Pemberian Izin Tambang Rawan Korupsi? Begini Hasil Penelitian TII

 

 

Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil penelitian mengenai kerawanan dan risiko korupsi pada pemberian izin pertambangan. Ketidakjelasan mekanisme pelelangan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) jadi salah satu titik utama rawan korupsi.

Kerawanan lain yang berpotensi korupsi karena sistem audit keuangan dan pertambangan lemah, penegakan hukum lemah, kurang transparansi dan akses publik pada informasi mengenai IUP. Koordinasi antarinstansi pemerintah juga lemah dan belum kuat kerangka peraturan dalam mendukung tata kelola pertambangan.

“Kami mengartikulasikan banyak kerawanan, dalam artian, ketidaksesuaian regulasi dengan kenyataan di lapangan,” kata Karunia Fajarini, peneliti TII, di Jakarta, pekan lalu.

Mula-mula tim peneliti TII menemukan 65 risiko korupsi dalam proses perizinan tambang di dua daerah, yakni Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.

Tim lantas mendiskusi hasil temuan dalam diskusi dengan 45 orang dari berbagai pihak terlibat, termasuk pemerintah daerah.

Temuan ini, mengerucut jadi tujuh poin paling rawan dalam urusan perizinan tambang.

“Di Sulawesi Tenggara,  nilai rendah semua. Tak heran gubernurnya baru-baru ini ditahan KPK,” kata Fatin, sapaan akrabnya.

Dengan kata lain banyak praktik terkait proses perizinan di lapangan yang tak sesuai aturan.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awal Juli 2017 karena diduga penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin

pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra selama 2009-2014.

Bermula saat gubernur menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan persetujuan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi.

Alam juga menerbitkan IUP produksi PT. Anugrah Harisma Barakah (AHB), perusahaan tambang nikel di Buton dan Bombana. KPK menduga Alam menerima pemberian dari perusahaan kala menerbitkan IUP. Dengan dua kebijakan Alam ini, KPK memperkirakan kerugian negara Rp3 triliun.

“Hasil penghitungan ahli IPB mempertimbangkan dampak lingkungan hidup, kerugian sementara Rp3.359.192.670.950,” kata Setiadi, Kepala Biro Hukum KPK.

Menurut Fatin, praktik korupsi dan penyimpangan dalam pemberian IUP dan lelang WIUP terjadi terutama karena pemerintah daerah yang tak siap dengan desentralisasi dan penerbitan aturan pelaksana UU Minerba 2009 lambat.

“Pemerintah daerah membuat peraturan pelaksana menurut versi masing-masing, seperti SK Pencadangan wilayah yang dikeluarkan Gubernur Sultra,  dan (peraturan pelaksana) ini berbeda di tiap daerah,” katanya.

Gubernur, mestinya hanya memberi usulan wilayah yang akan ditambang, penetapan harus diterbitkan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (KESDM).

Dalam penelitian ditemukan, penyimpangan aturan ini terjadi setidaknya karena dua hal keinginan pemda mengejar target pendapatan daerah dan ada kontestan politik dalam pemilihan daerah. Terutama petahana, yang menerima sumbangan ilegal dari pemegang IUP atau perusahaan yang mengajukan IUP.

“Ini akan berdampak dengan meningkatnya IUP yang tak memenuhi standar kepatuhan, melewatkan prosedur hukum dan pertimbangan lingkungan.”

Selama pilkada IUP terbit cenderung tak terkendali dan praktik politik uang meningkat.

 

Penetapan wilayah pertambangan

Dalam penetapan wilayah pertambangan (WP), pada bidang konsesi kecil, cenderung banyak IUP terbit, status aktif namun tak produktif. “Ini akan memberikan dampak lingkungan serius. IUP non CnC (clear and clear) meningkat dan terjadi konflik pemanfaatan lahan.”

Informasi tersedia mengenai sektor pertambangan, termasuk nilai geologi dan ekonomi dari zona pertambangan yang akan dilelang, juga tk terbuka untuk publik hingga partisipasi pemangku kepentingan mengawasi sektor pertambangan, rendah.

