Kala Warga Ingatkan Jepang, PLTU Batang Libas Lahan Hidup Mereka

“Katamu Tuhan bersemayam di setiap butir nasi. Kalau sampai alu dan lesung sudah tak lagi berbunyi mau makan apa lagi? Mau makan hati? Aku sudah bosan makan kotoran negeri ini.

Ini siang terpanjang yang pernah kurasakan, begitu laparnya hingga setiap butir yang mereka abaikan ingin kumasukkan dalam badan setiap sendok yang sengaja mereka sisihkan….

Tak ragu aku telan meski tanpa lauk yang menghiasi, meski tanpa kuah yang mewarnai. Kau begitu menggiurkan. Cukup nasi satu genggam karena listrik tidak mengenyangkan.” (Esa Setiawan).

Senin pagi, (5/12/16), puluhan orang berkumpul di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta. Hujan turun cukup deras. Beberapa diantara mereka bertopi caping dan cangkul, melangkah pada tanah merah di atas terpal jalanan. Lalu lalang kendaraan, memekakkan telinga.

Suara klakson dan deru knalpot bersahutan dengan tembang Jawa yang mengalun mengiringi aksi petani ini. Cangkul diayunkan, membajak tanah merah hingga siap ditanami padi. Satu per satu padi mereka tanam. Di belakang mereka pagar seng bertuliskan kalimat “PLTU Merampas Tanah Kami.”.

Baca juga: Kala Warga ke Jepang Gugat Bank Pendana PLTU Batang

Tak lama setelah menanam padi usai, seorang lelaki berkaos putih berjalan tertatih meraung sejadinya. Padi rusak seketika, saat seorang lain menabur arang. Raungan lelaki itu beradu dengan puisi karya Esa Setiawan yang dibacakan penuh syahdu. Hujan turun makin deras seakan ingin mengekspresikan kedukaan lahan pertanian warga Batang yang tergusur proyek PLTU.

Aksi memperingati Hari Tanah Internasional ini dilakukan di Kedubes Jepang, karena negara itu melalui Japan Bank International Cooperation (JBIC), berperan aktif dalam pembangunan PLTU Batang. Pembangkit ini diklaim terbesar di Asia Tenggara berkapasitas  2.000 MW dan membuat para petani terusir dari lahan.

“Kami tetap konsisten menolak pembangunan PLTU,” kata warga Batang, Cahyadi.

Selama ini,  warga terus mendapatkan intimidasi baik preman, maupun aparat seperti polisi dan TNI agar menyerahkan lahan. Sebagian warga, semula kukuh mempertahankan tanah, karena ketakutan, akhirnya pasrah. “Tiap hari didatangi terus.”

Bahkan, Cahyadi, pernah masuk penjara selama tujuh bulan karena tak mau menjual lahan pada 2014. “Saya dituduh penganiayaan padahal saya tak pernah melakukan itu. Saya dikriminalisasi. Sampai sekarang, putusan Mahkamah Agung belum saya terima,” katanya.

Hingga kini, warga yang kukuh mempertahankan lahan dengan luasan sekitar 20 hektar. Perjuangan mereka tak mudah. Lahan mereka, kini berpagar seng PT Bhimasena Power Indonesia (BPI).

Karomat, warga Batang lain juga ikut aksi mengatakan hal serupa. Lahan dipagari seng hingga tak lagi bisa ditanami. “Tanah sudah dipagar. Coba amsuk, ditanyai petugas mau apa? Lahan punya saya, hingga kini tak dijual. Warga nangis, apa daya kekuatan kami.”

Aksi teatrikal warga soal lahan pertanian warga Batang yang terampas PLTU. Foto: Indra Nugraha
Aksi teatrikal warga soal lahan pertanian warga Batang yang terampas PLTU. Foto: Indra Nugraha

Jaedi, nelayan Roban juga khawatir PLTU merusak laut, sumber hidup mereka. Kini, katanya, pembangunan mulai berjalan. Di lapangan, ada beberapa kapal mengeruk tanah di perairan sebelah barat tantara Bojonegoro hingga Roban. Padahal, kawasan itu zona konservasi yang seharusnya terlindungi.

“Kapal-kapal besar itu mengeruk tanah di dasar lautan. Nelayan sudah resah. Cara pembuangan berceceran. Pengerukan itu ganggu jala kami.”

Baca juga: Gara-gara PLTU Batang, Kini Warga Terlarang Masuk Lahan Pertanian Mereka

Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia—pendamping warga– mengatakan, telah mengkomunikasikan berbagai pelanggaran HAM yang dialami warga selama lima tahun tetapi JBIC bergeming, tetap melanjutkan dukungan.

Dukungan tokoh agama

Warga Batang menolak PLTU juga datang dari tokoh agama, salah satu, dari Nahdhatul Ulama (NU), Gus Roy Murthado. Menurut dia, persoalan ini hampir di semua pesisir selatan Jawa dan menjadi poin penting yang diajukan ke PNBNU.

“Selama ini advokasi PBNU cenderung pada kultural kebudayaan dan toleransi, penting juga advokasi menyangkut hajat hidup orang banyak seperti soal lingkungan. Ini jadi tantangan kami untuk mengawal bersama-sama. Perjuangan agama tak melulu soal bela Islam seperti gerakan 212, dan lain-lain. Isu identitas cepat sekali, tapi soal lahan digusur sulit. Agama apapun kalau jadi bagian merusak lingkungan, merusak agama itu sendiri,” katanya.

Di NU, katanya, sudah ada kemajuan. Saat Muktamar 33 di Jombang,  NU mengambil keputusan progresif mengharamkan alihfungsi lahan pertanian produktif yang dilakukan mendukung kedaulatan pangan.

Lahan petani produktif dipasangi papan larangan memasuki tanah di area PLTU. Padahal lahan ini lahan milik warga tolak PLTU Batang yang sah. Apakah ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo, yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan? Foto: Greenpeace Indonesia
Lahan petani produktif dipasangi papan larangan memasuki tanah di area PLTU. Padahal lahan ini lahan milik warga tolak PLTU Batang yang sah. Apakah ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo, yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan? Foto: Greenpeace Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,