Titik baru menikmati panorama kawasan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur, ini cukup terjal dan menantang. Melewati bebukitan, ratusan anak tangga ala Great Wall China, sampai kuil di puncaknya. Tapi perjuangan ke sana terbayarkan dengan pemandangan yang sungguh indah.
***
Siang di Desa Ngadisari dan Lawangsewu, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jatim, terasa sepi. Puluhan penginapan di sekitar loket tiket masuk, namun hanya terlihat belasan orang lalu lalang. Mobil-mobil Jeep terparkir di tiap rumah dan akomodasi.
Sepi ini berubah pikuk mulai jam 3 dini hari, mulai pukul 3, Kamis (20/12/2018). Kami sengaja menghindari tahun baru dan akhir pekan untuk menghindari hiruk pikuk, tapi eh ramai juga. “Ini belum ramai, termasuk sepi,” kata Yanto, supir Jeep yang kami tumpangi. Belum ramai maksudnya saat ratusan orang bergerombol menuju Puncak Seruni, sebuah titik baru menikmati matahari terbit (sunset point) yang baru diresmikan Bupati Probolinggo sebulan sebelumnya. Bisa dibayangkan apa itu musim ramai.
Penanjakan 2, sebutan untuk Puncak Seruni ini. Karena ada Penanjakan 1, lokasi populer yang lebih tinggi dan jauh dari loket masuk. Jeep melaju di jalan tanah sebelum memasuki jalan beton yang bisa dilalui mobil berpapasan. Angin dingin masuk melalui celah jendela, walau sudah ditutup rapat. Kami hanya memesan jeep beberapa jam untuk mengantar di titik Penanjakan Seruni dan parkir Gunung Bromo-Batok.
Biayanya Rp550 ribu termasuk 5 tiket masuk Rp37 ribu/orang. Jika ingin titik tambahan seperti padang savana dan pasir berbisik, menjadi Rp700 ribu. Harga ini bisa berbeda tergantung jumlah turis, ketersediaan Jeep, dan negoisasi. Ini kali kedua ke sini setelah melihat upacara Kasada 2016 lalu.
“Kalau bule-bule lebih pilih jalan kaki, lebih murah, dan mereka senang eksplorasi,” kata Yanto menunjuk kelompok-kelompok kecil turis asing berjalan di tengah pekatnya malam. Mereka terlihat lebih ringkas, hanya jaket tipis atau syal. Bisa jadi karena tempat tinggalnya lebih dingin dari Bromo. Sementara di musim hujan ini, kami memakai kupluk penutup kepala, sarung tangan, jaket, dan sepatu.
baca : Foto : Unan-Unan, Tradisi Tengger Menentukan Penanggalan Demi Kesuburan
Jeep membutuhkan waktu 30-an menit mencapai parkir di Penanjakan 2. Sementara ke Penanjakan 1 butuh sekitar sejam berkendara karena masuk Wonokitri, Pasuruan. Jika Penanjakan 1 ketinggian puncaknya lebih dari 2700 mdpl, maka Seruni sekitar 2400 mdpl.
Mobil Jeep terparkir dekat plang besi, menandai larangan area berkendara bagi pengunjung reguler. Pukul 4 dini hari, puluhan Jeep warna warni sudah terparkir di kemiringan bukit, sisi kiri dan kanan jalan.
Warung pertama dan kedua dipenuhi pengunjung, mungkin mereka mengira sulit mencari warung untuk ngopi atau ngeteh. Pembeli berjubel memenuhi warung semi permanen sampai di jalan. Selain menyesap minuman hangat, tak sedikit sudah memenui perutnya dengan mie instan.
Ini tak disarankan jika tak terlalu lapar, karena kita akan jalan kaki menanjak. Rawan dimuntahkan jika belum terbiasa nanjak.
Dari titik awal, sejumlah warga penjaja jasa naik kuda sudah merayu, terutama anak-anak. “Masih jauh lho, 2 kilometer nanjak, nanti ada 300 anak tangga,” rayu sejumlah pria pembawa kuda.
Namun tak sedikit anak-anak yang memilih jalan kaki. Bersama keluarga, mereka bercanda memulai langkah-langkah berikutnya ke puncak. Pagi masih amat muda, waktu 1,5 jam cukup leluasa untuk jalan perlahan.
baca juga : Menikmati Bromo Tanpa Nyampah Sembarangan
Di beberapa tikungan dan tanjakan tajam, warga penjaja jasa kuda ini sigap. Menanyakan apakah masih kuat, jika tidak ayo pakai kuda. Mereka tidak memaksa, menjajakan jasa mengantar dengan kuda sekitar Rp150 ribu sampai bawah anak tangga saja.
