Selamatkan UU Lingkungan, Organisasi Masyarakat Sipil dan Akademisi Siapkan Gugatan Intervensi

 

 

Organisasi lingkungan hidup, serikat tani sawit, organisasi masyarakat sipil sampai akademisi bakal mengajukan gugatan intervensi demi penyelamatan UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan, terkait judicial review kedua UU itu ke Mahkamah Konstitusi oleh APHI dan GAPKI.

Gugatan intervensi kepada penggugat ini penting karena kedua UU itu urat nadi perlindungan hutan dan sumber daya alam Indonesia.

Tim Advokasi Keadilan Perkebunan terdiri atas Sawit Watch, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Departemen Hukum Lingkungan UGM akan mengajukan gugatan intervensi ini.

”Kami sedang menyiapkan gugatan nanti diajukan ke Mahkamah Konstitusi,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch kepada Mongabay, di Jakarta, Jumat (2/6/17).

Baca juga: Panas dengan Hukum Kebakaran Huran, Asosiasi Pengusaha Kayu dan Sawit Gugat UU Lingkungan

Langkah sama dilakukan Walhi, Indonesian Center for Environmental Law (Icel) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). ”Kita akan jadi para pihak menggugat, karena kepentingan kita sebagai organisasi  lingkungan mewakili kepentingan lingkungan terganggu kalau ada penghapusan pasal itu,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi.

Sebelumnya, Rabu (31/5/17), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebutkan, pemerintah bersama DPR sebagai pembuat UU sudah konsolidasi untuk menjawab gugatan judicial review itu. ”Kita akan mengikuti sesuai prosedur berlaku.”

Terpisah, Edhy Prabowo, Ketua Komisi IV DPR mengatakan, gugatan kedua asosiasi itu berbau kepentingan, bukan memikirkan lingkungan. Dia bilang, alasan gugatan juga belum jelas.

Adapun pasal-pasal yang digugat Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merupakan kunci bagi pemerintah menjatuhkan para perusahaan pembakar hutan. Ialah pengujian Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 88, Pasal 99 UU Nomor 32/2009 juncto Pasal 49 UU Nomor 41/1999.

Totok Dwi Diantoro, Departemen Hukum Lingkungan UGM menilai, gugatan dua asosiasi bisnis itu bisa melemahkan semangat perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.

”Apa yang disasar itu cukup strategis dan signifikan, yakni kearifan lokal, strict liability dan strict liability dikaitkan pidana,” katanya.

Sebagai akademisi, bersama Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum UGM mengambil sikap. “Kami mengecam. Ini upaya pelemahan UU 32/2009 dan UU 49/1999, dimana UU ini menjadi instrumen melindungi sumber daya alam kita.”

Totok menyesalkan, gugatan malah mengkambinghitamkan kearifan lokal dan mengaburkan logika strict liability (tanggung jawab mutlak) yang seolah-olah inkonstitusional.

Hifdzil Alim, Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM mengatakan, pasal itu sangat penting sebagai penjaga lingkungan. Kalau pasal pertanggungjawaban mutlak terhapus akan membuat celah korporasi melakukan tindak korupsi.

Mas Achmad Santosa, pakar hukum menegaskan, dual system dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia menjadi sangat penting. Jadi, soal pasal strict liability dalam hukum perdata dan corporate criminal liability dalam hukum pidana, jadi pasal pamungkas.

“Jika strict liability itu dianggap inkonstitusional melalui uji konstitusional, tak ada lagi dasar hukumnya. Saya katakan kalau dipelajari gugatan dalam pasal-pasal konstitusi yang diujikan oleh para pemohon itu menurut saya tidak kuat.”

 

Majelis hakim perlu konsisten dan berpihak rakyat

Ota, sapaan Mas Achmad, menilai, keterlaluan jika hakim MK mencabut pasal itu. ”Tak ada pasal konstitusi yang bertentangan terkait strict liability.”       

Nur Hidayati menilai, pasal strict liability penting karena tak hanya untuk kasus kebakaran hutan dan lahan, namun soal pencemaran korporasi maupun oknum tertentu.

Inda, juga mendesak hakim MK memiliki pemahaman baik terhadap lingkungan, keberpihakan dan integritas dalam menangani kasus ini.

”Ini sudah ada indikasi mereka (pemohon-red) tak punya moral yang baik untuk lingkungan baik dan bersih,” katanya.

Dia bilang, hakim MK saat persidangan menunjukkan itikad baik dalam melihat lingkungan dan pasal-pasal itu penting dalam penegakan hukum lingkungan. ”Agar terus konsisten.”

Berbicara kearifan lokal, Sandra Moniaga, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia angkat bicara.”Jika pasal itu dicabut, jadi kemunduran besar,” kataaya.

Prinsip HAM itu, katanya,  ada kewajiban negara melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi setiap warga negara. UU Lingkungan Hidup, katanya, telah mengakomodir dan memberikan basis soal itu.

Kearifan lokal,  merupakan identitas peradaban yang harus diakui dan dihormati negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 Ayat 2. ”Kalau tiu dicabut, semua peladang akan dianggap pidana dan kriminaliasi akan dilegalkan UU Lingkungan.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,