 

Lubang bekas tambang batubara banyak ditinggal begitu saja di Kalimantan Timur. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Penyimpangan dan praktik korupsi, katanya,  rentan terjadi ketika perusahaan pertambangan memiliki atau menguasai informasi lebih banyak dibanding pemerintah mengenai suatu wilayah yang akan dilelang.

Ada perusahaan jadikan IUP hanya portofolio aset di bursa saham. Kemudian risiko kerugian investasi tinggi karena nilai potensi tak layak secara ekonomi.

Ada juga perusahaan mendapat WIUP tanpa proses lelang. “Ini tentu menyimpang dari amanat UU No 4/2009.”

Proses pelelangan WIUP juga rentan praktik korupsi karena ada kontak langsung antara peserta lelang dengan petugas. Ada perlakuan istimewa dan diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu, hingga WIUP berpotensi tak memenuhi standar.

Praktik korupsi juga terjadi karena pejabat membocorkan informasi terkait proses pelelangan,-rencana lelang, keputusan hasil-, kepada perusahaan sebelum waktu yang ditentukan.

Dampaknya,  terjadi persaingan tak sehat dan menutup kesempatan pemerintah mendapat perusahaan yang terbaik.

Tak ada pengecekan dokumen administratif, teknis dan finansial dalam pendaftaran lelang juga menimbulkan masalah karena kebenaran kapasitas teknis perusahaan tak dapat terverifikasi.

“Korupsi terjadi karena pengusaha sendiri yang memastikan status wilayah ‘bebas atau clear’ jika ada permasalahan tumpang tindih wilayah dengan pemegang IUP yang lain, karena diselesaikan tawar menawar antar perusahaan,” katanya.

 

Penerbitan IUP

Kerawanan praktik korupsi juga terjadi saat pengawasan informasi mengenai IUP dan perusahaan yang mendapatkan izin tak bisa diakses publik. Dampaknya, database perusahaan pemegang IUP tak akurat dan pengawasan IUP, termasuk oleh masyarakat sipil, menjadi lemah.

Setelah berlaku UU Pertambangan tahun 2009 masih ada IUP eksplorasi diberikan tanpa lelang. “Misal, pejabat memanipulasi informasi permohonan dengan membubuhkan tanggal persetujuan jauh lebih awal sebelum Januari 2009,” ucap Fatin.

Korupsi dalam penerbitan izin juga bisa terjadi saat perusahaan memiliki lebih dari satu IUP namun tak berkegiatan apapun atau malah menyalahgunakan IUP untuk kegiatan lain misal penebangan hutan.

“Jika ini terjadi di kawasan hutan tentu akan meningkatkan laju deforestasi. Hak dan kepentingan masyarakat di sekitar WIUP cenderung diabaikan.”

Temuan serupa juga dikemukakan Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, Dwi Sawung. Dalam catatan Walhi banyak perusahaan tambang galian C di pesisir pantai mendapatkan IUP tanpa lelang.

Sawung menyebut beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Banten, Kalimatan Tengah, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Utara.

“Daerah ini dapat IUP untuk produksi tapi tak ada dalam daftar IUP CnC,” katanya.

Walhi menilai, korupsi di lingkup perizinan tambang rentan karena tak ada mekanisme konsultasi publik mulai penentuan WIUP hingga penerbitan izin. Masyarakat sekitar, katanya,  hanya terlibat saat penyusunan analisa mengenai dampak lingkungan (amdal).

Fatin sepakat. Dia bilang, Amdal pun, masyarakat hanya sebagai salah satu pertimbangan. “Tak ada indikator konsultasi publik tercapai dengan benar. Bagaimana jika satu orang menolak dan yang lain tidak? Atau bagaimana jika hanya kepala desa yang setuju? Ini perlu jadi masukan bagi pemangku kepentingan,” katanya.

 

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,