Benarkah Daging Penyu Berkhasiat untuk Kesehatan Manusia? Ini Jawabannya…

Keberadaan penyu yang sudah semakin langka populasinya, sejak lama menyimpan mitos di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di Indonesia Timur. Mitos tersebut meyakini bahwa penyu memberi manfaat untuk fungsi tubuh manusia hingga menjadi sehat.

Namun, mitos  tersebut akhirnya terbantahkan setelah seorang akademisi dari Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat menggelar hasil penelitiannya tentang satwa laut tersebut. Penelitian tersebut dilakukan khusus di Papua Barat, provinsi yang selama ini dikenal sebagai pusat populasi penyu di Indonesia.

Adalah Ricardo Tapilatu, peneliti yang membantah mitos yang mengendap di kalangan masyarakat tersebut melalui penelitian yang melibatkan Pusat Penelitian Sumberdaya Perairan Pasifik (P2SP2), Universitas Papua dan Conservation International (CI) Indonesia. Penelitian tersebut dilaksanakan di Kabupaten Kaimana.

(baca : Konsumsi Penyu Marak Dipamerkan di Media Sosial, Ini yang Dilakukan BPSPL Makassar)

 

 

Dalam laporan penelitian yang dirilis resmi, Ricardo mengungkap bahwa daging penyu tidak memiliki manfaat sebagai obat kuat bagi manusia. Namun, justru sebaliknya, jika manusia ada yang mengonsumsi daging penyu, maka dia akan berpotensi membawa berbagai penyakit kronis.

“Resiko ini akan didapatkan bagi siapa saja yang rutin mengonsumsi daging penyu sebagai santapan utamanya,” ungkap dosen Biologi Kelautan dan Konservasi tersebut seperti dirilis resmi CI Indonesia, akhir pekan ini.

Ricardo menjelaskan, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan dia dan tim, diketahui kalau penyu bisa melakukan kawin hingga 6 jam non stop. Namun, korelasi antara kebiasaan penyu tersebut dengan khasiat dagingnya ternyata tidak ada sama sekali.

Dari penelitian yang dilakukan, justru diketahui kalau daging penyu tidak akan memberi khasiat sebagai obat kuat untuk manusia yang mengonsumsinya. Justru, semakin banyak daging penyu yang dikonsumsi, maka semakin tinggi kandungan logam berat yang masuk ke dalam tubuh manusia.

“Sebuah kasus kematian mendadak belum lama ini dialami oleh satu keluarga di Raja Ampat yang ternyata secara rutin mengonsumsi penyu,” jelas dia.

(baca : Penyu Dewasa Dipotong, Lebih dari 600 Kilo Daging Diselundupkan ke Bali)

 

Kondisi penyu sisik (Eremochelys imbricata), jenis penyu yang paling terancam punah, yang akan bertelur dan malah dibunuh dan dikonsumsi dagingnya di Pantai Alar, Minahasa Selatan, Sulut pada Selasa (12/01/2016). Foto : facebook Alfrits Ken Oroh

 

Terpisah, Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw menjelaskan bahwa penyu berperan cukup penting bagi konservasi lingkungan laut. Dia mencontohkan, penyu hijau merupakan spesies kunci yang memakan lamun sehingga kesuburan lamun meningkat.

“Sedangkan penyu sisik mengonsumsi sponges dan ikut menjaga kesuburan sponges,” ungkap dia.

Victor mengatakan, kedatangan penyu untuk melepaskan telurnya di pantai berpasir, bisa menjadi indikator baik-buruknya lingkungan di pantai itu. Menurut dia, hanya perairan dan pantai yang tidak tercemar serta tidak rusak ekosistemnya yang selalu menjadi tujuan kedatangan penyu.

(baca : Miris.. Orang Ini Unggah Foto dan Makan Hasil Berburu Penyu)
 

 

Mitos Turunkan Populasi

Ricardo memaparkan, akibat adanya pemahaman yang salah tentang manfaat daging penyu dan berkembang menjadi mitos yang melekat kuat di masyarakat, populasi penyu di Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan.

“Terjadi penurunan jumlah penyu secara drastis,” sebut dia.

Salah satu contoh terjadinya penurunan populasi, menurut Ricardo, bisa dilihat dari populasi penyu belimbing yang pada 2008 jumlahnya masih mencapai sekitar 15.000 sarang per tahun. Akan tetapi, dalam kurun waktu tiga tahun atau pada 2011, jumlahnya menurun jadi 2.000 sarang per tahun.

