Laporan Brown to Green (BtG) 2018 oleh Climate Tranparency akhir November lalu menunjukkan, target Nationally Determined Contributions (NDCs) negara-negara G20, termasuk Indonesia, tak satupun sejalan dengan Paris Agreement. Kebijakan sektoral Indonesia, terutama soal pembangkit listrik batubara (PLTU), efisiensi energi pada industri dan deforestasi, dinilai gagal konsisten dengan Perjanjian Paris yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.
“Emisi Indonesia terus meningkat,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Institutes for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan ini di Jakarta, akhir bulan lalu.
BtG adalah laporan komprehensif melihat bagaimana negara tergabung dalam G20 transisi ke ekonomi rendah karbon. Ia meliputi kajian emisi, kebijakan soal iklim, pendanaan dan dekarbonisasi.
Baca juga: Derita Warga Cilacap Hidup Bersama Pembangkit Batubara
Menggunakan 80 indikator terkait emisi, dekarboniasai, kebijakan, keuangan, kerentanan dan transisi, 14 organisasi mengolah data nasional dan internasional negara G20 berbeda sampai 2017.
Apa hasilnya? Masih ada celah emisi. Saat ini, NDCs bikin suhu bumi meningkat sekitar 3,2 derajat Celsius.
“Tak satupun target NDC negara G20 yang sejalan dengan Paris Agreement,” katanya.
NDC India, misal jadi paling ambisius, paling dekat dengan batas 1,5 derajat Celsius. NDC Rusia, Saudi Arabia dan Turki, akan membuat pemanasan melebihi empat derajat Celsius jika semua pemerintahan punya level ambisi sama untuk target mereka.
Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka
Dengan kebijakan saat ini, Argentina, Brazil, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Turki dan Amerika Serikat sepertinya akan melewatkan target NDC mereka.
Tiongkok, Uni Eropa, Indonesia, Jepang, Rusia dan Saudi Arabia, tampaknya mencapai target NDC mereka atau bahkan melebihi mereka karena target ambisi tergolong rendah.
Untuk itu, katanya, G20 perlu staregi jangka panjang memadai untuk mencapai target Paris Agreement 2030.
Emisi 15 dari negara G20 bahkan meningkat pada 2017. Penyebab utama, 82% suplai energi dari G20 masih dari energi fosil. Sektor yang harus jadi perhatian lebih bagi negara G20 untuk pengurangan emisi yakni sektor pembangkitan listrik dan trasnportasi, di samping industri, infrastuktur dan hutan.
Baca juga: Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?
Dalam laporan ini, Afrika Selatan, Australia dan Indonesia, punya intensitas karbon tinggi dari segi pembangkit dan paling sedikit upaya untuk phase out dari batubara.
Selain itu, Indonesia, Argentina dan Brazil, peringkat tertinggi kehilangan hutan sejak 1990. Belum ada ada cukup untuk memulihkan hutan.
Negara G20 masih memberi subsidi hingga US$147 miliar untuk batubara, minyak dan gas bumi pada 2016. Hanya Kanada dan Prancis, menghasilkan lebih banyak pendapatan lewat perdagangan karbon daripada untuk subsidi.
Untuk transisi, beberapa negara G20 sudah mulai bisa menjawab pertanyaan bagaimana melakukan transisi yang adil, misal, Pemerintah Tiongkok mengalokasikan US$4,56 miliar selama tiga tahun ke depan untuk menutup tambang-tambang kecil dan tak efisien dan memindahkan sekitar 1 juta pekerja.
Anggaran keuangan Prancis tahun 2019, juga memberikan kompensasi untuk 10 tahun karena kehilangan pendapatan karena penutupan PLTU batubara.
India, Jepang, Meksiko, Rusia, Korea Selatan dan Amerika Serikat, secara sosial terdampak transisi namun belum ada pembicaraan atau aksi ke sana.
Bagaimana Indonesia?
