Danau dan Gunung Batur dari kejauhan sangat indah dan menenangkan. Tapi ada persoalan yang menghantui jutaan ikan nila dan mujair yang dibudidayakan di ketenangan air danau ini. Inilah yang hendak ditemukan solusinya oleh peneliti dan warga.
Saat tiba di area Penelokan, rest area untuk menikmati bentang alam danau dan gunung Batur di Kabupaten Bangli ini, pikiran sejenak terbius dengan keindahannya. Gunung berapi yang menjadi favorit pendaki pemula dan danau yang merupakan kaldera purba ini menjadi satu kesatuan lanskap. Ibu pertiwi yang memberikan kesuburan dan penghidupan sejak ribuan tahun lalu pada warganya.
Mari turun melewati kelak kelok jalan menuju danau dan kaki gunungnya. Mencari hidangan ikan khas Batur, Mujair Nyatnyat. Ini olahan ikan mujair yang dibudidayakan di keramba jaring apung (KJA) oleh ratusan warga sekitar danau. Ikan digoreng lalu direndam bumbu genep (aneka rempah ditumbuk lalu ditumis). Sedikit berkuah, ditutupi bumbu, sangat gurih, dan membuat piring bersih menyisakan tulang ikan.
Dari sepiring Mujair Nyatnyat ini ada jejak kekhawatiran sejak bertahun-tahun lalu. Nyaris tiap tahun, para pembudidaya akan menghadapi peristiwa kematin massal ikan di kerambanya. Sejumlah peneliti penasaran apa penyebabnya.
Lalu, bagaimana respon warga pada hasil penelitian ini?
Wayan Gatra, pekerja di salah satu lokasi budidaya dengan sekitar 70 kotak KJA berbagi pengalamannya selama lebih 5 tahun ini. Tiap kotak KJA, berisi sekitar 3000 ekor, jadi ia merawat lebih dari 200 ribu ekor ikan tiap hari. Peristiwa terakhir kematian massal yang juga menimpanya pada Juni dan Juli tahun 2017 lalu.
Saat itu air danau terutama di JKA tiba-tiba berbuih, bau belerang mulai menyengat. Warga tak berani mendekat keramba agar ikan tak takut dan turun lagi ke dasar danau. “Biarkan di permukaan untuk cari oksigen, biar tak semua mati,” ujarnya memberi tips pengurangan dampak buruk.
Gatra meyakini belerang adalah sumber utama kematian ikan-ikan secara massal ini. “Saya tak percaya karena pakan, pasti faktor alam karena sebelumnya sudah ada belerang,” imbuhnya.
Namun hasil penelitian menyatakan tak hanya karena belerang. Riset Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana berjudul “Kajian Daya Dukung dan Zonasi Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Batur, Kabupaten Bangli” kerjasama dengan Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli dipublikasikan Desember 2017 dengan tim peneliti ketua Prof I Wayan Arthana, beranggotakan Dr. Gde Astawa Karang, Dr Pande Gde sasmita J, Gde Raka Angga K, MP dan Made Ayu Pratiwi, M.Si. Tim peneliti mengusulkan sejumlah rekomendasi untuk mengurangi kerugian dan penataan.
Pada sasih (bulan) lebih dingin, sedikitnya ratusan ribu ikan mati dan mengambang dalam waktu hampir bersamaan. Perubahan massa air membuat belerang dan amonium residu pakan ikan naik ke permukaan. Air danau berubah keputihan. Amonium jadi racun dan belerang mengikat oksigen sehingga ikan-ikan sumber pangan ini keracunan dan tidak bisa bernafas. Mati dalam semalam. Tidak serempak, tergantung suhu tiap keramba.
baca : Ancaman Kematian Massal Intai Budidaya Nila dan Mujair. Kenapa Terjadi?
