Ancaman Pembukaan Lahan di Taman Nasional Gunung Leuser Itu Memang Ada

 

 

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan taman nasional yang ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera oleh Komite Warisan Dunia pada 2004.

Berdasarkan SK Kementerian Kehutanan No 276/kpts-VI/ 1997, luas TNGL sekitar 1.094.692 hektare, yang wilayahnya meliputi Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Namun pada 2014, SK No 856 dan SK No 579 menyatakan luas TNGL adalah 838.872 hektare.

Meski telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia, nyatanya taman nasional ini tidak terbebas dari ancama kerusakan. Bahkan, hasil sidang Komite Warisan Dunia ke-39 di Bonn 2011 telah memasukan status TRHS ini sebagai Warisan Dunia dalam Bahaya (List of World Heritage in Danger).

 

Baca: Akankah Tiga Taman Nasional Situs Warisan Dunia Ini Keluar dari Status Bahaya?

 

Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre (OIC) yang juga Juru Bicara Koalisi Penyelamatan TNGL mengatakan, kerusakan TNGL terus terjadi di Aceh maupun Sumatera Utara. Sebagian besar, akibat pembukaan lahan untuk kebun sawit dan jagung.

“Di Aceh, luas TNGL yang telah menjadi perkebunan mencapai 20.000 hektare, sementara di Sumatera Utara diperkirakan 10 ribu hektare.”

TNGL merupakan rumah bagi 382 jenis burung, 105 jenis mamalia, dan 95 spesies reptil dan amfibi. TNGL juga hulu dari 12 daerah aliran sungai (DAS) baik di Aceh maupun Sumatera Utara, dan menjadi penyangga bagi empat juga masyarakat yang berada di sekitar, sektor pertanian maupun perkebunan.

“TNGL memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar, sebagai sumber mata pencaharian. Alam telah mendongkrak perekonomian masyarakat. Namun, sayangnya kerusakan tetap terjadi,” tutur Panut.

Kasie Teknis Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Rahmat Simbolon pun mengakui sejumlah kawasan TNGL telah berubah menjadi kebun. Namun, masyarakat juga ada yang telah menyerahkan kembali kebun mereka untuk dihutankan kembali. “Kita bersama masyarakat akan terus melakukan restorasi kebun-kebun yang masuk dalam TNGL. Akan dilakukan pemulihan fungsi dan dilakukan bersama masyarakat,” ungkapnya.

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra mengatakan, pada 2016, FKL telah memusnahkan sekitar 100 hektare perkebunan ilegal di dalam TNGL. Umumnya, yang dimusnahkan adalah perkebunan kelapa sawit. “Tahun ini, kebun di dalam TNGL yang akan dimusnahkan sekitar 1.000 hektare,” ungkapnya.

 

Badak sumatera, satwa liar kebanggaan Indonesia yang ada di wilayah Leuser ini, harus kita jaga kehidupannya. Foto: Rhett Butler

 

Batas jelas

Masyarakat yang telanjur membuka lahan di TNGL mengaku, tidak mengetahui secara pasti dimana batas antara lahan yang bisa dijadikan perkebunan dengan taman nasional. “Pemerintah tidak pernah menjelaskan antara batas taman nasional dengan lahan masyarakat. Setelah masyarakat mengelola lahan beberapa tahun, baru dikatakan area tersebut berada di dalam TNGL,” tutur Amran, warga Kabupaten Aceh Tenggara.

Seharusnya, menurut Amran, saat warga membuka lahan, pihak TNGL segera memastikan bahkan melarang jika daerah yang digarap itu memang wilayah taman nasional. Terlebih, di Kabupaten Aceh Tenggara juga ada kantor TNGL. “Yang terjadi malah, saat tanaman kami sudah besar, datang lah petugas TNGL yang ingin memusnahkan. Tentu saja kami menolak.”

Muslim, warga Aceh Tenggara, juga mengatakan bila sebagian besar lahan yang ditanaminya itu dan masyarakat lainnya rusak akibat penebangan liar. “Ketika terjadi permbahan, pihak balai taman tidak segera menertibkan. Tapi, saat warga memanfaatkan hutan yang rusak itu, langsung dipermasalahkan. Persoalan ini harus segera diatasi agar tidak ada kesalahpahaman lagi kedepannya,” sebut Muslim.

Selain di Aceh Tenggara, pembukaan lahan di kawasan TNGL juga terjadi di Kabupaten Gayo Lues. Di daerah tersebut, perkebunan serai wangi atau Cymbopogon nardus telah bermunculan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,