Saat kepala mendongak menuju titik cahaya, kelap kelip lampu warung di puncak memang terlihat amat terjal. Rehat saja, mengambil nafas sambil tetap berdiri merasakan pikuk dini hari.
Sejumlah warung dengan perhitungan amat baik mendirikan tenda atau pondokan di sudut tikungan tajam. Mencari celah lebih datar, menjual minuman kemasan, minuman hangat, dan mie instan.
Jurus ampuh menuju puncak adalah selalu menyebut tikungan yang dilalui adalah kelokan terakhir. Lalu mengatur nafas karena oksigen menipis di ketinggian. Untuk memompa semangat. Bagi pendaki rutin, jalur menuju puncak ini bukan apa-apa, apalagi yang sudah sering bolak balik. Seperti bapak-bapak tua dan penjaja kuda.
Sekitar satu jam berjalan santai, banyak rehatnya, tiba jua di bawah anak tangga. Di sini ada spanduk dengan foto-foto tahapan pembangunan titik Seruni.
menarik dibaca : Ketika Warga “Menantang” Erupsi Bromo Saat Kasada
Menaiki anak tangga juga perlu kesabaran, tiap beberapa puluh anak tangga ada area datar untuk rehat. Gugusan Gunung Bromo yang tak henti berasap, Gunung Batok, dan Semeru sudah terlihat saat awan tersingkap. Berselimut kabut, dikelilingi hamparan pasir.
Pukul 05.30, langit sudah berona jingga, sepertinya tak banyak awan tebal yang yang akan menutupi berkas sinarnya. Para pengunjung makin sumringah. Langkah kaki makin ringan mengayun ke puncak, takut kehilangan momen.
Tiap orang berebut sudut terbaik. Puluhan orang malah mendaki bukit di atas kuil agar posisinya paling tinggi. Risikonya, bebatuan menggelinding turun bisa mengenai pengunjung lain atau warung di bawahnya.
Ah, Bromo memang tak membuat bosan. Masih terasa hening walau menatapnya bersama ratusan pasang mata. Anak-anak muda serius membuat pose menarik, mencari celah dan sudut pandang paling cemerlang versi mereka, atau membuat tulisan di kertas untuk difoto dengan latar sunrise dan gunung. “Kapan ke sini?” demikian salah satu tulisan penggoda dengan menyebut nama temannya.
baca juga : Ritual Kasada, Ritual Selaras Alam Suku Tengger
Ketika menikmati hamparan pegunungan Tengger, pikiran melayang ke legenda pengorbanan seorang anak pada kisah Tengger dan Gunung Bromo yang direproduksi melalui cerita rakyat dan sendratari, Rara Anteng, putri Raja Brawijaya dan suaminya Joko Seger. Kisah pengorbanan anak bungsu dari 25 anak mereka yaitu R Kusuma kepada Sang Hyang Widi Wasa. Kusuma mengorbankan diri demi keselamatan keluarga dan rakyatnya dari letusan Gunung Bromo.
Ingin rasanya menghabiskan pagi sampai siang di sini, namun pukul 6 adalah batas waktu, kesepakatan dengan supir Jeep. Masih ada rute berikutnya.
Pemandangan tambahan sepanjang menuruni bukit adalah hamparan hijau kebun sayur dihangatkan berkas mentari pagi. Perjalanan menurun terasa sangat cepat. Namun, tak sedikit yang menggunakan jasa kuda untuk menuruni bukit. Untungnya jalan beton sudah dibuat pola bergaris-garis kasar, jika tidak pasti cukup licin saat menurun tajam.
Supir Jeep sudah siaga, kini konvoi kendaraan menuju loket masuk dan masuk ke padang pasir menuju aneka titik tujuan. Salah satunya menuju kawah Gunung Bromo. Parkir kendaraan kini makin jauh, sekitar 2 km dari kaki gunung. Saat Kasada, kendaraan bisa parkir di samping pura. Giliran penjaja kuda memiliki ruang lebih luas untuk mengais rejeki. Sebuah kesepakatan yang cukup adil bagi ribuan warga yang terdampak wisata alam gunung Bromo.
***
Keterangan foto utama : Panorama yang luar biasa indah kawasan Gunung Bromo Tengger Semeru. Foto : Facebook Taman Nasional Bromo Tengger Semeru