Apakah Indonesia sudah berjalan menuju pemenuhan Perjanjian Paris? BtG menilai, berbagai kebijakan di Indonesia, tak konsisten dengan Perjanjian Paris terutama soal PLTU, efisiensi energi pada industri dan deforestasi. Berdasarkan kebijakan saat ini, emisi rumah kaca Indonesia akan meningkat antara 1,573 dan 1,751 MtCO2e pada 2030.
“Ini tak cocok dengan Paris Agreement.”
Langkah yang tak konsisten ini akan membuat peningkatan suhu menjadi antara tiga sampai empat derajat celcius.
Indonesia, masih berencana menggunakan batubara, bahkan dobel, antara 2017 sampai 2025 untuk pembangkit listrik.
Pemerintah juga mengumumkan pada 2017, tak akan ada lagi PLTU baru dibangun di Jawa guna mencapai target energi terbarukan 23% dalam bauran energi 2025. PLTU yang belum konstruksi tetap lanjut meski menuai protes dari sejumlah masyarakat.
Lantas apa prestasi Indonesia? Catatan positif disebutkan deforestasi Indonesia menurun 60% antar 2016-2017 sejalan dengan kebijakan moratorium sawit.
Dalam laporan ini dinyatakan Indonesia bersama Brazil, masih menjadi negara punya banyak hutan, 77% lebih banyak dibanding 1990. Capaian bauran energi terbarukan Indonesia tinggi (13%) dari pada rata-rata negara G20 lain yakni 5%. Peningkatan ini disumbang banyak oleh pembangkit geothermal.
Penggunaan energi perkapita Indonesia naik 7% selama 2012-2017, lebih cepat dibanding rata-rata negara G20, lebih dari 1%, namun pencapaian lebih rendah dari setengah rata-rata negara G20 lain.
Tahun 2017, produk domestik kotor (GDP) per kapita Indonesia 11.914 lebih rendah dari rata-rata GDP perkapita negara G20 yakni 20.790 dengan Indeks Pembanguna Manusia (HDI) 0,69. Dua indikator ini penting menunjukkan kelompok sosial manusia mana dan sektor pendukung apa yang bakal terpengaruh perubahan iklim di masa depan.
Emisi di Indonesia, meningkat tiga kali lipat 1990 sampai 2015 (937 MtCO2e) dan terus melaju sampai 2030 terutama karena energi dan kehutanan. Kontribusi terbesar dari energi 36% (meningkat 18% selama 2012-2017), 27% transportasi, 31% industri dan 6% rumah tangga dan pertanian.
Kebijakan iklim
Dalam laporan ini, mengutip data Climate Actions Trackers (CAT), NDCs Indonesia, dinilai sangat tak memuaskan. Artinya, tak cukup ambisius membatasi pemanasan global kurang dua derajat Celcius. Agar konsisten dengan Perjanjian Paris, emisi Indonesia harus stabil, kalau tak bisa turun pada 2030. Berdasarkan analisis CAT, Indonesia akan mencapai target NDC namun saat bersamaan masih mengemisi ganda.
Indonesia juga sudah meluncurkan strategi pembangunan rendah emisi yang semula jalan pada 2018. Rencana pembangunan jangka menengah Indonesia 2015-2019 juga menyebut target untuk 2030, namun tak ada target untuk 2050.
Pada sektor energi, kata Fabby, Indonesia punya target 31% energi terbarukan pada 2050 dalam bauran energi. Dari 56 gigawatt target kapasitas jangka panjang Indonesia, 26,8 gigawatt masih pakai batubara.
Peralihan dari batubara belum jadi pertimbangan.
Di sektor transportasi tahun 2018 kendaraan berbahan bakar bensin sudah mengikuti standar EURO4, namun kendaraan EURO2 masih bisa hingga 2021. Tak ada target juga untuk berhenti pakai bahan bakar dari fosil untuk kendaraan.
Indonesia juga tak ada strategi nasional mempromosikan bangunan zero energy. Target nasional zero deforestation juga tak ada. Meskipun ada moratorium penebangan di area tertentu yang valid hingga 2019, masih ada deforestasi terutama industri kertas dan sawit. Pemerintah berikan skema dukungan untuk reforestasi dan membekukan izin beberapa perkebunan sawit hingga 2021.
