan untuk memandikan bayi. “Dari beberapa laporan warga, ada beberapa bayi yang mengalami gatal-gatal setelah dimandikan air sumur, meski setelah diobati pulih kembali,” tutur Rumiyati.
Warga Desa Lakardowo lain, Heru Siswoyo mengatakan, perubahan kualitas air sumur di desanya mulai terlihat sejak 2013, dari bau dan warna. “Berkali, saya buat sumur di beberapa titik, namun airnya tidak layak pakai. Sebelumnya bisa digunakan untuk mencuci dan memasak.”
Heru yang pernah bekerja untuk PT. PRIA sejak 2010 menegaskan, limbah B3 yang dibawa ke pabrik hanya ditimbun di tanah, tanpa sistem pengamanan maupun diolah terlebih dahulu. Ini yang dikhawatirkan penyebab menurunnya kualitas air di Desa Lakardowo. “Pada 2010, mereka belum punya izin, tapi sudah melakukan aktivitas. Tanah di lahan mereka dikeruk tanpa diberi alas, semua jenis limbah dibuang langsung di situ.”
Heru meyakini, aktivitas penimbunan limbah B3 masih berlangsung hingga sekarang, meski dilakukan tertutup. Menurutnya, lubang kerukan yang penuh biasanya langsung dicor dengan semen setebal 25-30 cm, dan di atasnya dibangun gudang penampungan limbah. “Kalau limbah medis dipilah mana yang bisa dijual, yang tidak berguna langsung dibawa ke tempat penimbunan.”
Tidak hanya air, pecemaran juga dirasakan dari pembakaran maupun bongkar limbah. Tanaman warga yang dekat pabrik tertutup debu. “Pernah ada longsoran saat penghujan, meski dibersihkan tapi banyak sisa limbah yang tidak terangkut. Untuk mengetahui kebenaran adanya limbah mudah saja, lantainya dibor,” kata Heru yang melihat langsung proses penimbunan saat bekerja di sana.
Tutup pabrik
Keresahan warga akibat dampak lingkungan yang ditumbulkan dari aktivitas pabrik B3, serta konflik sosial yang mulai terjadi, menjadi alasan utama ditutupnya pabrik tersebut. “Sebelumnya, warga pernah melaporkan ke Kepolisian karena pabrik membuang limbah batubara sembarangan, tapi tidak ada respon. Sekarang, kami minta pemerintah turun tangan,” terang Rumiyati.
Rumiyati meminta pabrik ditutup, semua limbah dipindahkan dari desa, dan kondisi lingkungan dipulihkan. “Dulu pernah ada mediasi dan perjanjian tertulis tidak akan menimbun lagi, tapi tidak berlaku dan setiap malam masih dilakukan penimbunan.”
Sementara Heru, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin PT. PRIA, sekaligus memulihkan kondisi Lakardowo. “Limbah harus direlokasi dan kembalikan kondisi lingkungan kami.”
Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi menambahkan, dampak lingkungan akibat pengolahan limbah B3 yang tidak benar tinggal menunggu waktu saja. Proses hidrologi yang terjadi akibat penimbunan memang tidak akan terhindari, sehingga pencemaran air tanah terjadi. Menurut Prigi, indikasi yang terjadi di masyarakat sangat memungkinkan pencemaran memang ada di lingkungan Desa Lakardowo.
“Dari tiga dusun yang kami amati seminggu terakhir, untuk jenis penyakit dan perilaku masyarakat, ada gejala iritasi kulit yang sudah diderita. Itu disebabkan interaksi mereka dengan kondisi lingkungan tercemar baik air, udara, atau tanah,” ujarnya baru-baru ini.
Ecoton telah menggandeng tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, untuk melakukan kajian mendalam kondisi lingkungan Lakardowo. Ini akan menjadi dasar ilmiah bagi warga untuk melakukan gugatan hukum. Sebelumnya, di 2013 upaya hukum yang dilakukan gagal, karena warga mencabut gugatannya.
“Kami menggandeng ITS dan ada juga dari Corolado State University. Cara efektif memang melakukan gugatan, ini sedang disusun bersama LBH Surabaya,” kata Prigi.
Sementara itu, peraih gelar PhD bidang sumber daya lingkungan ekuitas dan tanah dari University of Arizona, Tucson, Melinda Laituri mengatakan, penelitian kasus pencemaran air akibat limbah yang mirip dengan Lakardowo, pernah dilakukan di Arizona. Penyakit seperti kanker, leukimia, dan penyakit berbahaya lain yang diderita warga, harus dicurigai sebagai dampak pencemaran lingkungan.
“Ada laporan ibu-ibu mengenai anak mereka yang tiba-tiba sakit, dan ternyata ada aktivitas industri di sekitarnya. Saya lakukan pemetaan dahulu untuk mengetahui sumber timbunan dengan lokasi warga yang sakit.”
Melinda meminta masyarakat mendata dan mendokumentasikan setiap peristiwa yang terjadi di desa mereka. Data itu akan yang nantinya ditunjukkan ke pemerintah baik tingkat bawah hingga atas untuk segera diambil tindakan.
“Saya mendukung gerakan kaum perempuan dan ibu-ibu di Lakardowo. Kalau perlu, akan kami hubungkan dengan organisasi internasional yang mau membantu,” tandas Melinda yang merupakan Direktur Geospasial Centroid di Colorado State University.
Sebagai informasi, PT. PRIA merupakan satu-satunya perusahaan pengolah limbah B3 di Jawa Timur, yang menerima limbah dari 1.000 lebih industri, rumah sakit, dan klinik kesehatan.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Timur telah melakukan uji laboratorium terhadap kualitas air sumur Desa Lakardowo, namun hingga kini belum dikeluarkan hasil penelitian tersebut. Sementara masyarakat Desa Lakardowo bersama Ecoton telah melaporkan persoalan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk ditindaklanjuti.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak PT. PRIA. Mongabay telah mengirimkan pesan singkat, WhatsApp hingga telepon untuk meminta keterangan, namun tidak ada jawaban meski pesan tersebut sudah dibaca.