Tidak dipungkiri lagi bahwa Pulau Sumatera mempunyai kekayaan hidupan liar, baik flora maupun fauna, yang sangat tinggi. Berbagai upaya dan keberhasilan telah dicapai untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya.
Namun di sisi lain tantangan makin besar, deforestasi Sumatera yang sangat masif dan kematian satwa liar dilindungi yang makin marak. Satwa kharismatik Sumatera seperti harimau, gajah, badak, dan orangutan juga tidak luput dari tekanan tersebut.
Data dari statistik Kementerian LHK 2014 menunjukkan bahwa angka deforestasi di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2012-2013 (ha/thn) di Indonesia sebesar 727.891.20 ha/tahun, sedangkan di Pulau Sumatera sebesar 191.353.10 hektar per tahun.
Jika ditelisik lebih lanjut seperti yang telah diunggah Mongabay 2014 yang lalu untuk laju deforestasi historis (2000-2012) sebesar 671.420 hektar per tahun yang berasal dari lahan mineral 525.516 hektar dan lahan gambut 145.904 hektar per tahun. Sedangkan laju degradasi hutan 425.296 hektar per tahun, berasal dari lahan mineral 409.073 hektar dan lahan gambut 16.223 hektar per tahun.
Perubahan kondisi habitat tersebut dengan berbagai tujuan berpengaruh pada keberadaan satwa liar di dalamnya, secara khusus harimau Sumatera. Hal tersebut diamini oleh Febri Anggriawan Widodo, Research and Monitoring (Tiger and Elephant) Module Leader WWF Indonesia yang menyampaikan bahwa kondisi habitat harimau Sumatera saat ini mengalami tekanan yang tidak ringan.
Habitat termasuk ukuran serta ketersediaan satwa mangsa utama berpengaruh terhadap populasi harimau meskipun tidak tertutup kemungkinan faktor lainnya seperti tekanan manusia termasuk perburuan yang ternyata juga sangat berperan untuk hilangnya individu jarimau, namun hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut.
“Diperlukan baseline dan monitoring berkelanjutan, secara khusus harimau Sumatara yang dapat dilakukan secara kolaboratif,” lanjut Febri.
Itulah sekelumit kegundahan peserta yang hadir saat symposium internasional satwa liar di Universitas Lampung, pertengahan Oktober kemarin. Pada kesempatan ini berbagai informasi dipaparkan, baik dari aspek ekologi dan social. Disisi lain, yang menarik juga untuk dicermati adalah bagaimana pengembangan system pemantauan hutan beserta isinya, pemerintah, LSM, termasuk masyarakat yang ada dalam dan sekitar kawasan hutan.
Sistem Terpadu
Pada symposium tersebut diperkenalkan sebuah sistem yaitu SAFE System yang berhubungan dengan penanganan konflik satwa dan manusia. SAFE System merupakan instrumen yang menggabungkan data berbasis hasil, satu tujuan, dan menggabungkan elemen-elemen yang berkonflik.
Bagian dari system tersebut berisi tentang pemahaman terhadap konflik itu sendiri, monitoring, mitigasi, kebijakan, pencegahan, dan respon. Ashley Brooks, dari WWF Tiger Alive Initiative menyampaikan bahwa proses SAFE System terdiri atas kompilasi informasi konflik satwa dan manusia, penilaian cepat, pengembangan strategi SAFE, pelaksanaan strategi, monitoring (dan mengulangi proses).
SAFE System menempatkan terutama keselamatan manusia, dan keselamatan komponen lain sebagai aset yaitu satwa, habitat dan monitoringnya, ungkap Ashley.
Hal tersebut penting agar tidak hanya memperhatikan satwa liarnya saja yang selamat, namun perlu upaya agar manusia, habitat, serta asset yang ada pun selamat. Dengan system ini akan didapatkan gambaran prioritas serta arahan dari hasil yang didapat berdasarkan baseline dan selanjutnya dikembangkan strategi SAFE system.
“Bisa saja dalam penilaian cepat terkait proteksi habitat di kawasan dinilai bagus, namun kondisi orang/masyarakat masih kurang aman dari konflik dengan satwa. Hal tersebut menjadi temuan dasar untuk dinilai dan dievaluasi yang selanjutnya masuk dalam pengembangan strateginya,” tambah Ashley.
Sistem ini merupakan pengembangan dari Management Effectiveness Tracking Tool (METT), Conservation Assured Tiger Standards (CATS), dan Rapid Assessment and Prioritizing of Protected Area Management (RAPPAM), dengan data yang lebih komprehensif.
Keselamatan manusia menjadi tujuan strategis dalam mengembangkan “SAFE System” karena didalamnya berisi informasi aksi yang dapat dilakukan serta indikasi dana yang dibutuhkan.
Sistem ini masih tergolong baru dan baru dilakukan di Bhutan sebagai percontohan yang selanjutnya akan dilakukan di India, Nepal, dan Indonesia.
Pengambil Keputusan
Meskipun sistem tersebut penting, namun lebih penting bagaimana instrument itu bekerja di lapangan, karena sudah banyak instrument dikembangkan. Selain METT, CATS, RAPPAM, saat ini juga telah ada pengembangan SMART yaitu Spatial Monitoring and Reporting Tool. Artinya.
Berbagai sistem monitoring tersebut tidak lantas membingungkan pengguna di tingkat tapak. Karena tentunya efektifitas dari system tersebut memiliki standar masing-masing dan target-target khusus.
Sistem yang dikembangkan sebagai alat tersebut juga dapat berkontribusi terhadap pemantauan kondisi habitat dan flagship species, terutama di bentang alam Sumatera karena kondisi satwa dan habitatnya di Sumatera semakin kritis. Semua system itu diharapkan dapat memperkuat dasar pengambilan kebijakan dan implementasi dalam upaya perlindungan terhadap satwa liar dan habiatnya serta masyarakat yang ada
Masih banyak pekerjaan rumah tentunya bagaimana pelestarian satwa liar di Indonesia ini makin membaik dan bagaimana kolaborasi antar sektor/lembaga dapat terjalin untuk sama-sama berkontribusi bagi pelestarian satwa serta penghidupan berkelanjutan dibarengi dengan sistem yang dikembangkan tersebut berkontribusi nyata buat satwa dan habitatnya serta manusia.
Apakah bisa? Tentu bisa jika ada kemauan kuat para pihak.