Indonesia, masih memberikan banyak subsidi untuk energi fosil, US$8,8 miliar pada 2016 terutama pendanaan langsung dan pembebasan pajak. Subsidi terbesar diberikan kepada PLN untuk menjual batubara di bawah harga pasar.
Indonesia juga masih belum punya skema perdagangan karbon hingga 2017. Periode 2013-2015, Indonesia menghabiskan US$1,4 miliar brown, US$0,03 miliar green dan US$0,06 miliar grey.
Transaksi terbesar untuk jaminan utang infrastruktur US$4 miliar. Data ini, katanya, tak begitu komprehensif karena kurang transparan data keuangan di Indonesia.
Brown untuk proyek batubara, minyak bumi dan gas alam. Grey untuk PLTA skala besar, biofuel, biomassa, nuklir, insinerasi, efisiensi energi dan pendukung kelistrikan lain. Sementara green, semua energi terbarukan di luar proyek grey.
Indonesia, katanya, tak masuk dalam Annex II United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) jadi tak wajib memberikan catatan soal climate finance.
Bappenas mencatat, beberapa proyeksi dan dampak perubahan iklim, antara lain, mempengaruhi analisis neraca air dalam memproyeksikan bahaya banjir, ketersediaan air, dan kekeringan air. Rata-rata produki pertanian menurun, mempengaruhi kemiringan lereng pantai, lingkungan pantau karena banjir dan perubahan suplai sedimen. Juga menghilang atau berpindahnya daerah tangkapan ikan, perubahan muka air laut memicu badai atau gelombang ekstrem hingga potensi bahaya pelayaran kapal ikan meningkat dan peningkatan suhu permukaan laut, ekuivalen dengan kenaikan tinggi muka laut karena pencairan es di kutub serta frekuensi siklon tropis naik.
Pemerintah punya kebijakan perencanaan pembangunan rendah karbon dalam RPJMN 2020-2024 dan peta jalan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SGDs) 2030 yang mendorong penurunan intensitas emisi dan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Daya dukung dan daya tampung sumber daya alam maupun lingkungan jadi fator penentu dalam perumusan kebijakan dan target GRK.”
Perpres No 61/2011 soal rencana aksi nasional GRK target penurunan emisi 26% pada 2020.
Capaiannya, kini ada 12,021 aksi mitigasi dan 34 dokumen rencana aksi daerah untuk penurunan gas rumah kaca. Intensitas emisi turun dari 681,2 tonCO2e per miliar rupiah pada 2010 menjadi 512,1 tonCO2e per miliar rupiah.
Dukungan pendanaan
Dudi Rulliadi, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan, sektor energi target reduksi emisi terbesar kedua setelah kehutanan. Penguatan keamaan energi melalui penyediaan energi melalui penyediaan energi yang lebih ramah lingkungan.
Selain rencana aksi nasional GRK (RAN-GRK) dan RAN adaptasi perubahan iklim (RAN-API)) ada instrumen kebijakan Indonesia biodiversity strategy and action plan 2003-2020.
Menurut Kementerian Keuangan, Indonesia memerlukan sekitar US$55,1 miliar untuk mitigasi dan penyesuaian tindakan adaptasi 2015-2019.
“Aksi iklim membutuhkan kebijakan strategis dan kolaborasi pembiayaan antara para pemangku kepentingan di tingkat lokal dan global, pemerintah, entitas bisnis, LSM, komunitas dan lain-lain.”
Sementara kebutuhan pendanaan sektor energi untuk reduksi emisi periode 2018-2030 sekitar Rp3503 triliun dengan target penurunan emisi 314 MtonCO2e meliputi energi terbarukan listrik, energi terbarukan non listrik, konservasi energi, teknologi bersih, migas dan reklamasi pertambangan.
Adapun negara-negara G20 itu meliputi, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Britania Raya, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Turki, Uni Eropa, Perancis dan Republik Rakyat Tiongkok.
Keterangan foto utama: Kepulan asap polusi PLTU Karangkandri kala senja. Arah angin dominan ke utara dan timur. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia