Daeng, baru usai mengolah sagu tak jauh dari perkampungan di Desa Umera, Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akhir Juni lalu. Sagu-sagu olahan lantas dia masukkan ke dalam empat karung masing-masing 40 kilogram.
Tepung sagu dalam karung itu didorong dengan gerobak menyusuri ujung jalan desa menuju rumahnya, berjarak sekitar 350 meter.
“Ini saya olah satu hari langsung bawa pulang,” katanya, sambil mendorong gerobak.
Sagu adalah mata pencarian mayoritas warga Umera, sekaligus sumber pendapatan utama. “Di sini, mayoritas warga mengolah sagu sebagai mata pencarian,” katanya.
Sagu Umera, sangat terkenal, tak hanya di Maluku Utara, juga sampai Sorong dan Raja Ampat.
Data Dinas Ketahanan Pangan Halteng, luas hutan sagu di pulau kecil seperti Gebe sekitar 180 hektar.
“Itu luas lahan sagu di Desa Umera, Gebe yang sudah pemetaan,” kata Subhan, Kepala Bidang Pemerintahan Desa BPMD Halteng.
Sekdes Umera Mustafa Usman mengatakan, dari 119 keluarga atau sekitar 500 jiwa Umera, mayoritas mengolah sagu sebagai sumber kehidupan, selain kelapa, pala maupun cengkih.
Gebe ini pulau kaya. Dari produksi pertanian, hasil laut sampai tambang tersedia. ”Gebe ini pulau kecil tapi kaya. Di desa kami (Umera) berbatasan dengan Sanaf Kacepi, ada perusahaan tambang yang akan mengeksploitasi nikel,” katanya.
Di konsesi tambang itu juga hutan sagu. Dia sebut nama perusahaan nikel yang bakal masuk PT Anugerah Sukses Mining. Perusahaan sudah eksplorasi. Izin kuasa pertambangan Anugerah Sukses Mining bernomor 540/KEP/208.A tahun 2011 seluas 1044 hektar.
“Sekarang, kalau ada warga desa ini mau melamar jadi karyawan atau buruh tanpa keahlian mendaftar pada kami,” katanya.
Perusahaan ini bakal mengancam keberadaan hutan sagu sebagai tumpuan hidup warga. “Ada puluhan hektar tambang masuk hutan sagu. Kami belum tahu berapa luas izin tambang mengambil hutan sagu itu ,” katanya.
Dia mengaku tak bisa berbuat apa-apa. “Saya secara pribadi tak bisa menolak karena sudah ada izin pemerintah. Sebagai warga berusaha menolak tapi jika izin sudah ada, kita tak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Menurut dia, dalam sosialisasi dan pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dia mempertanyakan banyak hal. Bahkan secara pribadi menolak tambang.
“Potensi dampak sangat mengkhawatirkan warga di kemudian hari,” katanya.
Meski demikian, dia tak bisa menolak lantang karena sebagian warga juga mau bekerja di perusahaan. Mereka seperti terhipnotis.
“Kalau protes nanti saya berhadapan dengan masyarakat.”
Dia bilang, satu- satunya orang yang meminta terbuka ke perusahaan agat tak mengorbankan warga ketika perusahaan beroperasi.
“Kita sudah melihat banyak bukti termasuk PT Antam. Setelah tambang habis warga sengsara. Kita juga tak mau seperti itu.”
Perusahaan tambang, katanya, akan merusak sebagian hutan sagu. Hal itu sangat mengagetkan warga. Apalagi, sampai membongkar hutan sagu yang jadi sumber pangan dan pendapatan warga.
“Kami menolak karena sagu itu makanan pokok. Juga sumber pendapatan. Orang kecil seperti kami ini bisa berbuat apa kalau izin sudah keluar?” kata Sahud Hi Robo, warga yang setiap hari mengolah sagu untuk dijual.
Bagi dia, sagu itu sangat penting, sama dengan kelapa, pala dan cengkih. “Kami di desa Umera, sagu sumber mata pencarian utama.”
Perda perlindungan dan konservasi sagu
Untuk melindungi hutan sagu sebagai salah satu sumber pangan di Halteng, sebenarnya pemerintah dan DPRD Halteng telah menyelesaikan perda yang mengatur pengelolaan dan pelestarian sagu. Sayangnya, perda yang disahkan awal 2018 itu, belum terlaksana.
Bahkan pemerintah desa dan masyarakat belum tahu soal Perda Halteng Nomor 2/2018 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu itu. Pemerintah Desa Umera, misal, mengaku belum tahu ada perda ini.
“Mungkin karena baru disahkan jadi kami juga belum tahu. Ini sangat bagus karena membantu dasar melindungi hutan sagu dari gangguan atau pencaplokan perusahaan tambang,” kata Mustafa Usman Sekdes Desa Umera.
Isi perda itu menyebutkan, sagu merupakan sumber daya alam yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat.
Perda ada karena menyadari pergeseran pola konsumsi, nilai ekonomi rendah, pembangunan termasuk pengembangan areal pemukiman baru. Adanya pemanfaatan ruang tak terencana, perusakan hutan dan tuntutan bahan bangunan.
Kondisi ini, kata Subhan, menyebabkan areal tumbuh kembang sagu makin tergerus. Untuk itu, perlu pengelolaan lestari.
“Sekaligus memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian tanaman sagu,” kata pria inisiator perda ini.
Menurut dia, sagu tumbuh alamiah dan membentuk hutan di hampir seluruh Halteng. Sagu, katanya, akan memenuhi keperluan pangan masyarakat cepat dan tepat. Ia juga bisa jadi tanaman konservasi, pengatur tata air dan ekosistem serta bahan bangunan.
Di Hateng, sagu dapat tumbuh pada kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan tumbuhan payau lain.
Sagu, katanya, juga memiliki keistimewaan dapat tumbuh dan berkembang di tempat tanaman pangan lain tak tumbuh. Masa panen juga tak mengenal musim. Keterlambatan panen juga tak berisiko berarti. Bahkan, katanya, sagu yang luas akan berdampak pada stabilitas iklim mikro dan dapat mengendalikan pencemaran dampak limbah pabrik, sampah kota dan bisa membersihkan air buangan. Tanaman ini juga dapat mencegah dan mengendalikan erosi serta menjaga keseimbangan ekosistem.
“Sagu dapat berfungsi sebagai tanaman pangan penghasil karbohidrat bahan baku industri dan bahan bio energi, tanaman konservasi, pengatur tata air dan ekosistem serta bahan bangunan. Ini komoditi utama mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Halteng,” katanya.
Sagu penting demi keamanan pangan.
“Begitu istimewanya sagu, tak masuk akal jika ada perusahaan atau orang mau merusak bahkan menggusur hutan sagu di Pulau Gebe.” (Bersambung)
Keterangan foto utama: Selain sagu, cengkih, kelapa (kopra) juga produk andalan dari Kampung Umera, Gebe. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia