Revisi UU Minerba, Pertimbangkan Aspek Lingkungan, Bukan Urusan Eksploitasi Semata (Bagian 2)

Suara-suara kekhawatiran kalau sampai revisi UU Mineral dan Batubara serta aturan turunan sampai membuka kembali keran ekspor mineral mentah muncul dari berbagai daerah.

Pakar dan aktivis lingkungan di Sumbar khawatir revisi UU Minerba bakal membuka keran ekspor mineral mentah.

Indang Dewata, Pakar Lingkungan Universitas Negeri Padang, mengatakan, pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman lalu betapa masif kerusakan lingkungan karena bebas ekspor bahan mentah.

“Kita belajar dengan bencana lingkungan Bangka Belitung dan Kota Sawahlunto, yang saat ini meninggalkan kolong langit dengan air masam sisa tambang menimbulkan danau-danau tak bermanfaat,” kata Indang saat dihubungi Mongabay beberapa waktu lalu.

Baca juga: Revisi UU Minerba Bukan Alasan untuk Buka Keran Ekspor Mineral Mentah

Dia menilai, kerusakan lingkungan ini karena Peraturan Daerah (Perda) Timah boleh ekspor biji, padahal semula bahan jadi.

Indang khawatir, kala revisi UU soal bebas ekspor, beberapa daerah di Sumbar yang kaya bahan tambang seperti Kabupaten Dharmasraya, Solok Selatan dan Sawahlunto, akan menjadi penyedia bencana di Sumbar. Bukan itu saja, kawasan hutan dan suaka alam Bukit Barisan bakal terancam.

Menurut dia, eksploitasi besar-besaran hasil alam tak akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Sumbar, menjadi daerah miskin setelah tambang usai atau pasca tambang karena konsep reklamasi belum berjalan maksimal. Paksaan pemerintah, katanya,  juga mandul terhadap perusak lingkungan meskipun ada UU.

Aktivis lingkungan Sumbar, Khalid Syafullah mengatakan, cara pikir sesat kalau revisi UU Minerba jadi membolehkan ekspor bahan mentah. Jika revisi begitu, katanya, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan mandat sebagai pelayan rakyat.

“Jika tak mampu sebagai penyelenggara negara mempertahankan kedaulatan, sebaiknya mundur saja.”

Lemahnya pemerintah, hingga memperbolehkan Freeport dan Newmont tetap ekspor bahan mentah, semestinya, bukan alasan mengubah UU. Dengan mengubah, berarti mengikuti jalan yang jelas tak benar.  “Sebagai negara berdaulat, seharusnya Freeport dan Newmont tunduk kepada hukum Indonesia,” katanya.

Jika revisi UU memberi ruang ekspor mineral mentah, bagi Sumbar, akan membangkitkan kembali perusahaan tambang yang sudah berhenti menguras bumi. Mereka terhenti karena tak mampu membuat pabrik smelter. Kerawanan lain, bakal cepat keluar izin-zin tambang baru.

“Ini akan jadi bagian yang akan berkontribusi besar terhadap keselamatan rakyat dan fungsi-fungsi alam menurun karena kerusakan lingkungan.”

Apalagi, katanya, Sumbar, termasuk daerah potensi minerba lima besar di Sumatera hingga berpeluang menjadi target perusakan. Padahal, risiko bencana Sumbar,  tinggi terutama kalau terjadi perubahan drastis fungsi alam.

“Sebesar 40% lebih wilayah Sumbar memiliki kelerengan sedang hingga sangat terjal. Lebih 50% kawasan lindung dan konservasi, potensi minerba di dalamnya,” ucap Khalid.

Baca juga: Fokus Liputan Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal

Dia menyebut, beberapa kabupaten/kota akan merasakan dampak seperti Pesisir Selatan, Solok Selatan. Solok, Sijunjung, Dharmasraya, Lima Puluh Kota, Pasaman dan Sawahlunto.

Wendra, Koordinator Divisi HAM LBH Padang, menilai revisi ini sebuah kemunduran berpikir.

“Dulu, kenapa UU disusun menggantikan UU lama untuk mencegah perampokan sumber alam melalui ekspor bahan mentah. Maka ada kewajiban perusahaan membangun smelter,” katanya.

Jika membuka kran ekspor mentah, menunjukkan pemerintah lemah dan cenderung tunduk kepada kepentingan pemodal.

Kalau pembangunan pabrik smelter tak lagi jadi prasyarat ekspor,  katanya, konsekuensi logis marak tambang mineral logam. Ujung-ujungnya, deforestasi dan degradasi hutan.

Berdasarkan SK Kemenhut No.35/2013  sekitar 56% daratan Sumbar kawasan hutan dengan kandungan mineral logam di dalamnya.

Riko C dari Greenpeace Indonesia mengatakan, prinsipnya kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral guna meningkatkan daya tambah komoditas. Kalau tidak, negara akan merugi.

Dia mencontohkan, pengiriman konsentrat pasir emas  oleh Freeport atau Newmont, pajak ekspor hanya tergolong pajak pasir atau galian. Padahal, pasir mengandung konsentrat mineral logam lain seperti bijih besi, nikel, tembaga, bauksit, uranium dan lain-lain.

“Pendapatan dari kekayaan negara hilang. Pengekspor mendapat keuntungan luar biasa.”