“Tahun lalu tercatat hanya ada 1.500 sarang per tahun,” jelas dia.

Faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi, menurut Ricardo, bisa beragam. Selain karena ada predator seperti babi, biawak, elang dan hiu, populasi penyu bisa menurun karena disebabkan kondisi lingkungan yang bermasalah.

“Contohnya, suhu pasir yang tinggi dan terjadi air pasang di sekitar perairan tempat penyu tinggal,” papar dia.

 

Melky Kansil menunjukkan telur penyu yang diselamatkan. Foto: Themmy Doaly

 

Akan tetapi, dari semua ancaman tersebut, Ricardo menyebut, perilaku manusia tetap menjadi ancaman paling besar dan tidak tertandingi. Selain itu, penggunaan alat kerja nelayan yang dapat mengancam kelangsungan hidup penyu juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi.

Contoh bagaimana nelayan bisa mengancam penyu, kata Ricardo, adalah saat penggunaan alat penangkapan ikan (API) dengan mata pancing ketika mencari ikan. Alat tersebut oleh penyu bisa dikira sebagai makanan, sehingga akan ditangkap oleh mulutnya dan dicerna melalui alat pencernaannya.

“Selain itu, nelayan juga mengancam, saat jaring yang digunakan menjebak tidak sengaja penyu yang sedang berenang. Itu akan membuat penyu tersangkut dan tidak bisa berenang bebas,” tutur dia.

(baca : Sadis.. Penyu Mau Bertelur, Malah Dibunuh dan Dikonsumsi)

“Fakta lain juga membuktikan bahwa sampah plastik banyak menyebabkan kematian pada penyu yang tidak sengaja mengkonsumsi sampah plastik,” tambah dia.

Dalam mengungkap fakta-fakta tersebut, Ricardo dan tim menggelar penelitian di Teluk Etna (Lakahia dan Ombanariki) dan Pulau Venu dengan menggunakan metode wawancara kepada tokoh masyarakat, nelayan setempat dan pemutaran film tentang penyu.

Dari penelitian tersebut, didapatkan fakta bahwa kandungan logam berat pada telur penyu hijau dan penyu sisik dari Pulau Venu melebihi batas aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Terdapat 8 kandungan zat berbahaya pada telur penyu tersebut.

“Antara lain merkuri, kadmium, arsen, timah, seng, mangaan, besi dan tembaga,” papar dia.

Karena mengandung zat berbahaya, menurut Ricardo, mengonsumsi telur penyu akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Resiko yang ditimbulkan, akan berdampak pada gangguan syaraf, penyakit ginjal, kanker hati, serta pengaruh pada kehamilan dan janin.

 

Kandungan Logam Berat pada Telur Penyu Hijau dan Sisik dari Pulau Venu

6 dari 7 Spesies Ada di Indonesia

Keberadaan penyu di dunia saat ini sudah semakin langka. Tidak saja spesiesnya yang terus menyusut, populasi penyu dari spesies yang tersisa juga dewasa ini terus berkurang jumlahnya. Sebelum tersisa hanya 7 spesies saat ini, jumlah spesies penyu di dunia mencapai 30. Penyusutan itu terjadi karena perubahan zaman dan berbagai faktor lainnya.

Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Suprapti menjelaskan, penyusutan jumlah spesies penyu yang sekarang terjadi menjadi fenomena menyedihkan dan harus dicegah agar tidak berkurang lagi.

“Tugas itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama, karena Indonesia menjadi rumah bagi 6 penyu dari total 7 spesies yang tersisa di dunia ini. Ini pekerjaan rumah yang berat,” ungkap Dwi Suprapti.

Dia mengungkapkan, 6 (enam) spesies penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressus).

Dari enam spesies tersebut, Dwi menyebutkan, saat ini tiga spesies statusnya sangat memprihatinkan. Terutama, spesies penyu sisik dan penyu hijau. Kedua penyu tersebut saat ini sudah bersatus hampir punah. Sementara, penyu belimbing kondisinya tak jauh berbeda, namun sudah lebih baik dari kedua saudaranya tersebut.

 

Tete Musa bersama penyu belimbing yang baru selesai bertelur di Pantau Inggrisau. Foto: Saireri Paradise Foundation

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,