Tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan melanda Kalimantan Tengah. Kabut asap di mana-mana, menutupi Kota Palangkaraya. Bandar udara ditutup beberapa hari. Aktivitas masyarakat terhenti. Provinsi ini adalah salah satu yang terparah di Indonesia.
Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, satu dari sekian desa yang paling merasakan dampaknya.
“Desa kami 80 persen terbakar,” ungkap Wanson, Kepala Desa Garung.
Wanson mengungkapkan hal itu ketika didaulat menjadi pembicara dalam Lokakarya dan Diskusi Kelompok Terarah “Peluang dan Tantangan Kesatuan Pengelolaan Hutan” di Kota Palangkaraya, 5 Juli 2018.
Desa Garung memiliki luas 10.093 hektar. Sebelah baratnya berbatasan dengan Kecamatan Sebangau. Wilayah ini yang paling rentan terjadi kebakaran. Kini Desa Garung dibentuk sebagai salah satu desa tangguh bencana untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Menurut Wanson, pencegahan kebakaran hutan dan lahan terbaik bagi masyarakat desa adalah dengan pemberdayaan masyarakat melalui proses Padiatapa. Padiatapa adalah prinsip yang menegaskan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar lokasi restorasi gambut mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan secara bebas menyetujui kegiatan restorasi gambut di wilayah mereka. Prinsip dasarnya adalah bebas (free), mendahului (prior), diinformasikan (informed), dan persetujuan (consent).
“Padiatapa ini barang baru bagi kami. Namun, dengan cara ini kami memperhatikan budaya lokal kami sendiri. Melalui proses Padiatapa, saat perencanaan RPJMDes diharuskan memuat penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, misalkan melalui pembangunan sekat kanal,” ujarnya.
Baca: Perhutanan Sosial, Akankah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?
RPJMDes Garung telah menganggarkan pencegahan kebakaran hutan dan lahan melalui pembuatan dan pemeliharaan sekat kanal. Selain itu, anggaran digunakan untuk meningkatkan kesiap-siagaan desa menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan dengan aktivasi MPA (Masyarakat Penduli Api), pembuatan sumur bor, revegetasi lahan gambut bekas terbakar, dan penguatan mata pencaharian masyarakat.
“Dalam proses Padiatapa, usulan masyarakat menjadi perhatian utama. Misalkan dalam pembuatan desain sekat kanal; meski pemerintah punya desain sendiri, namun desain dari masyarakat sangat diperhatikan karena memahami konteks di lapangan.”
Di Desa Garung, mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani karet yang menjadi sumber penghidupan mereka. Agar mata pencaharian masyarakat berkelanjutan, pemberdayaan melalui pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) dilakukan. Juga melalui budidaya lebah madu, kelompok usaha bersama karet, dan bidang lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai solusi mencegah kebakaran dan menjaga ketahanan pangan.
Baca: Tiga Tahun Sejak Kebakaran Hebat, Bagaimana Kondisi Lahan Gambut itu Sekarang?
Kearifan lokal
Antropolog Universitas Palangka Raya, Sidik Rahman Usop menjelaskan tentang kearifan lokal masyarakat adat Dayak dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Menurutnya, bagi orang Dayak dikenal konsep batang garing yang bermakna keseimbangan. Batang garing merupakan hubungan yang terjabarkan dalam nilai-nilai masyarakat, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam serta hubungan sesama manusia.
Sementara persoalan yang berhubungan dengan lingkungan, orang Dayak mengenal manyanggar dan memapas lewu. Manyanggar adalah upacara adat ketika membuka lahan baru untuk menghormati roh leluhur yang mendiami kawasan tersebut. Ketika membuka lahan harus minta izin kepada roh leluhur, jika tidak kampung akan mendapat malapetaka.
Dalam pemahaman lebih luas, manyanggar adalah sebuah kepedulian dan kehati-hatian pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga orang tidak semena-mena memperlakukan alam.
“Dua konsep ini sudah populer di kalangan masyarakat Dayak, proses penyadarannya dilakukan terus menerus,” kata Sidik Usop.
Selain itu, dalam konsep keberlanjutan, masyarakat Dayak mengenal manyalamat petak danum, yaitu pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang arif terhadap lingkungan. Harapannya, kelangsungan kehidupan umat manusia pada masa akan datang terjamin.
Konsep lainnya adalah belom bahadat sebagai pedoman mengatur hubungan manusia dengan alam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, serta sopan santun dalam kehidupan bersama. Konsep ini ada dalam pemanfaatan ruang publik sehingga terpelihara suasana hakam belom-belom (kerukunan) dalam kehidupan masyarakat KalimantanTengah yang pluralis.