Padahal, katanya,  jika diolah dalam negeri, baru ekspor barang jadi, komoditas terdata baik dan negara mendapatkan keuntungan lebih besar.

Dengan pegolahan barang setengah jadi, ucap Riko, akan menggerakkan perekonomian dalam negeri  dan terpenting, dapat mengukur dan memaksimalkan antara kebutuhan pasar dengan ketersediaan bahan baku di alam.

Pembukaan keran ekspor bahan mentah, katanya, bakal berbanding lurus dengan pembukaan lahan tambang baru.

“Ini perlu disikapi tegas.”

Kalau terjadi, katanya, di Sumbar, perusahaan tambang pasir besi lama yang mati suri seperti di Solok, Solok Selatan, Surian, Sawahlunto, Batusangkar dan Dharmasraya,  akan kembali hidup.

“Perusahaan-perusahaan ini sempat mati suri karena larangan ekspor konsentrat. Sewaktu beroperasi dulu, sering konflik perusahaan dengan masyarakat.”

Tak ketinggalan suara dari Jambi. Diki Kurniawan, Direktur KKI Warsi, mengatakan, revisi UU Minerba dan PP nomor 77/2014, perlu perhatian serius. “Pembangunan smelter sisi positif diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi pendapatan negara,” katanya.

Dalam revisi UU, katanya, perlu mempertimbangkan perbandingan kerusakan lingkungan dengan pendapatan negara.

“Pengamatan lapangan justru masyarakat sekitar pertambangan tak memperoleh apa-apa kecuali kerusakan lingkungan,” katanya.

Belum lagi, reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang tak terkontrol dan perusahaan cenderung abai. Ditambah lagi, masyarakat sering tergusur dari tanah mereka sendiri.

“Pemerintah perlu hati-hati mengatur regulasi tambang minerba.”

Tambang bauksit di Kalbar. Foto: Aseanty Pahlevi

Dampak buruk tambang lebih besar

Data statistik pertumbuhan perekonomian Jambi 2014 mengalami kenaikan hingga 7,35% ditunjang pertambangan dan perkebunan. Triwulan I-2016 pertambangan digadang-gadangkan urutan pertama Produk Domestic Regional Bruto sebesar 0,97%. Ternyata,  peningkatan ekonomi tak sebanding dengan dampak buruk dan kerusakan ekologi dari pertambangan.

“Yang menikmati hanya pengusaha, pemilik modal, penyerapan tenaga kerja juga tak signifikan. Banyak tenaga migran dari luar daerah,” kata Diki.

Dia mengatakan, pertumbuhan perekonomian semu, karena kerugian derita lingkungan dan masyarakat lebih besar dari manfaat.

Pertambangan eksploitatif dan masif, katanya, menyebabkan, kerusakan lingkungan dan deforestasi karena beroperasi di hutan meskipun bernama sistem pinjam pakai.

Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jambi ada 43 perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksploitasi, empat pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, dan 144 perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksplorasi.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyayangkan jika revisi UU MInerba dan PP turunan melonggarkan ekspor mineral mentah.

Tunduk pemodal?

Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam kepada Mongabay mengatakan, saat ini saja UU itu sudah banyak kelonggaran. Seharusnya, kata Bagus,  revisi UU yang sudah disuarakan sejak era Menteri ESDM Sudirman Said ini,  jadi lebih baik.

Pelemahan macam perpanjangan relaksasi ekspor, kelonggaran hilirisasi maupun percepatan perpanjangan izin, katanya,  bisa menyebabkan kerusakan lingkungan lebih masif, terutama tata kelola sumber daya alam.

”Regulasi sektor minerba sangat bisa dinegosiasi, jika korporasi tak siap, ya sudah diubah regulasi,” katanya.

Dia melihat, banyak inkonsistensi pemerintah UU yang mereka buat sendiri, misal kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan, awalnya lima tahun, mundur hingga Januari 2017.

Pemerintah, tampak mudah disetir perusahaan dengan iming-iming stabilitas ekonomi. Sedangkan tata kelola sumber daya alam tak kuat, termasuk penegakan hukum.

Seharusnya, kata Bagus, yang diperkuat dalam revisi UU itu mengakomodir hak masyarakat. Masyarakat bisa lebih mendapatkan informasi utuh sebelum industri masuk.

”Memberikan hak veto kepada masyarakat jika tambang berjalan tak sesuai informasi yang mereka terima dan menyebabkan permasalahan lingkunagn,” katanya.

Mekanisme komplain ini, katanya, seringkali tak diakomodir dalam UU Minerba.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay mengatakan, seharusnya, Indonesia sudah berada level produk bernilai tambah.

Kala keran ekspor mineral mentah kembali terbuka, akan menjebak Indonesia pada kemunduran ekonomi. ”Pengawasan pemerintah dan struktur kebijakan lebih baik diperkuat, dibandingkan harus membuka keran ekspor,” katanya.

Marry mengingatkan, pemerintah jangan masuk dalam jebakan ekonomi sumber daya alam. Keseimbangan lingkungan, katanya, makin timpang, banyak bekas lubang tambang menganga dan jatuh korban.

Data PWYP dari Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia pada 2033, batubara diperkirakan habis dan tak akan bertahan lama. Revisi ini, katanya, tak menjadi solusi hawa segar bagi para investor. Habis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,