Danau Batur adalah kaldera gunung Batur yang meletus di masa lalu. Karena itu kadar belerang masih ada. Makin berisiko dengan penumpukan residu pakan ternak bercampur feses ikan. Residu ini terus tertimbun didasar danau tak terurai, karena tak difilter.
Demikian juga Komang Sukawan, pembudidaya lain. Ia pernah mendengar sisa pakan dan kotoran ikan juga berpengaruh sebagai penyebab kematian ikan ini tiap tahun. Pria yang memiliki keramba dengan 12 kotak ini tak setuju ada pembatasan keramba karena ini menjadi tumpuan hidupnya usai merantau jadi pembuat tato temporer di Legian, Kuta. Ia baru memulai usaha budidaya ini 3 tahun. Jika penataan, ia setuju. Kejadian kematian massal pada kerambanya pada Februari 2017 dan mengurangi sekitar 50% ikannya. Ikan yang lebih berisiko mati sudah besar sekitar 5 bulan, jelang panen karena memerlukan lebih banyak oksigen.
Faktor alam, istilah yang digunakan warga ini bisa mengelabui untuk mendorong perubahan perilaku. Bahwa ada hal-hal di luar kondisi alamiah danau yang menyebabkan tercemarnya kawasan yang dikelilingi banyak tempat suci seperti pura ini.
Ketut Windia, Ketua Asosiasi Pelaku Perikanan (APP) di Danau Batur yang berdiri pada 2017 ini menyebut penataan mulai berlangsung. Misalnya lokasi keramba diatur agar tak terlalu mepet pinggir danau dan material bekas keramba ditarik dari danau. Ia menyebut masalah selain residu kotoran dan pakan adalah pertanian menggunakan bahan kimia, limbah rumah tangga, dan abrasi. Tapi belerang lah yang terlihat, bisa diidentifikasi warga.
“Kalau ditata dengan baik, pencemaran bisa berkurang,” katanya. Namun jika upaya melestarikan danau hanya dari perbaikan tata kelola keramba, tidak cukup. Masih ada faktor lain yang harus ditanggulangi. Karena saat ini walau kualitas air berkurang, masih ada yang menggunakan untuk minum dan mandi. Pada awal tahun 2000-an, menurutnya dasar danau masih terlihat namun sekarang sulit karena pendangkalan dan input kimia.
baca : Penyakit Ikan Masih Intai Budidaya Air Tawar di Indonesia?
Anggota APP terdiri dari sekitar 420 pemilik KJA, pengepul, penjual usaha pakan, dan rantai lain dalam budidaya ikan ini. Peneliti memproyeksikan area ideal KJA sekitar 1% dari luas danau sekitar 13 ribu hektar, saat ini diperkirakan masih di bawah 10 ribu hektar terisi.
Saat ini, pembudidaya kekurangan stok ikan. Harga di tingkat petani sekitar Rp25 ribu/kg. Namun sekitar Oktober-Desember biasanya kelebihan stok sampai dijual ke luar Bali. Penyebabnya pada Juli-Agustus pembudidaya tak berproduksi karena kematian massal ikan yang berlangsung sampai 20 hari. “Kami stop panen dan beri makan ikan. Kalau dikasi makan, kekurangan oksigen. Biarkan agar tak semua mati,” papar Windia yang juga pembudidaya di KJA danau Batur ini.
Saat ini, para peneliti bersama pemerintah daerah dan APP sedang merumuskan konsep KJA ramah lingkungan untuk proyek percontohan. Sementara itu, Windia mengatakan pengurangan residu pakan dan kotoran bisa dilakukan dengan pemberian pakan apung, menurutnya sekitar 95% pakan dimakan jadi tak mengendap. Demikian juga kotorannya akan mengapung.
Danau Batur begitu murah hati karena selama ini tak lelah memberi penghidupan pada warga sekitarnya. Air untuk bertani dan budidaya ikan. Selain keindahannya yang mengundang turis dan pusat ritual. Bagaimana warga bisa menjaga keberlanjutannya?