Baca juga: Pak Taman, Petani Agroforestri yang Sukses Kembangkan Lahan Gambut Tanpa Bakar
Sementara kearifan lokal dalam penanggulangan kebakaran ada beberapa macam, misalkan eka malan manan satiar. Berdasarkan Peraturan Daerah tahun 1979 Tentang Hukum Adat Dayak Ngaju, disebutkan bahwa yang dimaksudkan eka malan mana satiar adalah wilayah kelola masyarakat yang berada pada posisi 5 kilometer dari kiri kanan sungai.
Fungsi kawasan kelola tersebut untuk berladang, menaman karet, menangkap ikap, berburu, dan mencari hasil hutan non-kayu seperti gemor, jelutung, gaharu, tanaman obat, dan rotan.
“Upaya penanggulangan kebakaran ada karena tanah adat milik bersama, memiliki wilayah kelola bersama dan jasa lingkungannya, serta identitas semua komunitas.”
Kearifan lainnya dalam bentuk upun tanggiran, yang merupakan usaha masyarakat memanfaatkan pohon tanggiran sebagai tempat bersarangnya lebah madu. Namun, upaya ini mulai tergerus di masyarakat Dayak.
Sedangkan pahewan/tajahan merupakan hutan Keramat (zona inti), wilyah pali (zona buffer) dan wilayah kelola (usaha masyarakat). Masyarakat Dayak juga mengenal ladang berpindah, dan jika dilakukan secara adat maka tidak akan merambah ke tempat lain, serta pembakaran terkendali.
Menurut Sidik Usop, proses budaya dalam kehidupan masyarakat belum dipahami para pihak pengambil keputusan dan pemanfaat terbesar atas sumber daya alam itu. “Pada konteks tersebut, perlu dipertimbangkan kebijakan yang mengadopsi nilai budaya lokal sebagai upaya memperkuat partisipasi komunitas adat mencegah kebakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.
Pelibatan masyarakat
Hadir sebagai pembicara Mayor Infanteri Jonathan Nudio, Pasie Ops (Perwira Seksi Operasi) Korem 102 Panjung Panjang, sebagai Satgas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
“Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah sudah menjadi event tahunan. Dalam kondisi cuaca apa saja pasti terjadi. Awal tahun ini, ada satu kabupaten yang siaga karhutla sementara kabupaten lain tanggap darurat banjir. Tidak bisa dijadikan patokan musim hujan tidak ada kebakaran. Penyebabnya adalah 99 persen faktor manusia baik sengaja dan tidak, sementara faktor alam sangat kecil,” ujarnya.
Menurut Jonathan, satgas melibatkan banyak pihak dalam bertugas termasuk masyarakat. Misalkan tim terpadu tingkat desa serta MPA (Masyarakat Peduli Api). Jonathan juga merinci data luasan lahan yang terbakar dari 2015 hingga 2018.
“Tahun 2015 jumlah luasan lahan terbakar 583.833 hektar, tahun 2016: 6.148 hektar, tahun 2017: 1.744 hektar, dan 2018: 1035,955 hektar.”
Jonathan menambahkan, pihaknya sering melakukan sosialisai, namun masih dianggap kurang karena belum sampai ke masyarakat. “Seluruh wilayah Kalimantan Tengah rentan kebakaran hutan dan lahan, jangan sampai berampak pada Asian Games. Intinya, kesadaran ditingkatkan dengan tidak mengurangi kesejahteraan masyarakat.”
Hal senada dijelaskan Bayu Nugroho, Kepala UPTD KPH-L (Kesatuan Pengelolaan Hutan – Lindung) Kapuas Kahayan. Ia menitikberatkan penguatan masyarakat menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat adalah ujung tombaknya.
“Kami di KPH-L ada lokasi percontohan di Desa Anjir Kalampan, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas. Masyarakat mengembangkan vanili karena memiliki nilai komoditas sekaligus meregenerasi hutan lindung dan sekitarnya.”
Secara umum Bayu menjelaskan, wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan ada pada areal gambut. Namun lokasi kebakaran sebagian besar sangat sulit dijangkau. “Sementara, kami memiliki keterbatasan, misalkan minimnya biaya operasional pemadaman, keahlian sumber daya manusia dan pengalaman,” ungkapnya.
Namun demikian, KPH memiliki peran membangun simpul multi-pihak dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan melalui kolaborasi dan pemberdayaan. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencegah kebakaran hutan dan lahan terjadi.